Rentetan tindak kekerasan atas nama agama, yang tak sedikit pelakunya melibatkan usia remaja atau pelajar terus terjadi. Fenomena tersebut biasanya berangkat dari pemahaman keagamaan yang tekstual-ekslusif. Pada tataran tertentu pola keberagamaan seperti ini akan memunculkan fanatisme yang mewujud dalam kelompok fundamentalisme yang melahirkan radikalisme.
Dalam pertemuan seminar Anti Radikalisme di Gedung NU Sumber Kabupaten Cirebon, (15/5). Adnan Anwar (Wakasekjen PBNU), menyatakan tingkat penyebaran benih-benih radikalisme di wilayah Cirebon sudah berada dalam kategori zona merah. Zona merah sendiri merupakan istilah untuk menyebut suatu kawasan yang sudah begitu parah, dalam hal ini tingkat penyebaran idiologi radikal.
Radikalisme bukan dalam artian filosofis yang bermakna pemikiran yang mendalam atau berfikir secara menyeluruh sampai ke akar persoalan. Namun penyebutan radikal lebih kepada tindakan seseorang atau kelompok yang menjurus kepada dis-integrasi sosial dengan langkah kekerasan, serta aksi teror, ungkapan kebencian, dalam hal pemahaman agama memunculkan kelompok ektrimis yang memutlakkan kelompoknya sendiri serta menisbikan yang lain.
Beberapa kejadian bom bunuh diri sebelumnya semisal Bom Bali, Bom JW marriot, dilakukan bukan oleh warga setempat, Namun di Cirebon pelakunya adalah “putra daerahnya” sendiri, sebut saja kejadian bom bunuh diri di Masjid Ad-Dzikro Kapolresta Cirebon. M. Syarif, pelakunya merupakan warga Cirebon. Hal ini disebutkan Sekretaris PW. NU Kabupaten Cirebon Marzuki Rais sebagai gambaran tindakan radikalis yang sudah tidak bisa diajak dialog, dan pantas dikatakann Cirebon sebagai zona merah, cara lainnya yaitu membersihkannya hingga tuntas.
Perkembangan perekrutan anggota kelompok tersebut sudah masuk jalur-jalur pendidikan. Beberapa bulan yang lalu beredar buku panduan mengajar Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas XI, yang berisi pelajaran yang menjurus pemahaman radikal. Senada dengan hal tersebut, dalam pemetaan GP. Ansor Kabupaten Cirebon, dua sekolah yang berada di wilayah Timur dan wilayah Tengah Cirebon sudah tersemai benih-benih pemahaman radikal. Indikasinya para siswa enggan mengikuti pelajaran Sejarah dengan alasan mempelajari sejarah sama halnya mempelajari sejarah orang bukan orang Islam “kafir”, enggan mengikuti upacara bendera, karena dianggap ritual menyembah bendera (berhala), lalu mereka lebih memilih untuk keluar ketika ada pelajaran semacam itu. Hal ini menjadi tamparan keras untuk pendidikan di Cirebon, rasa nasionalisme para pelajar akan luntur digantikan dengan pemahaman ektrimis.
Sekolah menjadi ladang subur untuk penyemaian faham radikal, beberapa organisasi “garis keras,” sudah mencoba merangsek masuk kedalam sekolah-sekolah umum. Pelajar sekolah yang notabene dalam proses pencarian jati diri (identitas), yang mengindahkan adanya upaya yang dapat memberikan jawaban kebutuhan mereka termasuk pemahaman agama, hal ini rentan sekali. Ada beberapa pola yang mereka lakukan, yakni dengan kajian-kajian praktis namun tidak mendalam, melihat potensi pelajar ingin memahami agama secara populer yang dapat diterima dengan mudah. Ketika sudah masuk dan tergiur akan lebih diarahkan lagi kepada idiologi mereka yang sebenarnya yang meruntuhkan nasionalisme dan menumbuhkan sikap ekslusif terhadap yang lain.
Rohis Sebagai Gerbang Gerakan Dakwah Islam di Sekolah
Rohis adalah akronim dari Rohani Islam atau Kerohanian Islam, berupa organisasi ekstrakulikuler sekolah, yang mewadahi siswa muslim untuk mengembangkan wacana pengetahuan Islam, dengan kata lain mengembangkan dakwah Islam. Yang tersebar hampir di semua sekolah-sekolah.
Seperti organisasi ektra pada umumnya, Rohis memiliiki struktur organisasi diantaranya Pembina, Majelis Pertimbangan dan Badan Pengurus Harian. Berlaku sebagai Pembina biasanya seorang guru agama, Majelis Pertimbangan kumpulan para senior Rohis, dan Badan Pengurus harian anggota tetap yang terdiri dari ketua, wakil, sekretaris, bendahara dan lain sebagainya.
Rohis memiliki dua fungsi utama yakni pembinaan kapasitas keilmuan anggotanya dan upaya mengembangkan dalam bentuk dakwah Islam kepada siswa diluar anggota Rohis. Pentingnya peranan Rohis sebagai pintu gerbang dakwah Islam, di benarkan oleh Koidah salah satu guru agama Islam, sekaligus pembina Rohis SMAN 1 Plumbon.
Menurutnya generasi pelajar saat ini sangat rentan oleh masuknya pemaham radikal, terutam di SMA/SMK Negeri yang hanya mendapatkan porsi pelajaran agama dua-empat jam saja dalam satu minggunya. Tentu sangat kurang, berbeda dengan sekolah madrasah. Sehingga para siswa memilih untuk mencari tambahan pemahaman agama di luar sekolah dengan menghadiri diskusi agama.
Ia merasa prihatin dengan maraknya pemahaman radikal yang masuk ke sekolah-sekolah. Bahakan wilayah Kabupaten sudah terindikasi menjadi basis kegiatan faham radikal yang tidak menghargai nilai-nilai kebangsaan. Menurutnya, “Beberapa sekolah sudah di masuki faham radikal, sangat perlu tindakan nyata untuk mencegah pemahaman ini menyebar luas di kalangan pelajar, dan mengampanyekan pesan damai terhadap pelajar sekolah.”
Koidah menambahkan justru ini menjadi pintu yang sangat tebuka bagi masuknya pemahaman idiologi radikal, harus adanya counter atau semacam pencegahan untuk menghalau gerakan ini.
Lokakarya Setaman Bersama Rohis
Dengan keprihatinan itu, Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman) yang digagas oleh Fahmina Institute dan Pelita Perdamaian, melakukan langkah nyata untuk menumbuhkan kembali giroh keberagamaan yang dialogis-inklusif. Dengan membuka Lokakarya bersama Rohis yang tersebar di wilayah Kabupaten Cirebon bagian Barat. Yang dilakukan selama tiga hari terhitung tanggal 3, 10, 14 Mei 2015. Bertempat di Aula SMAN 1 Plumbon. Dari kegiatan ini tercatan sebanyak 30 partisipan yang mengikuti acara tersebut dari 12 sekolah SMU baik negeri maupun swasta.
Misi dari kegiatan ini tidak lain untuk membangun kembali jiwa nasionalisme para siswa, menumbuhkan kebersamaan dengan menghargai perbedaan satu sama lain serta menanamkan pemahaman agama yang toleran. Ada beberapa materi yang disampaikan dalam kegiatan Setaman ini. diantaranya materi Mengnali Diri sebagai Makhluk Yang Berbeda, Sejarah Pembentukan Bangsa-Bangsa, Memahami Realitas Kebhinekaan Indonesia, Memahami Dasar-Dasar Kebhinekaan, Memahami Konflik dan Membangun Perdamaian, Internet Positif dan Menulis Cinta Damai.
Rohis sebagai organisasi keagamaan di sekolah sangat penting mendapatkan tambahan materi diluar materi keagamaan, sebagai bekal tambhan untuk melaksanakan misi dakwahnya di sekolah. Alumni Setaman diajak untuk mengaplikasikan materi yang sudah didapatkan dari kegiatan itu di sekolahnya masing-masing.
Salah satu bentuk kampanye itu sudah di lakukan oleh Rohis SMAN 1 Plumbon melalui mading sekolah. Pada helatan MadingSekolah.Net, mereka menjuarai peringkat pertama kategori mading sekolah, dengan mengambil tema Kebhinekaan Indonesia. Tema tersebut menurut pembinanya Koidah, sengaja dibuat untuk mengingatkan kepada para pelajar bahwa kebhinekaan itu merupakan modal dasar untuk membangun dan menciptakan perdamaian di Indonesia. Selain itu, kebhinekaan atau bhineka tunggal ika adalah salah satu ideologi negara Indonesia, selain Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Indonesia.
Guru-guru dan Pembina keorganisasian di sekolah juga, harus ikut serta dalam mendorong anak didiknya untuk memhami dasar-dasar tersebut tanpa terkecuali. Karena organisasi di sekolah adalah awal bagaimana siswa membentuk karakter dan menimba ilmu keoganisasian untuk nanti diterapkan di masyarakat. (Zaenal Abidin)
Tulisan ini dimuat di Buletin Blakasuta Rubrik Liputan Khusus Volume 36 April-Juni 2015