Oleh: Abdul Rosyidi
Fahmina.or.id – Kapan terakhir kali kita menepi dan menghayati dengan khidmat setiap kata yang keluar dan masuk? Sungguh peristiwa yang langka akhir-akhir ini. Saat kita terbiasa lari dari satu kata ke kata lain nyaris tanpa mengenalnya.
Kata yang keluar dari mulut atau yang lahir dari jari jemari kini kian bising saja. Perdebatan menjadi begitu asyik untuk dikonsumsi saban hari. Saat orang-orang yang terlibat di dalamnya terjerat motif dan keuntungan yang kita tak pernah tahu. Politik kebangsaan atau hanya pragmatisme saja. Atau jangan-jangan ada yang hendak mendapuk untung dari keadaan yang kian menegang.
Ngaji di bulan puasa Bab Aafatu al-Lisan bersama Buya Husein Muhammad membawa saya sejenak berpikir bahwa bahaya besar siap menghadang kata yang keluar tanpa guna. Termasuk di dalamnya adalah membuat berita palsu atau hoaks atau sekadar turut menyebarluaskannya dengan satu hentakan jari.
Baca artikel terkait: Hoax Racun Bagi Demokrasi
Bukankah selama ini kita tak pernah berpikir membagikan tautan tertentu bisa jadi berakibat pada dosa yang mengerikan?
Ini biasa terjadi. Kita tak pernah tahu isi dalam tautan tersebut apakah mengandung kebenaran atau tidak tapi lalu kita sebarkan karena isinya kontroversial, bombastis dan menarik perhatian publik. Viral.
Eksistensi diri dalam keikutsertaan menyebarkan konten berpotensi viral sepertinya sudah sedemikian mengalahkan pertimbangan akal sehat. Rela njengking demi viral.
Di lain sisi, yang viral, seringkali, meskipun tidak selalu, adalah hal-hal yang lebih dominan melibatkan emosi netizen. Hal-hal yang mengerikan, mencekam, teror, kontroversial, pergunjingan, aib-aib yang dibanggakan, perdebatan, penyelewengan nilai-nilai, dan sesuatu yang tak lumrah. Bad news ia good news (berita buruk, adalah berita yang bagus).
Ada juga berita yang terlihat benar tapi diangkat dari sudut tertentu, sengaja dicipta untuk satu niat terselubung tanpa asas konfirmasi apalagi cover all side. Tentunya yang ini juga bisa menjadi viral dengan strategi IT, dsb.. Kita tak pernah tahu itu bukan? Toh sudah biasa kita menyebarkannya.
Hanya gegara pengen mendapat perhatian netizen ternyata kita kebagian dosa menyedihkan. Dosa menyebarkan sesuatu yang tak benar-benar kita pahami substansi maupun akibatnya.
Jadi, kesimpulan ngaji di pesantren Ramadhan Yayasan Fahmina pertemuan kemarin (21/5/18) adalah berkata baik. Kalau tidak bisa berkata baik, menyebarkan kebaikan lebih baik atau diam saja.
Baca juga: Berbicara Bijak Ala Nabi
Oh ya, berkata bukan berarti mengeluarkan suara dari mulut saja. Makna ‘berkata’ sekarang menjadi lebih luas yakni ‘menghasilkan kata’.
Sehingga segala kegiatan yang menghasilkan kata seperti mengetik di tuts PC ataupun gawai dan menyebarkannya di medsos termasuk dalam term berkata atau berkata-kata.
Termasuk di dalamnya adalah menyebarluaskan tautan berisi kata, apapun. Prinsipnya sama dengan berbicara tapi meminjam omongan orang lain.
Ingat, pikirkan dulu substansi dan akibatnya sebelum menyebar tautan. Jangan asal viral. Kalau masih berpikir begitu, jangan-jangan di batok kepalamu, viral sudah menggantikan posisi tuhanmu, iya?
Bacara juga: Nabi Tersenyum Tidak Marah