Studi Banding COP 17-20 Juli, Yogyakarta dan Surabaya: Apa yang bisa dilakukan aktifis community oriented policing (COP) dan forum kemitraan polisi dan masyarakat (FKPM) bagi masyarakatnya? Apakah hanya soal keamanan saja? Bagaimana pola penyelesaian masalah yang bisa dilakukan oleh aktifis COP dan FKPM?
Studi Banding COP 17-20 Juli, Yogyakarta dan Surabaya: Apa yang bisa dilakukan aktifis community oriented policing (COP) dan forum kemitraan polisi dan masyarakat (FKPM) bagi masyarakatnya? Apakah hanya soal keamanan saja? Bagaimana pola penyelesaian masalah yang bisa dilakukan oleh aktifis COP dan FKPM?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itulah, 15 aktifis FKPM Ciborelang Majalengka dan Serang Wetan Kabupaten Cirebon beserta Fahmina-Institute melakukan studi banding ke FKPM Yogyakarta dan Surabaya pada 17-20 Juli 2009 lalu.
Kunjungan di Yogyakarta
Kunjungan pertama, para peserta mengunjungi kantor Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII Yogyakarta. Di Pusham UII inilah, para peserta bertemu dengan aktifis COP se-Yogyakarta yang tergabung dalam Presedium COP Yogyakarta. Ada COP Umbulharjo, Sawahan, Maliboro, Depok, Mataram dan lain-lain. Dalam kunjungan tersebut, para peserta tidak sekadar bertemu, melainkan berbagi pengalaman masing-masing daerah. Ketua Presidium COP Yogyakarta, Dadung, misalnya. Dia menjelaskan tentang perjalanan COP di Yogyakarta dan bagaimana COP bisa memiliki “power” yang cukup kuat untuk melakukan penyelesaian terhadap masalah keamanan dan sosial di Yogyakarta, di antaranya dengan membangun jaringan yang kuat antar aktifis dan membangun komunikasi dengan berbagai stakeholder.
Sementara itu di COP Umbulharjo, peserta studi banding memperoleh pembelajaran bagaimana aktifis COP/FKPM mampu menjalin relasi yang baik dengan aparat kepolisian, TNI dan birokrasi, terutama ketika membahas sebuah persoalan.
“Kuncinya, diawali dengan kontak-kontak pribadi terlebih dahulu. Soal keberlangsungan aktifitas, COP Umbulharjo tak menjadikan keterbatasan dana menjadi halangan dan secara berkala melakukan perekrutan dengan pola kekeluargaan,” papar Bambang, selaku Koordinator COP Umbulharjo.
Lain halnya di COP Malioboro, mereka membangun jaringan antar paguyuban profesi di kawasan Jalan Maliboro. Inilah salah satu kelebihan COP Malioboro. Kawasan Maliboro adalah kawasan yang sangat beragam komunitasnya. Ada pedagang kaki lima (PKL) yang jumlahnya mencapai ratusan, pengemudi becak, petugas parkir, pemilik toko, pedagang asongan, pengamen dan komunitas lain yang menggantungkan hidupnya di kawasan yang menjadi ‘ikon’ Yogyakarta.
Menurut Syamsujiwati, Koordinator COP Malioboro, tahun 2005 merupakan tahun yang membanggakan bagi COP Malioboro. Dimana berbagai konflik yang tak pernah selesai seperti pengaturan PKL dan penertiban jalur becak bisa diselesaikan oleh COP Malioboro. Begitu juga dengan berkurangnya kasus kriminalitas, karena semua paguyuban di bawah naungan COP Maliboro secara bersama-sama menjaga kawasan Maliboro.
Kunjungan di Surabaya
Di Surabaya, peserta bertemu dengan aktifis COP yang cukup gigih dan tak kenal menyerah. Salah seorang di antaranya adalah Kartono. Sejak 2004, dia menjadi “singgle fighter” memperkenalkan COP di Putat Jaya, sebuah kawasan prostitusi yang sangat rawan sosial di Surabaya. Kartono, yang kini memimpin LSM Mitra Baca Anak, sebelumnya adalah seorang mucikari yang kini menjadi aktifis COP, berjuang memerangi penjualan anak. Berkat kegigihannya, satu persatu sejumlah orang bergabung dengannya menjadi aktifis COP di Putat Jaya.
Melalui COP inilah, Kartono berhasil membangun kesepakatan diantara seluruh pengusaha hiburan di Putat Jaya dan sekitarnya. Diantaranya agar mereka tidak memperkejakan anak dan perempuan di bawah umur 20 tahun. Sanksinya jika melanggar bisa dipolisikan dan tempat usahanya ditutup. Di akhir kegiatan, 20 Juli 2009, peserta berdiskusi dengan aktifis COP Semampir, di Surabaya Utara, sebuah kawasan padat penduduk dan kumuh. Para peserta studi banding banyak belajar soal pola penanganan berbagai kasus sosial, seperti kasus akta lahir dari sulit dan mahal menjadi gratis.
Demikian juga penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan korban seorang anak yang ditelantarkan dan dianiaya oleh neneknya sendiri, sementara orang tuanya entah pergi kemana. Setelah diancam akan diadukan polisi, nenek tersebut berjanji tidak akan melakukan kembali. Selanjutnya diketahui bahwa nenek itu ternyata mengalami gangguan jiwa begitu juga sang korban yang juga cucunya, penanganan lebih lanjut membutuhkan tenaga konselor yang biayanya cukup mahal.
Berkat kegigihan aktifis COP Semampir, seperti pak Aryadi dan bu Ida, sebuah lembaga bersedia membantu biaya konselor tersebut. Menyelesaikan persoalan dengan pola kebersamaan, tutur pak Aryadi yang juga Ketua COP Semampir menegaskan pola penyelesaian kasus oleh COP Semampir.
“Kami banyak mendapat pengalaman berharga selama studi banding ini. Menyaksikan bagaimana teman-teman aktifis COP bekerja di daerah lain seperti ini, menginspirasi kami untuk berbuat yang terbaik buat masyarakat kami,” tegas pak Sakri, salah seorang peserta studi banding asal FKPM Ciborelang Majalengka, di akhir acara diskusi di Semampir Surabaya. (Noes)