Senin, 23 Desember 2024

Moeslim Abdurrahman: “Jangan Hanya Berwacana, Lakukan Perubahan Sosial”

Baca Juga

Kita lebih banyak  memproduksi buku daripada  aksi perubahan yang sesungguhnya. Kita puas dengan dimuatnya  sebuah tulisan, dibaca publik,  lalu menanti honorarium.  Seolah-olah kalau sudah berwacana sudah melakukan perubahan.

Berbicara mengenai peru­bahan sosial sekarang ini, siapakah yang dapat diper­caya sebagai lokomotif perubahan sosial di tengah arus zaman global dengan fakta ketimpangan ma-syarakat yang demikian kompleks? Pertanyaan seperti ini mungkin menjadi kegelisahan banyak orang. Karena rakyat mulai pesimis, kepa­da siapa harus menaruh harapan. Krisis kepercayaan kian merebak, membuat mentalitas bangsa begitu rapuh dalam menghadapi rumit-nya persoalan hidup. Mulai dari persoalan ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun yang lain. De­mikian Moeslim Abdurrahman, mengawali ceramahnya di hadap-an para Penggerak Kader Warga (KPW) dan Kader Penggerak Aga­ma (KPA) di Pusdiklatpri, Minggu 12 Nopember 2006.

Kita bisa melihat negara saat ini berada dalam posisi yang cukup problematis. Tidak mampu melakukan resistensi untuk kepen­tingan rakyat terhadap arus glo­balisasi. Globalisasi tentu tidak berpihak pada rakyat kecil dan orang-orang pinggiran. Susilo Bambang Yudoyono (SBY) se­bagai Pemimpin Negara tidak dapat berbuat banyak dengan mandat kekuasaan yang dimi­liki. Bisa jadi karena dirinya me­menangi Pemilu hanya berbekal popularitas yang didongkrak pencitraan media. Bukan karena dukungan riil berdasar sentimen politik tertentu.

Jika demi-kian, populari­tas hasil kema­san seperti ini bisa saja memu­dar, ber­gantung suhu po­litik yang berkem­bang . Apalagi SBY tidak didukung mesin politik yang kuat di gedung DPR RI. Dalam kondisi demikian, su­lit diharapkan terciptanya regulasi (kebijakan-kebijakan) yang ber­pihak pada rakyat kecil. Yang ada hanyalah tarik ulur kepentingan. Bahkan, negara bisa saja sekedar menjadi boneka globalisasi dan ka­pitalisme tanpa sedikitpun berda­ya melakukan perlawanan. Seperti jeratan hutang luar negeri dengan beban besar hingga menyedot 35% APBN. Sedangkan anggaran terkait kesejahteraan rakyat hanya 25%. Itu artinya, sulit berharap pada ne­gara.

Lalu bagaimana dengan partai politik? Kita bisa menilai bahwa prosedur demokrasi yang diterapkan cukup baik. Namun tidak dibarengi dengan munculnya kultur demokrasi yang memadai. Sekarang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki supremasi yang luar biasa. Tidak hanya hak mengajukan dan menyetujui anggaran negara. Tapi dalam banyak hal, seperti pengangkatan pejabat pemerintahan tertentu, suara DPR sangat menentukan. Tetapi kekuasaan partai ini lebih banyak digunakan untuk kepentingan partai semata. Padahal, hampir semua partai politik mengalami problem internal dan rawan konflik. Hanya dipicu perselisihan kecil, partai politik gampang sekali terpecah belah. Ini semua, karena minimnya kultur demokrasi.

Saya pernah aktif di Partai Amanat Nasional (PAN) pada posisi jajaran ketua. Saat itu saya berharap melalui partai dapat melakukan pe­rubahan sosial secara lebih efektif. Ini dilakukan dengan membangun jaringan partai yang kuat, di sektor grass root (akar rumput) ataupun kelompok midle (menengah). Akan tetapi, partai-partai malah mudah terpecah, hingga memperburuk konsolidasi gerakan. Ditambah kenyataan bahwa partai yang ada saat ini, berpolitik tanpa perspektif, visi, apalagi ideologi. Sekarang ini tidak ada idealisme yang mengikat dalam partai politik. Orang hanya terikat di sebuah partai karena dua alasan; kekuasaan dan atau uang.

Untuk soal ini, banyak fakta menunjukkan betapa uang menjadi skala prioritas perjuangan partai. Semua partai, termasuk yang berla­belkan agama dan da’wah memin­ta bayaran jatah kursi dari orang yang akan maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Semua par­taipun bergegas merapat ke para pengusaha besar dan pejabat ber­pengaruh. Sulit kita menemukan agenda-agenda partai, yang secara berkesinambungan memperjuang-kan hak-hak rakyat. Mereka hanya sibuk untuk mengurus diri mereka sendiri; peresmian, pelantikan dan kaderisasi. Untuk itu, mereka perlu modal besar, yang hanya bisa di­pasok oleh pengusaha kakap atau mantan pejabat tinggi. Kian hari, partai politik semakin jauhdari rak­yat.

Lalu bagaimana dengan Lem­baga Swadaya Masyarakat (LSM) sendiri? Meski kita berharap LSM akan membawa perubahan, namun faktanya saat ini LSM cenderung sektarian. Artinya, LSM-LSM itu memiliki jalurnya sendiri-sendiri. LSM tertentu dengan jalur funding (pendanaan) tertentu. Celakanya lagi, LSM kadang menjadi sektor ekonomi informal. Orang tidak bekerja, lalu mendirikan LSM. “Siapa tahu ada lebihan, bisa beli ini dan itu”. Ini kritik bagi kita, aktifis-aktifis LSM. Kita harus berani me­lakukan otokritik.

Kita seringkali terkungkung pada gerakan dalam isu tertentu, jender misalnya. Tanpa mempe­dulikan isu perubahan sosial yang lain. Gerakan LSM, sebenarnya ba­gian dari social movement (gerakan sosial) yang harus mendasarkan pada kesadaran politik yang sama untuk melakukan perubahan sosial untuk keadilan. Paling tidak ini se­bagai pengikat mimpi bersama.

Sekarang ini LSM tidak ter­lihat melakukan aksi-aksi riil di lapa-ngan. Kebanyakan dari me­reka sibuk berwacana. Melakukan counter wacana di mana-mana dan tulisanpun berseliweran. Kita le­bih banyak memproduksi buku daripada aksi perubahan yang se­sungguhnya. Kita puas dengan dimuatnya sebuah tulisan, dibaca publik, lalu menanti honorarium. Seolah-olah kalau sudah berwaca­na sudah melakukan perubahan. Celakanya, berwacana juga cen­derung pada hal-hal yang abstrak, yang sulit diukur efek prubahan-nya di kehidupan riil. Padahal seharusnya LSM menjadi kekuatan besar dalam melakukan perubahan secara nyata.

Saya rasa, generasi saya di LSM bisa dikatakan gagal. Karena tidak punya kekuatan cukup un­tuk melakukan advokasi politik di Indonesia. Karena itu, visi LSM mestinya tidak muluk-muluk. Per­tama, bergerak pada pemberdayaan kesehatan masyarakat. Bagaimana orang sakit diobati. Bukan ditolak ketika datang ke rumah sakit kare­na ia miskin. Kedua, pemberdayaan pendidikan masyarakat. Seharus-nya pendidikan dasar dijamin ne­gara. Ketiga, pemberdayaan ekono­mi masyarakat, bagaimana menye­diakan lapangan pekerjaan. Negara telah gagal menyediakan resource (sumber) ekonomi yang memadai bagi rakyat.

Yang terpenting saat ini kita harus berani melakukan terobosan. Menggalang kekuatan agen-agen perubahan, baik yang sehari-hari di LSM, mengaji kitab kuning, aktivis partai atau aparatur negara. Setelah itu membangun peta pergerakan yang tidak sektarian. Pergerakan yang secara riil untuk perubahan sosial ke arah yang lebih adil.

Setrateginya bisa dengan berbagai sarana. Jika kitab kuning (khazanah Islam klasik) dinilai efektif, para kader-kader muda pesantren harus serius mengkontekstualisasikannya, tidak sebatas wacana, tapi bagaimana betul-betul berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat. Saat ini, sulit mempercayai negara maupun partai politik. Justru rakyat adalah kekuatan yang sesungguhnya. Karena itu, rakyat sendiri harus kuat untuk melakukan perubahan nasibnya sendiri.

Ketika negara dan partai poli­tik lemah, maka rakyat harus agre­sif berperan dalam politik pember­dayaan. Artinya politik yang men­cerminkan keberpihakan terhadap problem-problem riil kehidupan. Kesadaran politik harus bermuara pada persoalan-persoalan sosial; sepertin kemiskinan, penganggu­ran, perdagangan manusia, kekera­san sosial, ketimpangan distribusi ekonomi dan yang lain.

Demikian halnya dengan ak­tor-aktor berbasis agama. Pemaha­man agama harus dikonfrontir den­gan persoalan realitas. Ulama harus bisa bergumul langsung dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Jika tidak, keilmuan yang ada tidak memiliki komitmen sama sekali se­bagai alat utama dalam melakukan perubahan sosial. Karena esensi keislaman, adalah sejauhmana bisa menghadirkan kesejahteraan bagi semua (rahmatan lil’alamin). []

 Sumber: Blakasuta Ed. 10 (2007)  

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya