Oeh: Lies Marcoes Natsir
Saya kenal kyai Husein setua saya beraktifitas di dunia gerakan dan LSM. Tahun 90-an sebelum konferensi Beijing saya menjadi koordinator program Fiqh An Nisa P3M. Program pemberdayaan perempuan dalam isu kesehatan reproduksi yang “dibaca” dengan perspektif gender, Ini adalah sebuah program yang didukung oleh the Ford Foundation.
Mengingat salah satu elemen yang mengkonstruksikan gender, termasuk didalamnya yang meletakkan secara tidak setara antara lelaki dan perempuan adalah pandangan domain agama (fiqh), maka salah satu kegiatan yang dikembangkan dalam Fiqh An NIsa adalah kajian-kajian dalam isu gender.
Secara lebih khusus kami membahas isu kesehatan reproduksi seperti KB, menstruasi, kehamilan, kemungkinan aborsi, penyakit menular seksual, HIV/AIDS. Titik tekan kajian kami adalah pada konstruksi pemahaman gender yang menyebabkan perempuan/ istri, anak tidak mandiri atas tubuh dan seksualitasnya. Untuk keperluan ini kami kerap menyelenggarakan seminar atau bahtsul masail tematik dalam forum-forum yang berbeda.
Salah satu narasumber yang kami undangan adalah Kyai Husein Muhammad. Maaf jangan bayangkan kyai Husein dengan pandangan-pandangan top seperti sekarang. Ketika itu kyai Husein sebagai kyai dengan perspektif yang luas dalam teks klasik,menyajikan jawaban-jawaban yang kerap bersifat eklektik tanpa metodologi yang ketat.
Dengan pendekatan itu terasa bahwa hal yang utama bagaimana agama secara tegas membela kaum perempuan sulit diandalkan. Sebab dengan jawaban yang bersifat eklektik selalu terdapat kemungkinan untuk menjawab yang sebaliknya. Kalau disajikan sejumlah ayat, hadits atau qaul ulama yang melarang kekerasan, maka dengan pendekatan eklektik itu akan ada argumen bahwa pemukulan boleh, sebab dalam teks memang dapat ditemukan hal yang serupa itu.
Salah satu contoh, ketika kami membahas kekerasan terhadap perempuan. Kyai Husein menyajikan hadits yang “membenarkan” tindakan itu dalam kerangka mendidik.
Karenanya dalam qaul qadim (pendapat lama) kyai Husein memukul tetap diperbolehkan namun caranya tak boleh mengenai wajah dan menggunakan sapu tangan sebagaimana terdapat dalam hadits. Kami menantangnya. Sebab realitas pemupukannya bukan dengan sapu tangan tetapi sapu dan tangan.
Kembali kami menantangnya dengan fakta kekerasan yang dialami para perempuan TKW. Pakaiannya yang tertutup tak menjamin terhindar dari kekerasan karena kekerasan terjadi dalam relasi yang timpang.
Cerita lain adalah ketika kami membahas isu menstruasi di Pesantren Cipasung. Saat itu kami membahas soal menstruasi yang kacau akibat penggunaan kontrasepsi hormonal. Dengan berbekal teks-teks klasik bacaannya Pak Kyai membahas perbedaan darah haid dan karenanya tidak wajib menjalankan ibadah seperti shalat dan puasa, dengan darah istihadhah atau darah penyakit. Di forum itu beliau “ditertawakan” ibu-ibu nyai ketika ia duga, haid itu rasanya seperti mau kencing karenanya bisa dikenali kapan keluar dan kapan berhentinya.
Dari pengalaman-pengalaman berinteraksi dan “tantangan” kami itulah tampaknya kyai Husein terus berpikir soal bagaimana agama memberi manfaat dalam isu-isu kekinian yang dihadapi perempuan. Disinilah letak metamorfosa kyai Husein.
Pertama-tama ia membangun metodologi cara membaca teks agama. Dalam pemikiran Islam, metodologi adalah aspek paling penting sebab ia menjadi “kaca mata” baca. Dalam Islam, ragam metodologi dikenali seperti dalam ilmu Ushul Fiqh yang mengenalkan kaidah-kaidah untuk pengambilan hukum.
Dalam metamorfosa kyai Husein, metodologi klasik itu digunakan untuk membaca realitas di mana Kyai Husein memasukan metode-metode baru seperti feminisme, gender, HAM sebagai instrumen yang memberi kekuatan kepada metode klasik. Dengan menggunakan kacamata barunya tanpa meninggalkan kacamata lama, dari kyai Husein kita dapati sebuah argumen yang kuat (qaul jadid) bahwa kekerasan mutlak dilarang.
Kedua, kyai Husein memperkaya pengetahuannya dengan melihat realitas yang berubah. Di dalam perubahan-perubahan realitas itu sangatlah penting mendengar subyek atau para pihak yang menjadi pokok pembahasan. Di situlah Kyai Husein melengkapi metodologinya. Ia mewajibkan kepada kita untuk mendengar suara perempuan, anak, kelompok minoritas dan mereka yang selama ini dalam pembahasan isu agama menjadi pihak yang tak terdengar suaranya dalam setiap kali hendak menentukan suatu hukum.
Inilah catatan saya tentang kyai Husein Muhammad. Dan saya sangat bangga menjadi santri beliau dan sebagai saksi perjalanan metamorfosa kyai Husein, sekaligus yang sering menantangnya untuk terus berpikir agar agama tetap relevan sebagai petunjuk peta kehidupan kita. []