Selasa, 12 November 2024

Menyikapi Perbedaan

Buya Husein

Baca Juga

Fârûq Abû Zaid dalam bukunya “Al-Syarî’ah al-Islâmiyah baina al-Muhâfizhîn wa al-Mujaddidîn” (Syari’ah Islam antara tradisionalis dan modern) mengatakan bahwa

أن مذاهب الفقه الاسلامى ليست سوى إنعكاس لتطور الحياة الاجتماعية فى العالم الاسلامى

“Anna Madzâhib al-Fiqh al-Islâmy laisat siwâ in’ikas li tathawwur al-hayâh al-Ijtimâ’iyyah fî al-‘Alam al-Islâmy”. (hlm. 16).

“mazhab-mazhab (aliran-aliran) keagamaan dalam fiqh Islam sejatinya adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing”.

Menyikapi Perbedaan

Bagaimana para pendiri mazhab (Aimmah al-Madzahib) menyikapi pandangan orang lain yang berbeda dengan dirinya? Sejarah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang paling toleran terhadap pandangan orang lain, paling rendah hati dan saling menghargai. Imam Abu Hanifah misalnya dengan rendah hati mengatakan : “Inilah yang terbaik yang bisa aku temukan dari eksplorasiku atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi (Hadits). Jika ada temuan yang lebih baik, aku akan menghargainya”. Begitu juga para Imam mujtahid yang lain, menyampaikan hal yang senada. Imam al-Syafi’i mengatakan :

راينا صواب يحتمل الخطأ ورأي غيرنا خطأ يحتمل الصواب

Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan keliru. Pendapat orang lain keliru, tapi mengandung kemungkinan benar”.

selalu mengingat sabda Nabi :

اذا اجتهد الحاكم فاصاب فله اجران وان الجتهد فأخطأ فله أجر واحد

“Jika seseorang berijtihad (berpendapat) dan ijtihadnya (pendapatnya) benar maka ia mendapat dua pahala, dan jika salah mendapat satu pahala”.

Perbedaan pemaknaan atas teks keagamaan atau bahkan teks-teks yang lain pada akhirnya perlu dicari jalan keluarnya melalui mekanisme yang paling baik dan sejalan dengan perintah al-Qur’ân, yakni dialog, ‘musyawarah’, dan cara-cara lain yang demokratis, mencari titik temu untuk kebaikan bersama, mencari kebenaran, bukan mencari-cari pembenaran diri, atau bukan dengan mengklaim pendapatnyalah yang paling benar sendiri sambil mencaci pendapat yang lain, apalagi dengan menggunakan kekerasan, termasuk membunuh karakter seseorang atau kelompok.

Tak ada yang paling dirugikan dan paling disengsarakan dari perseteruan, kesombongan diri dan tindakan kekerasan ini, kecuali warga dan bangsa muslim sendiri. Sebaliknya tak ada sikap dan cara yang paling memajukan, menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat muslim, kecuali kebersamaan, saling menghargai dan rendah hati di antara mereka, sebagaimana diajarkan Tuhan dan Nabi serta para ulama generasi awal.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sekolah Agama dan Kepercayaan Bahas Jejak Sejarah dan Ajaran Hindu di Indonesia

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute — Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) Bagi Orang Muda bahas jejak sejarah dan ajaran...

Populer

Artikel Lainnya