Kekerasan ialah segala bentuk tekanan fisik maupun nonfisik, yang membuat siapa pun yang terkena mengalami kerugian.
Secara doktrinal Islam adalah agama non-kekerasan, namun fakta penaklukan atau dalam bahasa historiografi Islam lebih dikenal dengan pembebasan (futuhat) yang dilakukan terutama mulai abad 7 juga menggandeng kekerasan. Agama Kristen yang mengklaim diri dan memiliki misi sebagai agama cinta kasih, namun sejarah kekristenan juga sarat dengan kekerasan. Beberapa kasus perang agama/ perang salib (crusade), dan kolonialisme barat atas dunia muslim abad 18 dan 19, juga sarat dengan kekerasan. Di sisi lain, munculnya sufisme/mistisisme dengan intensitas yang kuat, sesungguhnya bisa menjadi faktor penyeimbang terhadap dominasi Islam doktrinal/resmi-formalistis. Bahkan dalam semua agama terdapat individu-individu yang memiliki komitmen membangun kebersamaan dan konsen mengatasi kekerasan.
Di dunia ini tidak ada ideologi dan afiliasi teologis yang monolitik. Sebagai akibatnya juga berbeda-beda dalam menghadapi agama lain. Kekerasan atas nama agama, sesungguhnya juga akan bisa dikurangi/diminimalisir ketika hal tersebut menjadi komitmen moral-nyata bagi semua penganut agama-agama. Agama merupakan fondasi etika dalam penyelesaian kasus-kasus konflik dan kekerasan, karena pada hakikatnya entitas agama adalah menciptakan perdamaian, bukan menebarkan konflik dan kekerasan.
Komunalisme umat beragama yang kental, terutama agama-agama semitis memberikan peluang dan potensi tersendiri bagi terjadinya konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Hal ini karena watak dasar dari agama tersebut yang memiliki misi/dakwah, yang selama ini dalam pemikiran mayoritas umat agama lebih dipahami sebagai upaya mengkonversi penganut agama lain ke dalam agama mereka. Dalam konteks Islam ada misi “pengislaman” dunia dengan justifikasi Islam sebagai agama universal dan penutup serta penyempurna semua agama sebelumnya.
Kekerasan atas nama agama, sesungguhnya memiliki akar-akar yang multi dimensional. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya tertentu untuk menelisik dan mencermatinya. Beberapa di antaranya adalah dengan mencari akar sumber kekerasan dalam tradisi agama-agama; membangun solidaritas yang efektif; yang diarahkan untuk menentang ketidakadilan atas nama visi agung kekuasaan Tuhan, kerajaan perdamaian dan keadilan; komitmen pada transformasi secara terus-menerus serta pemberdayaan dengan ritual, di mana aspek ini juga terkait langsung dengan transformasi masyarakat. Misalnya dalam tradsisi Islam, dinyatakan bahwa ritual shalat bisa berarti bagi penciptaan masyarakat yang terbebas dari fakhsya’ dan munkar.
Kelompok yang sering menebarkan kekerasan atas nama agama, dalam tradisi agama apapun memiliki karakter umum dan sikap keagamaan yang tekstualis, anti pluralisme, intoleran dan selalu mengukur kebenaran agama dari aspek batas-batas eksoterisme/fiqih oriented. Kekerasan agama, lebih disebabkan oleh sikap keagamaan yang fanatik (fanatisme), paham keagamaan yang fundamentalistis (fundamentalisme) dan integralisme. Dengan demikian, eksklusivisme sering dekat dengan konflik, pertikaian, dan kekerasan.
Orang beragama yang menghadirkan kekerasan, karena level keagamaannya yang jargonsentrisme, ia memperlihatkan keimanan yang logoistis, memiliki kekuatan bahasa yang provokatif, sempit dan rigid. Sehingga penghayatan yang kurang terhadap hakikat agama (being religious) menjadi sebab merebaknya komunalisme. Ini karena agama merupakan entitas yang secara sosio-psikologis bertautan langsung dengan dimensi emosionalitas dan spiritualitas manusia. Sehingga jika hal ini tersentuh oleh isu agama persoalan apapun akan menjadi kekuatan dahsyat sebagai penghancur “lawan-lawannya”.
Kekerasan ialah segala bentuk tekanan fisik maupun nonfisik, yang membuat siapa pun yang terkena mengalami kerugian. Pembunuhan dalam segala bentuknya merupakan wujud kekerasan yang paling merusak kehidupan. Membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh umat manusia, dan menyelamatkan satu nyawa berarti sama dengan menyelamatkan manusia seluruhnya. Ketika Nabi SAW dilempari batu oleh warga Thaif pada saat itu, malaikat Jibril sempat menawarkan untuk membalasnya. Nabi dengan penuh kelembutan menolaknya dan lebih memberi maaf.
”Mereka sungguh kaum yang tidak mengerti,” sabda Nabi. Islam sebagai agama perdamaian, oleh para pemeluknya harus diwujudkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia seluruhnya. Ajaran tentang ihsan seperti kasih sayang, pemaaf, kelembutan, rendah hati, dan nilai-nilai kebaikan yang terpuji lainnya dapat dijadikan dorongan dan jalan untuk menegakkan perdamaian dan hilangnya segala bentuk kekerasan di muka bumi.