Oleh : DEVIDA
Adakah yang salah dengan negeri ini, sehingga kekerasan demi kekerasan menjadi sajian setiap hari. Dengan alasan “berbeda” beberapa orang melakukan tindakan kekerasan seenaknya atas nama kebenaran, baik itu dari masyarakat sipil maupun dilakukan oleh Negara. Sebenarnya kekerasan tidak datang dengan sendirinya, artinya ada kecenderungan mimesis (peniruan) rakyat terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah.
Kekerasan sulit didefinisikan, namun setidaknya menurut Poerwandari “semua bentuk tindakan, intensional dan ataupun karena pembiaran dan ke-masabodo-an yang menyebabkan manusia lain mengalami luka, sakit, penghancuran baik fisik maupun psikis.”
Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler kekerasan terdapat pada 4 unsur yang berbeda, Pertama, kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat seperti tawuran, kedua, kekerasan tertutup atau kekerasan yang tidak dilakukan langsung seperti mengancam, ketiga, kekerasan agresif, kekerasan yang tidak beralasan, keempat, defensive kekerasan untuk melindungi diri dari penyerangan.
Pandangan Tentang Toleransi
Toleransi secara sederhana bisa kita artikan sebagai sikap saling menghormati dan menghargai terhadap orang lain, baik itu dengan kelompoknya, maupun dengan orang yang berbeda pada taraf ekonomi, agama, bahasa, ras, suku dan budaya. Melihat kemajemukan bangsa Indonesia yang multikultural, toleransi seharusnya menjadi suatu keharusan yang tidak bisa kita hindari.
Toleransi dalam bahasa Arab disebut at-tasamuh merupakan salah satu inti ajaran Islam yang sejajar dengan ajaran lain, seperti cinta (rahmat), kebijaksanaan (wisdom), kemaslahatan universal (maslahat ‘ammat), keadilan (’adl). Beberapa inti ajaran Islam adalah sesuatu yang meminjam istilah ushul fiqh—qath’iyyat, yang tidak dapat dibatalkan dengan alasan apapun, dan kulliyat, yang bersifat universal melintasi ruang dan waktu.
Esensi toleransi sebagai sikap saling menerima, memahami, dan mengerti perbedaan dan persamaan yang ada. Ketiganya menjadi dasar dari berbagai kegiatan seputar toleransi antarumat beragama dalam bentuk dialog, seminar, lokakarya, dan pertemuan lintas agama. Penerimaan memang merupakan kunci awal keterbukaan untuk mengalami wawasan yang mendalam tentang keragaman. Pengertian dan pemahaman membuat pembaruan dalam pandangan.
Dalam tradisi lokal sebenarnya toleransi ini sudah bisa kita baca melalui simbol atau ikon yang ada pada masyarakat. Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin agama dan Negara pada masa pemerintahanya memberikan suatu kelonggaran dan kebebasan terhadap rakyatnya untuk mendirikan rumah ibadah, seperti Klenteng Jamblang yang ada di Kabupaten Cirebon merupakan hasil permintaan dari Babah Yo Ki Cit saat peresmian Masjid Sang Ciptarasa baru didirikan. Bahkan konon menurut Budayawan Rafan S. Hasyim Susuhunan Klenteng Jamblang (kayu penyangga utama), merupakan bagian dari soko guru (tiang utama Masjid Sang Ciptarasa).
Toleransi dalam pandangan Islam, Satu hal yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW begitu juga oleh Nabi-Nabi lainya. Karena suatu sifat manusia dan merupakan kebutuhan sosial, jadi kita saling membutuhkan antara satu dengan yang lain.
Namun dalam ajaran Islam Toleransi ada batasan-batasan tertentu. Pada ibadah ghairu mahdhah atau wilayah sosial saja yang diperkenankan. Ibadah mahdhah ( yang berkaitan dengan menyembah Tuhan) itu dilarang. Hal ini telah diatur dalam surat Al-Kafirun, bagaimana umat Islam dilarang keras bertukar keimanan.
Pertemanan sosial malah sangat dianjurkan, Nabi Muhammad SAW sendiri menjalin hubungan baik dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sifat pemaaf nabi terhadap orang-orang yang jelas-jelas memusuhinya (Kafir Quraisy). Ada cerita Nabi sering diludahi oleh orang Yahudi, saat orang yahudi itu sakit malah Nabi menengoknya. Dalam hadits Shahih Muslim N0. 1596 diceritakan ketika Qais bin Saad RA dan sahal bin Hunaif RA sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, maka keduanya berdiri.
Lalu dikatakan kepada keduanya: jenazah itu adalah termasuk penduduk setempat (yakni orang kafir). Maka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah melewati iringan jenazah, lalu beliau berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi. Rasulullah SAW bersabda: Bahkan ia juga manusia?. Dan Lebih lanjut beliau bersabda “kematian adalah suatu perkara yang menyedihkan dan dahsyat, sebab itu, apabila kamu melihat iring-iringan jenazah berlalu, kamu seharusnya berdiri sebagai suatu hadiyah penghormatan”.
Ini lah contoh perilaku dan sikap Rasulullah dalam merawat sisi kemanusiaan (ukhuwah basyariyah/insaniyah). Sehingga tidak dibenarkan dalam konteks keIndonesiaan, melukai umat yang berbeda agama. Sebab Indonesia adalah Negara Damai (Darussalam). Barangsiapa yang melukai non muslim di Negara yang damai, maka sama saja melukai Nabi. Sebagaimana dalam sebuah hadits “barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi (non muslim yang berinteraksi secara baik), berarti dia telah menyakiti diriku. Dan, barangsiapa yang menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah. Man Adza Dzimmiyyan faqad adzani. Man adzani faqad adzallah.
Dari pandangan dan peristiwa tersebut tersebut kita bisa melihat bahwa sebenarnya tidak ada halangan bagi umat yang berbeda agama untuk interaksi sosial. Secara normatif sikap Agama Islam tentang toleransi malah dianjurkan, ajaran Rasulullah berorientasi pada Rahmatan lil Alamin yang telah dibuktikan sepanjang sejarah kerasulan nya. Tiga hubungan yang saling keterkaitan yakni manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia kepada alam sekitar diajarkan dalam dalam ajaran dan risalah kerasulan Muhammad SAW. Tetapi persoalanya sekarang adalah pendangkalan terhadap pemahaman agama membuat jurang pemisah baru dan sikap fanatisme apapun sebenarnya akan menimbulkan kerusakan.
Menyulam Renda-Renda Perbedaan
Hari toleransi yang jatuh pada tanggal 16 November, merupakan hari yang penting bukan hanya untuk masyarakat internasional, bagi masyarakat Indonesia ini menjadi relevan dengan melihat kemajemukan bangsa ini ditandai banyaknya pulau 7.870 buah, 546 bahasa. dari lintas pulau tentu juga beranjak menjadi lintas budaya dan agama, dan akan berujung pada perbedaan menjadi suatu keniscayaan yang tidak bisa kita pungkiri.
Renda-renda keragaman tentunya banyak yang terkoyak lantaran semangat agama, fanatisme dan kesukuan yang berlebih. SETARA Institute mencatat pada tahun 2021 secara keseluruhan kumpulan data menunjukkan ada penurunan jumlah pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Pada tahun 2021 tercatat ada 318 tindakan dan 171 Peristiwa kekerasan atas nama Agama di Indonesia.
Belum lagi, data ujaran kebencian dari kementerian komunikasi dan informatika (Kemenkominfo) menunjukan fakta yang memprihatinkan, konten mengenai ujaran suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) sebanyak 3.640 konten sejak tahun 2018, demikian terungkap pada konferensi pers virtual dari media Center kantor Kementerian Kominfo di Jakarta (26/04/2021) lalu.
Hasil sulaman masa lalu oleh para pendiri bangsa di bingkai dengan Pancasila dengan cengkraman kaki burung garuda bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika” kini kusut. Untuk menyulam kembali memang bukan pekerjaan mudah dan bisa dilakukan oleh perorangan. Pondasi toleransi sebenarnya bukan urusan kita dan urusan kamu, melainkan urusan kita bersama sebagai anak bangsa. Ini bisa dimulai melalui kesadaran pemerintah dengan lebih memihak pada Konstitusi dari pada kepentingan pribadi atau golongan. Peran rakyat mengisi ruang-ruang kosong toleransi dengan membuka diri bahwa perbedaan bukanlah suatu ancaman. []