Sabtu, 27 Juli 2024

Menilik Komunitas Tionghoa Muslim Cirebon

Baca Juga

Cirebon merupakan wilayah persilangan budaya, tiga diantanya yaitu budaya Tiongha, India, dan Arab. Seperti di gambarkan dalam prodak budaya Kereta Paksi Naga Liman, yang dibuat pada zaman panembahan Ratu Pakungwati (1526-169). Kereta ini menunjukkan adanya harmoni tiga simbol kebudayan, yaitu Paksi merupakan gambaran Buroq-Islam-Arab, Naga simbol kebudayaan Tionghoa agama Kong Hu Cu, dan Liman gambaran dari Dewa Ganesa atau Gajah representasi dari India beragama Hindu.

Tionghoa muslim sendiri sudah ada sejak zaman Sunan Gunung Jati, beliau memperistri Putri Ong Tinio seorang  muslim berasal dari Tiongkok bermadzhab Hanafi. Menurut naskah Carita Purwaka Caruaban Nagari, komunita sTionghoa muslim sudah ada sebelum zaman kesultanan, yaitu ketika labuhannya Laksaman Ceng Ho ke Cirebon, Ia membawa serta rombongannya untuk memperbaiki kapal. Salah satu kru kapalnya Haji Kung Wu Ping, ia tinggal di Cirebon dan membangun mercusuar bersama Juru Labuhan Ki Gedeng Jumanjati, pembangunan itu pada tahun 1415 M.

Pada waktu itu sudah terjadi pembauran dengan menikahi perempuan pribumi. Daiantara pengikut Ceng Ho yang lain yaitu Ma Huan, masyarakat Cirebon mengenalnya dengan sebutan Ki Dampu Awang. Ia menikahi saudara sang juru labuan yang bernama Nyai Rara Rudra. Pada masa itu ada seorang ulama Tionghoa muslim bernama Tan Eng Hoat, ia diperaya oleh Sultan Cirebon (1513 M-1564 M) untuk mendakwahkan Islam di wilayah Periangan Timur samapi ke Garut, atas jasanya itu ia diberi gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya.

Seorang Tionghoa muslim lain, keponakan Tan Eng Hoat yaitu Tan Sam Cay nama islamnya Muhammad Syafi`i, ia diangkat sebagai administrator sekaligus Menteri Keuangan Kesultanan Cirebon sepeninggal Sunan Gunung Jati. Oleh Sultan diberi gelar Tumenggung Arya Dipa Wira Cula.

Selain tokoh-tokoh diatas, sumber lain yang menunjukkan eksistensi Tionghoa Muslim Cirebon adalah bangunan masjid, daintarany adanya keramik dan motif bangunan khas Tiongkok menghiasi setiap lekuk bangunannya. Menurut Budayawan Cirebon Nurdin M Noor, bangunan masjid pertama di Cirebon adalah yang sekarang menjadi Kelenteng Talang, pembangunan masjid talang ini sebagai tempat beribadahnya kaum Tionghoa muslim pada masa kedatangan Ceng Ho dan pada awal Kesultanan Cirebon. Jauh sebelum di bangunnya masjid Pejlagrahan yang berada  Grubukan sekarang ini.

Seiring perkembangan zaman, masjid Talang beralih fungsi menjadi kelenteng. Tan Sam Cai  seorang muslim, namun ia memilih untuk mempertahankan keyakinan leluhurnya dengan mendatangi kelenteng Talang untuk bersembahyang menggunakan kepada leluhurnya. Menurut Iwan Satibi, sinolog Cirebon mengatakan Tan Sam Cai sudah keluar dari Islam. Maka ketika wafatnya, jasad beliau di tolak untuk di makamkan diatas komplek makam Gunung jati, akan tetapi karena jasanya sebagai menteri keuangan ia di beri keistimewaan, dengan di berikan sebidang tanah khusus untuk pemakamannya di daerah Sukalila Utara saat ini.

Pasang Surut

Pada zaman penjajahan Belanda, gerakan Tionghoa muslim yang ada di Cirebon mengalami tekanan, sehingga perkembangannnya sangat sulit. Sebab pada masa itu politik pemecah belah dilakukan Belanda dengan mengategorikan kasta masyarkat. Kelas pertama untuk kaum kulit putih yaitu Belanda  itu sendiri, kedua Asia Timur yaitu Tionghoa dan ketiga kaum pribumi.  Dengan adanya kelas ini otomatis terjadi sentimentil, warga pribumi merasa tidak adil dan memusuhi warga Tionghoa, hal ini  menumbuhkan benih-benih kebencian dan puncaknya terjadi kerusuhan tahun 65 dan 98.

Disini kemudian banyak orang Tionghoa  atau peranakan yang saat itu ada mengikuti irama Belanda serta banyak di akui kalangan Tionghoa  sendiri, mereka mengikuti keyakinan Kristen yang dahulu kental dengan kepercayaan leluhurnya seperti Tao, Konghucu, Buddha, termasuk juga Islam kini masuk ke agama yang dianut penguasa.

Pada era kemerdekaan, gerakan Tionghoa muslim cukup massif, yang dipimpin oleh Oei Tjeng Hien atau H Abdulkarim Oei. Beliau aktif di Muhammadiyah dan pada tahun 1961 membentuk PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), pada tahun 1972 organisasi dakwah di kalangan etnis Tionghoa berubah nama menjadi Pembina Iman Tauhid lslam dan singkatannya tetap PITI. Gerakan itu juga di amini oleh masyarkat Tionghoa muslim yang ada di daerah-daerah dengan mendirikan Yayasan Abdul karim Oey, termasuk di Cirebon.

Menurut penuturan Nurdin M Noer, ada tokoh Tionghoa muslim di Cirebon, yang pada masa Orde Baru begitu bersemangat untuk berdakwah, dengan menyelenggarakan pengajian setiap malam Jum`at atau Minggu, serta pembangunan masjid-masid. Tokoh itu bernama H. Susilawan atau Yu Keng.

Generasi setelah H Susilawan, justru gerakan Tionghoa muslim Cirebon semakin madeg, salah satu istri Ketua PITI Cirebon Hj. Asiah Kristin menyatakan bahwa mereka tidak akan memaksakan atau mengusik keyakinan saudara-saudara mereka. Gerkan mereka semakin tidak terorganisir, hal itu juga terjadi di beberapa organisasi Tionghoa lain seperti PSMTI, INTI sekarang ini seolah fakum.

 

 

Tulisan ini dimuat di Blakasuta Rubrik Info Jaringan/Komunitas, Volume 36 Maret-Juni 2015

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya