Musik yang hanya digelar setahun sekali pada awal Rabiul Awal ini dikenal dengan nama “gong sekati”. Satu rentetan musik yang terdiri atas gamelan Jawa (Cirebon) yang hanya ada di Keraton Kanoman. “Gong sekati” merupakan ucapan lidah lokal Cirebon yang berarti gong syahadatain. Istilah sekaten juga ada di Keraton Yogya dan Surakarta yang digelar pada saat Grebeg Mulud. Lagunya sederhana “Bango Butak” yang mirip iringan gamelan renteng penyambut tamu agung.
Kisah dari mulut ke mulut menyebutkan, gamelan inilah yang konon mampu membuat masyarakat Cirebon pra-Islam tergetar hatinya saat mendengarkan irama lagu tersebut. Pada saat gong dibunyikan, maka atas anjuran Sunan Kalijaga untuk membaca dua kalimat syahadat. Saat itulah istilah syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat diucapkan menjadi sekati. Terkenalah kemudian nama “gong sekati.”
Waditra yang terdapat dalam gamelan sakati Cirebon adalah bonang, saron, beduk, cekebres, goong, kemanak, dan kebluk. Penclon bonang diletakkan sederet dalam dua ancak. Ancak kadang-kadang diletakkan memanjang atau menyambung di antara keduanya, tetapi kadang-kadang diletakkan berdampingan sehingga nayaga (penabuh) duduk secara berhadapan. Lagu gamelan sakati Cirebon di antaranya lagu “Rambon”, “Sekaten”, dan “Bango Butak”. Lagu-lagu gamelan sakati menurut tradisi dibuat oleh Sunan Kalijaga (http://e-travelplan.com.)
Abad ke-14 dan ke-15 oleh masyarakat Cirebon dianggap sebagai abad pencerahan. Alasannya, pada kedua abad tersebut terjadi perubahan keyakinan secara besar-besaran. Dari anutan agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal lainnya yang ada beralih kepada ajaran baru saat itu, yakni Islam.
Momen ini yang kemudian menjadi tonggak perubahan dalam segala tatanan, baik dari keyakinan maupun produk kebudayaan termasuk seni musik, tari, rupa, dan vokal. Gamelan atau tabuhan yang digunakan para sunan itu pun kemudian dijadikan induk dan berkembang menjadi berbagai seni pertunjukan, baik musik, vokal, maupun sastra. Gamelan sekaten dianggap masyarakat Cirebon sebagai gamelan induk yang menjadi patokan ritme bagi gamelan-gamelan lainnya.
Gamelan renteng
Pada seni musik, gamelan sekaten memberikan ilham terhadap seniman saat itu untuk membangun sebuah gamelan pengiring penerima tamu agung. Gamelan itu dikenal sebagai “gamelan renteng”. Catatan Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Cirebon (1992/1993) menyebutkan, gamelan ini pemberian dari Mataram untuk Cirebon, dibawa Ki Ageng Gamel Syekh Windu Aji pada masa Sunan Gunung Jati. Gamelan renteng disebut juga “gamelan dawa”. Berasal dari dakwah, yang berarti gamelan tersebut sebagai alat dakwah.
Pada masa berikutnya, gamelan renteng merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan pergelaran jaran lumping. Jaran lumping dalam khazanah kesenian Cirebon berbeda dengan jaran kepang yang biasa dimainkan pada masa kini. “Jaran lumping” hanya membawakan tarian tanpa mempertunjukan atraksi makan beling, rumput, dan atraksi lainnya.
Gamelan renteng yang dianggap sebagai karawitan keraton menyatu dengan jaran lumping yang merupakan kesenian rakyat. Seperti pada musik tradisi Jawa Tengah (Waridi, Musik Tradisi Jawa Tengah, 2002) secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yakni musik tradisi keraton dan musik tradisi rakyat.
Musik tradisi Cirebon pun tampaknya tak berbeda dengan musik-musik tradisi lainnya di Jawa. Karena memang Jawa merupakan pusat kebudayaan yang mampu memberikan pengaruh terhadap musik-musik tradisi lainnya. Pada gamelan sekati misalnya, gamelan ini dianggap sebagai hak paten keraton, baik Kanoman maupun Kasepuhan. Sementara gamelan renteng dan jaran lumpingnya merupakan musik dan tarian tradisi yang dipelihara rakyat.
Angklung Bungko
Sebenarnya musik ini merupakan musik dan tarian perang (baca: tawuran) antarwarga desa pada masa awal Islam. Bungko merupakan sebuah desa yang terletak di pinggir pantai. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencarian sebagai nelayan. Dari desa itulah “angklung bungko” lahir. Alat musik yang digunakan dalam kesenian ini adalah angklung. Bentuknya hampir sama dengan angklung Sunda masa kini.
Pada awalnya merupakan musik ritmis dengan menggunakan media kentongan (kohkol) yang terbuat dari potongan ruas bambu. Angklung bungko diperkirakan lahir menjelang abad ke-17 setelah wafatnya Sunan Gunung Jati. Diduga, kesenian ini lahir secara kolektif. Tercipta atas dasar luapan emosi kegembiraan setelah mereka memenangkan perang (tawuran) melawan pasukan Pangeran Pekik (Ki Ageng Petakan). “Tawuran” sebagai akibat perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip ajaran Islam yang diajarkan Sunan Gunung Jati. Karena itu gerakan-gerakan tari angklung bungko lebih merupakan dari penggambaran peperangan saat mereka mematahkan serangan Pangeran Pekik.
Ada empat tarian dalam angklung bungko, antara lain 1. Panji, menggambarkan sikap berzikir. 2. Benteleye, menggambarkan sikap bertindak dalam menghadapi rintangan di perjalanan. 3. Bebek ngoyor, menggambarkan jerih payah dalam upaya untuk mencapai tujuan. 4. Ayam alas, menggambarkan kelincahan dalam mencari sasaran pemilih.
Ki Ageng Bungko (Ki Puyunan) sebagai anutan yang berjiwa egaliter dan banyak jasa semasa hidupnya, kini seolah-olah menjadi simbol kehebatan masyarakat bungko. Karena itu untuk mengenang jasa-jasa leluhurnya, mereka mengimplementasikannya dalam upacara ritual adat yang dikenal dengan ngunjung.
Terbang Brai & Rudat
Terbang atau trebang sebenarnya merupakan bentuk tabuhan semacam genjring. Sedangkan brai berasal kata dari “birahi” yang berarti kasmaran atau jatuh cinta. Namun berahi di sini sebagai “berahi” kepada Allah atau lazim dikatakan “Brai maring Pengeran” (cinta kepada Allah).
Dari berbagai catatan yang ada, seni brai diperkirakan telah dikenal sejak abad ke-13 sebelum berdirinya Kesultanan Cirebon. Diceritakan, berawal dari tiga pemuda Timur Tengah bernama Sayid Abdillah, Abdurrakhman, dan Abdurrakhim diperintahkan orang tuanya mencari seorang bernama Syekh Nur Jati di Tanah Jawa (Cirebon) untuk berguru dan memperdalam ajaran Islam. Selama dalam perjalanan itulah mereka menyenandungkan syair-syair mengenai keagungan Allah dan rasul-Nya, Muhamad saw. Mendengar irama itu, masyarakat yang belum mengenal Islam berbondong-bondong mengikuti tiga pemuda tampan itu dari belakang hingga ke Gunung Ampara Jati pimpinan Syekh Nur Jati (Disbudpar Kota Cirebon, 2006). Brai digelarkan biasanya pada malam Jumat atau pada acara-acara tertentu, seperti mitung wulan, puputan, dan acara-acara lain yang berkaitan dengan syukuran.
Penggunaan genjring sebagai alat tabuh dilakukan juga pada seni rudat. Bedanya irama genjring rudat lebih keras, bergairah, dan beraturan. Sedangkan pada brai, genjring ditabuh dengan sangat lembut dengan diselingi syair-syair keagungan dan ketauhidan. Seni rudat lebih menekankan pada irama yang keras dan diiringi selawat nabi serta tarian pencak silat.
Abtadi-ul imlaa-a bismidzdzatil ‘aliyah (Aku memulai menulis – kisah maulid Nabi Muhammad saw. – ini dengan menyebut nama Allah Zat Yang Mahamulia). Begitulah mereka mengucapkan sebait syair yang ditulis Syaikh Ja’far Al Barzanjie sebagai awal dari lagu-lagu rudat yang akan mereka mainkan. Sudah tentu syair itu diucapkan sebelumnya mereka membaca basmallah.
Syair-syair karya Al Barzanjie memang telah lama menjadi pilihan kaum santri di pinggiran jalur pantura dalam memuja-muji Allah SWT dan memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad saw. Mereka melagukannya di masjid-masjid, musala, dan rumah-rumah pada hari-hari tertentu. Mereka terus berupaya mengenang Rasulullah Muhammad melalui syair-syair tersebut.
Pada saat upacara tradisional mitung wulan (tujuh bulan), puputan, khitanan, nyukur (mencukur) rambut jabang bayi yang telah berumur 40 hari atau pada saat-saat sukacita sebagai rasa syukur dan penghormatan terhadap Rasulullah, genjring rudat dimainkan. Beberapa lagu cuplikan dari syair Al Barzanjie yang paling populer, di antaranya Al Muqoddamili dan Al Musaf fa ufil waroo.
Rudat yang diduga berasal kata dari iradat merupakan salah satu sifat Allah Yang Mahaagung, berarti berkehendak. Kehendak Tuhan Yang Mahabenar itulah yang ditafsirkan dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. ke muka bumi sebagai rahmatan lil’alamiin. Rudat kemudian menjadi bentuk kesenian tradisional di Cirebon.
Pada awalnya rudat hanya dimainkan dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima hingga sepuluh orang. Mereka bermain di masjid dan surau-surau. Dari tempat ini, dakwah Islamiyah dikembangkan sebab dari syair-syair yang dinyanyikan seluruhnya berisi ajaran untuk menyembah Allah Yang Maha Tunggal dan meneladani Rasulullah.
Bentuk seni lain yang serupa, tapi tak sama adalah gembyung. Iramanya lebih halus, demikian pula lagu-lagu yang dibawakannya terasa sangat lembut. Namun, baik rudat, brai, maupun gembyung pada dasarnya memiliki nilai dasar seni yang sama, yakni melagukan selawat nabi.
Pada seputar tahun 1960-an, seni rudat mengalami kejayaannya. Bahkan, kemudian dimodifikasi dengan atraksi-atraksi akrobat yang diramu dengan debus. Kesenian ini pun sempat berganti nama menjadi genjring akrobat.
Marhaban yaa marhaban yaa marhaban, marhaban jaddal husaini marhaban. Yaa nabii salaam ‘alaiika yaa rasuul salaam ‘alaika. Yaa habiib salaam ‘alaika shalawaatullaah ‘alaika. Asyraqal badru’alainaa fakhtafat minhul buduruu. “Selamat datang, selamat datang wahai kakek Hasan dan Husein, selamat datang. Wahai Nabi, semoga kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Wahai Rasul, semoga kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Wahai kekasih, semoga kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Semoga rahmat Allah selalu tercurah kepadamu. Telah terbit bulan purnama kepada kita, maka bersembunyi dan suramlah semua bulan dibandingkan bulan purnama itu….”
Kitab Barzanjie memang memiliki makna tersendiri bagi kaum santri “pinggiran” di sepanjang jalur pantura. Karya sastra terkemuka di Timur Tengah pada seputar abad ke-12 itu telah menjadi bagian kehidupan sastra lisan mereka.
Tarling
Kesenian yang satu ini merupakan puncak kreativitas seniman Cirebon dalam merombak tradisi gamelan menjadi gitar dan suling. Tarling lahir diperkirakan sejak masa pos-kemerdekaan, yakni sekitar tahun 1945-an. Semula kesenian ini merupakan bagian dari kesenian pribadi untuk merayu gadis atau janda pada masa itu. Lagu-lagu yang dibawakannya bersifat improvitaris, seadanya, dan seketemunya. Pada periode berikutnya tarling digubah dalam bentuk “kiseran” (balada). Muncullah opera rakyat Cirebon. Salah satu kiser terkenal, di antaranya “Kiser Saidah Saini” berikutnya “Kiser Baridin dan Ratminah” Berbarengan dengan itu tarling terus mengalami perubahan dalam perjalanannya.
Tahun 1965, Kepala RRI Cirebon saat itu Fajar Madraji memberi cap tarling sebagai “Melodi Kota Udang.” Sejak saat itulah tarling mengalami masa keemasannya, setelah munculnya dua tokoh terkemuka H. Abdul Adjib dan Soenarto Martaatmadja. Dari sini fenomena PoP (protest of people) terjadi. Berbeda dengan masa kiseran yang mengandalkan improvisasi dari para pemainnya dan tidak memiliki durasi yang pasti, maka pada era Melodi Kota Udang, lagu-lagu tarling ditentukan durasinya karena bukan hanya untuk kepentingan panggung, tetapi juga industri rekaman. Salah satu contoh lagu tarling “Melati Segagang” ciptaan Soenarto Martaatmadja “
Melati segagang, cukul ning pekarangan,
Mambune rum mawangi, langka sing duweni.
Ketika mulai memasuki dunia rekaman, tarling pun tergoda untuk melakukan kolaborasi dengan dangdut, musik pop, dan bahkan rock. Saat ini tarling mulai kehilangan rohnya, yang ada adalah “dangdut Cerbonan”. Kalangan seniman tarling, seperti H. Abdul Adjib dan Soenarto tak rela lagu-lagu semacam itu disebut “tarling dangdut”, yang benar benar adalah “dangdut Cerbonan”. Tak ada dangdut dalam tarling,” kata mereka. (Nurdin M. Noer, wartawan senior, Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cerbon)***
Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2009