Sejak hari pertama Agustus ini, Satimin (45) dan kawan-kawannya dari Komunitas Pemusik Jalanan atau KPJ Kota Bandung Sektor Ketapang menyisihkan sebagian penghasilan mengamen mereka. Dana itu dialokasikan untuk membiayai pentas musik memperingati kemerdekaan Republik Indonesia.
Jika ditambah donasi, dana yang terkumpul lebih kurang Rp 2 juta. Jumlah itu sebetulnya tidak mencukupi untuk membiayai acara yang akan digelar.
Namun, Ade Abdul Arifin (52) atau Mang Ipin, sesepuh komunitas itu, yakin, dengan kebersamaan mereka mampu mengatasi masalah keterbatasan dana. “Kami memang memilih tidak mengirim banyak proposal ke berbagai instansi. Soalnya, saat ini kan baru saja pemilihan wali kota. Sudah banyak organisasi yang rebutan kirim proposal,” kata Mang Ipin.
Acara yang akan digelar KPJ adalah pawai-mereka menyebutnya maraton-dengan rute sekitar Ketapang dan pentas musik dari siang sampai malam. Untuk pentas musik, akan dibangun panggung mini di halte bus Ketapang, tempat sehari-hari komunitas itu mangkal.
Sudah rutin
Beberapa bendera Merah Putih menghiasi halte itu sejak jauh hari. “Prinsipnya, acara ini dilakukan oleh masyarakat dan untuk masyarakat,” kata Satimin, ketua komunitas. Satimin yang lahir di Majalengka mengatakan, bertahun-tahun mangkal di tempat itu membuat mereka kenal dengan masyarakat setempat.
Rencananya, pentas musik pada siang hari akan diisi oleh KPJ dari berbagai sektor. “Anggota KPJ dari mana saja, yang sempat datang ke sini, boleh ikut pentas,” kata Andre, sekretaris komunitas itu. Kelelahan pentas pada siang hari akan dibayar hiburan artis lokal dengan iringan electone pada malam hari.
Pentas musik juga menjadi salah satu acara peringatan kemerdekaan warga kompleks Bumi Asri, Kelurahan Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Tak hanya musik dan hiburan, masih banyak acara khas tujuh belasan yang digelar, yakni lomba kebersihan antar-RT, olahraga, permainan anak-anak, dan bazar. “Panitianya kebanyakan remaja dan pemuda, tetapi pada praktiknya orang-orang tua juga ikut terlibat,” ujar Mursid WK (46), warga setempat.
Mursid mengatakan, acara semacam itu sudah menjadi kegiatan rutin tahunan. Kepanitiaan, kata dia, dibentuk sejak Mei. Beberapa kegiatan, khususnya lomba olahraga, sudah dimulai sebelum Agustus. “Saya sempat dua kali jadi ketua panitia, tetapi tahun ini saya tidak ikut jadi panitia karena sibuk,” kata Mursid seraya mengatakan, warga masih antusias untuk berpartisipasi dalam acara rutin ini.
“Meski di tingkat RW sudah ada acara, di tingkat RT juga digelar kegiatan. Masalahnya, di tingkat RW anak-anak yang jadi peserta lomba belum tentu dapat hadiah. Sementara di tingkat RT, yang kalah pun diberi hadiah. Jadi, mereka tidak kecewa,” katanya.
Biasanya hadiah berupa alat tulis. Meski sederhana, itu bisa membuat anak-anak gembira. “Keikutsertaan anak-anak membuat ibu-ibu ikut antusias,” kata Mursid.
Untuk berbagai kegiatan, panitia membutuhkan dana sekitar Rp 10 juta. Dana ini didapatkan dari iuran dan donasi. “Iuran sekitar Rp 15.000 per keluarga,” ujar Mursid.
Hal serupa diungkapkan Usdi Permana (47), warga RT 06 RW 15 Perumahan Bumi Rancaekek Kencana, Kelurahan Rancaekek Wetan, Kabupaten Bandung. Kegiatan yang diselenggarakan tidak jauh berbeda, yakni panggung hiburan serta berbagai lomba olahraga dan permainan. Dana juga berasal dari iuran dan donasi warga setempat. Setengah tiang berbagai acara memang digelar untuk memperingati kemerdekaan. Namun, pegiat budaya dari Cirebon, Ahmad Syubbanuddin Alwy, berpendapat, perayaan itu hanya memberikan keriangan semu. “Masalahnya, negara ini sedang dalam kondisi bangkrut. Perayaan yang diselenggarakan lebih bersifat seremoni daur ulang dan sentralistik,” kata Alwy.
Menurut dia, masyarakat dibiarkan merayakan dengan cara mereka sendiri, sedangkan acara inti peringatan tetap dilaksanakan di pusat kekuasaan.
“Kalau pejabat menggunakan momentum 17 Agustus untuk menyebar ke berbagai daerah terbelakang, bisa jadi acara peringatan akan lebih bermakna. Sebab, itu menjadi salah satu bentuk perhatian pemerintah kepada masyarakat,” kata Alwy.
Toh, masyarakat bukannya tidak tahu bahwa acara semacam ini lebih merupakan keprihatinan dibandingkan dengan perayaan. “Kita baru merdeka setengah tiang,” kata Andre dari KPJ, mengkritik kondisi negara.
Namun, bagi Andre, Mursid, dan Usdi, kerisauan semacam itu sementara bisa dikesampingkan. Kemeriahan perayaan kemerdekaan tetap ditunggu karena merupakan kesempatan untuk silaturahim. “Dalam acara semacam ini, kami bisa berkumpul dengan rekan-rekan KPJ dari sektor lain dan warga masyarakat,” ungkap Andre.
Hal serupa diakui Mursid dan Usdi yang sibuk dengan pekerjaan mereka. “Apalagi, di kompleks (perumahan), kadang dengan tetangga pun jarang ketemu karena pulang malam. Tapi, dalam acara seperti ini biasanya kami menyempatkan diri,” tutur Usdi.
Ya, setelah 63 tahun berlalu, mau tidak mau ada pergeseran makna perayaan kemerdekaan. Di balik kemeriahan perayaan itu masih banyak hal yang mengundang keprihatinan.
Sumber: Kompas, 16 Agustus