Kita lebih banyak memproduksi buku daripada aksi perubahan yang sesungguhnya. Kita puas dengan dimuatnya sebuah tulisan, dibaca publik, lalu menanti honorarium. Seolah-olah kalau sudah berwacana sudah melakukan perubahan.
Berbicara mengenai perubahan sosial sekarang ini, siapakah yang dapat dipercaya sebagai lokomotif perubahan sosial di tengah arus zaman global dengan fakta ketimpangan ma-syarakat yang demikian kompleks? Pertanyaan seperti ini mungkin menjadi kegelisahan banyak orang. Karena rakyat mulai pesimis, kepada siapa harus menaruh harapan. Krisis kepercayaan kian merebak, membuat mentalitas bangsa begitu rapuh dalam menghadapi rumit-nya persoalan hidup. Mulai dari persoalan ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun yang lain. Demikian Moeslim Abdurrahman, mengawali ceramahnya di hadap-an para Penggerak Kader Warga (KPW) dan Kader Penggerak Agama (KPA) di Pusdiklatpri, Minggu 12 Nopember 2006.
Kita bisa melihat negara saat ini berada dalam posisi yang cukup problematis. Tidak mampu melakukan resistensi untuk kepentingan rakyat terhadap arus globalisasi. Globalisasi tentu tidak berpihak pada rakyat kecil dan orang-orang pinggiran. Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebagai Pemimpin Negara tidak dapat berbuat banyak dengan mandat kekuasaan yang dimiliki. Bisa jadi karena dirinya memenangi Pemilu hanya berbekal popularitas yang didongkrak pencitraan media. Bukan karena dukungan riil berdasar sentimen politik tertentu.
Jika demi-kian, popularitas hasil kemasan seperti ini bisa saja memudar, bergantung suhu politik yang berkembang . Apalagi SBY tidak didukung mesin politik yang kuat di gedung DPR RI. Dalam kondisi demikian, sulit diharapkan terciptanya regulasi (kebijakan-kebijakan) yang berpihak pada rakyat kecil. Yang ada hanyalah tarik ulur kepentingan. Bahkan, negara bisa saja sekedar menjadi boneka globalisasi dan kapitalisme tanpa sedikitpun berdaya melakukan perlawanan. Seperti jeratan hutang luar negeri dengan beban besar hingga menyedot 35% APBN. Sedangkan anggaran terkait kesejahteraan rakyat hanya 25%. Itu artinya, sulit berharap pada negara.
Lalu bagaimana dengan partai politik? Kita bisa menilai bahwa prosedur demokrasi yang diterapkan cukup baik. Namun tidak dibarengi dengan munculnya kultur demokrasi yang memadai. Sekarang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki supremasi yang luar biasa. Tidak hanya hak mengajukan dan menyetujui anggaran negara. Tapi dalam banyak hal, seperti pengangkatan pejabat pemerintahan tertentu, suara DPR sangat menentukan. Tetapi kekuasaan partai ini lebih banyak digunakan untuk kepentingan partai semata. Padahal, hampir semua partai politik mengalami problem internal dan rawan konflik. Hanya dipicu perselisihan kecil, partai politik gampang sekali terpecah belah. Ini semua, karena minimnya kultur demokrasi.
Saya pernah aktif di Partai Amanat Nasional (PAN) pada posisi jajaran ketua. Saat itu saya berharap melalui partai dapat melakukan perubahan sosial secara lebih efektif. Ini dilakukan dengan membangun jaringan partai yang kuat, di sektor grass root (akar rumput) ataupun kelompok midle (menengah). Akan tetapi, partai-partai malah mudah terpecah, hingga memperburuk konsolidasi gerakan. Ditambah kenyataan bahwa partai yang ada saat ini, berpolitik tanpa perspektif, visi, apalagi ideologi. Sekarang ini tidak ada idealisme yang mengikat dalam partai politik. Orang hanya terikat di sebuah partai karena dua alasan; kekuasaan dan atau uang.
Untuk soal ini, banyak fakta menunjukkan betapa uang menjadi skala prioritas perjuangan partai. Semua partai, termasuk yang berlabelkan agama dan da’wah meminta bayaran jatah kursi dari orang yang akan maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Semua partaipun bergegas merapat ke para pengusaha besar dan pejabat berpengaruh. Sulit kita menemukan agenda-agenda partai, yang secara berkesinambungan memperjuang-kan hak-hak rakyat. Mereka hanya sibuk untuk mengurus diri mereka sendiri; peresmian, pelantikan dan kaderisasi. Untuk itu, mereka perlu modal besar, yang hanya bisa dipasok oleh pengusaha kakap atau mantan pejabat tinggi. Kian hari, partai politik semakin jauhdari rakyat.
Lalu bagaimana dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sendiri? Meski kita berharap LSM akan membawa perubahan, namun faktanya saat ini LSM cenderung sektarian. Artinya, LSM-LSM itu memiliki jalurnya sendiri-sendiri. LSM tertentu dengan jalur funding (pendanaan) tertentu. Celakanya lagi, LSM kadang menjadi sektor ekonomi informal. Orang tidak bekerja, lalu mendirikan LSM. “Siapa tahu ada lebihan, bisa beli ini dan itu”. Ini kritik bagi kita, aktifis-aktifis LSM. Kita harus berani melakukan otokritik.
Kita seringkali terkungkung pada gerakan dalam isu tertentu, jender misalnya. Tanpa mempedulikan isu perubahan sosial yang lain. Gerakan LSM, sebenarnya bagian dari social movement (gerakan sosial) yang harus mendasarkan pada kesadaran politik yang sama untuk melakukan perubahan sosial untuk keadilan. Paling tidak ini sebagai pengikat mimpi bersama.
Sekarang ini LSM tidak terlihat melakukan aksi-aksi riil di lapa-ngan. Kebanyakan dari mereka sibuk berwacana. Melakukan counter wacana di mana-mana dan tulisanpun berseliweran. Kita lebih banyak memproduksi buku daripada aksi perubahan yang sesungguhnya. Kita puas dengan dimuatnya sebuah tulisan, dibaca publik, lalu menanti honorarium. Seolah-olah kalau sudah berwacana sudah melakukan perubahan. Celakanya, berwacana juga cenderung pada hal-hal yang abstrak, yang sulit diukur efek prubahan-nya di kehidupan riil. Padahal seharusnya LSM menjadi kekuatan besar dalam melakukan perubahan secara nyata.
Saya rasa, generasi saya di LSM bisa dikatakan gagal. Karena tidak punya kekuatan cukup untuk melakukan advokasi politik di Indonesia. Karena itu, visi LSM mestinya tidak muluk-muluk. Pertama, bergerak pada pemberdayaan kesehatan masyarakat. Bagaimana orang sakit diobati. Bukan ditolak ketika datang ke rumah sakit karena ia miskin. Kedua, pemberdayaan pendidikan masyarakat. Seharus-nya pendidikan dasar dijamin negara. Ketiga, pemberdayaan ekonomi masyarakat, bagaimana menyediakan lapangan pekerjaan. Negara telah gagal menyediakan resource (sumber) ekonomi yang memadai bagi rakyat.
Yang terpenting saat ini kita harus berani melakukan terobosan. Menggalang kekuatan agen-agen perubahan, baik yang sehari-hari di LSM, mengaji kitab kuning, aktivis partai atau aparatur negara. Setelah itu membangun peta pergerakan yang tidak sektarian. Pergerakan yang secara riil untuk perubahan sosial ke arah yang lebih adil.
Setrateginya bisa dengan berbagai sarana. Jika kitab kuning (khazanah Islam klasik) dinilai efektif, para kader-kader muda pesantren harus serius mengkontekstualisasikannya, tidak sebatas wacana, tapi bagaimana betul-betul berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat. Saat ini, sulit mempercayai negara maupun partai politik. Justru rakyat adalah kekuatan yang sesungguhnya. Karena itu, rakyat sendiri harus kuat untuk melakukan perubahan nasibnya sendiri.
Ketika negara dan partai politik lemah, maka rakyat harus agresif berperan dalam politik pemberdayaan. Artinya politik yang mencerminkan keberpihakan terhadap problem-problem riil kehidupan. Kesadaran politik harus bermuara pada persoalan-persoalan sosial; sepertin kemiskinan, pengangguran, perdagangan manusia, kekerasan sosial, ketimpangan distribusi ekonomi dan yang lain.
Demikian halnya dengan aktor-aktor berbasis agama. Pemahaman agama harus dikonfrontir dengan persoalan realitas. Ulama harus bisa bergumul langsung dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Jika tidak, keilmuan yang ada tidak memiliki komitmen sama sekali sebagai alat utama dalam melakukan perubahan sosial. Karena esensi keislaman, adalah sejauhmana bisa menghadirkan kesejahteraan bagi semua (rahmatan lil’alamin). []
Sumber: Blakasuta Ed. 10 (2007)