Hari Jumat 25 Februari 1966, ratusan penduduk kota metropolitan Jakarta mengantarkan jenazah Arief Rahman Hakim, Pahlawan Ampera, ke pemakaman Blok P Kebayoran Baru. Arief Rahman Hakim sendiri lahir pada tanggal 24 Februari 1943 di Padang. Kedua orang tuannya Haji Syair dan Hakimah, adalah orang Ahmadiyah yang telah lama tinggal di kota itu. Nama yang sebenarnya adalah Ataur Rahman, tetapi kemudian nama pertama itu digantinya sendiri dengan nama Arief. Adapun tambahan nama Hakim, ia ambil dari nama ibundanya yang bernama Hakimah
Pada th. 1958, ia tamat SMP dan pindah ke Jakarta untuk meneruskan pelajarannya di SMA dan kemudian melanjtkan pada fakultas kedokteran UI. Ketika di Jakarta Arief adalah seorang khudamul Ahmadiyah yang aktif. Dalam pergolakan yang dicetuskan mahasiswa untuk merobohkan rezim orde lama, Airef tidak ketinggala. Kamis, 24 Februari 1966, ia gugur tertembus peluru. Arief kemudian disebut sebagai Pahlawan Ampera.
Selain Arief Rahman Hakim, orang Ahmadiyah juga tercatat dalam berbagai perjuangan kemerdekaan RI. Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Harian “Merdeka” di Jakarta edisi Selasa Legi, 10 Desember 1947 memuat tulisan yang menguatkan hal ini. Dalam satu artikel yang berjudul “Memperhebat Penerangan Tentang Repoblik Gerakan Ahmadiyah Toeroet Membantoe”, dikatakan bahwa: “Betapa besarnja perhatian gerakan Ahmadijah tentang perdjoeangan kemerdekaan bangsa kita dapat diketahoei dari soerat-soerat kabar harian dan risalah-risalah dalam bahasa Ouerdue jang baroe-baroe ini diterima dari India. Dalam soerat-soerat kabar terseboet, didjoempai banjak sekali berita-berita dan karangan-karangan jang membentangkan sedjarah perdjoeangan kita. Soal-soal yang berhoeboengan dengan keadaan ekonomi dan politik Negara, biografi pemimpin-pemimpin kita, terdjamahan dari Oendang-Oendang Dasar Repoeblik dll”.
Selain itu juga dikatakan: “Selain itoe terjtantoem djoega beberapa pidato jang pandjang lebar, mengenai seroean dan andjoeran kepada pemimpin-pemimpin Negara Islam, soepaja mereka dengan serentak menjatakan sikapnja masing-masing oentoek mengakoei berdirinja pemerintahan Repoeblik Indonesia. Hal yang mengharoekan ialah soeatoe perintah oemeom dari Mirza Bashiruddin Mahmoed Ahmad, pemimpin gerakan Ahmadijah kepada pengikoet-pengikoetnja di seloeroeh doenia jang djoemlahnja 82 djoeta orang soepaja mereka selama boelan September dan Oktober jang baroe laloe ini, tiap-tiap hari Senin dan Kemis berpoesa dan memohonkan do’a kepada Allah SWT goena menolong bangsa Indoenesia dalam perdjoangannja, memberi semangat hidoep oentoek tetap bersatoe padoe dalam tjita-titanya, memberi ilham dan pikiran kepada pemimpinnja goena memadjoekan negaranja menempatkan roe’b (ketakoetan) di dalam hati moesoehnja serta tercapainja sekalian tjita-tjita bangsa ini”.
Tercatat pula dalam sejarah bahwa ketua Hoofdbestuur Jemaat Ahmadiyah pada masa orde lama adalah R. Muohammad Moehyidin. Beliau menjabat sebagai pegawai tinggi kementerian dalam negeri dan juga pejuang yang aktif turut serta mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta. Pada th. 1946 beliau diangkat sebagai sekretaris panitia perayaan kemerdekaan RI yang pertama. Rencananya, beliau akan memegang bendera merah putih di barisan depan. Akan tetapi delapan hari sebelum perayaan proklamasi dilaksanakan, beliau diculik Belanda dan tidak ketahuan rimbanya hingga kini.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur ) juga menyatakan ada saudaranya yang ikut Jemaat Ahmadiyah, yang ikut serta dalam perjuangan kmerdekaan RI. Saya lupa nama saudara Gus Dur tersebut. Para pembaca bisa cari mengenai data ini di internet, khusunya situs yang terkait dengan Gus Dur.
Mungkin karena jasa Ahmadiyah dalam perjuangan kemerdekaan RI inilah founding father bangsa ini, Ir. Soejkarnom bersikap simpatik terhadap Jemaat Ahmadiyah. Rasa simpati presiden pertama RI ini dibadikan dalam bukunya ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ itu juga (jilid I). Di halaman 389 Soekarno menulis: “Ya,……. Ahmadiyah tentu ada cacadnya, – dulu pernah saya terangkan di dalam suratkabar ‘Pemandangan’ apa sebabnya saya tidak mau masuk Ahmadiyah – tetapi satu hal adalah nyata sebagai batukarang yang menembus air laut: Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India, dan satu faktor penting pula di dalam propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan kaum intelektuil seluruh dunia umumnya. Buat jasa ini – cacad saya tidak bicarakan di sini – ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas menerima terima kasih. Salut penghormatan dan terima kasih itu, marilah kita ucapkan kepadanya di sini dengan cara yang tulus dan ikhlas”
***
Dari data dan fakta di atas, kita bisa menilai seberapa besar nasionalisme Ahmadiyah. Dan saya kira pembaca yang cerdas akan segera membandingkannya dengan nasionalisme kelompok-kelompok Islam radikal yang getol menyuarakan pemberangusan terhadap Jemaat Ahmadiyah belakangan ini. Bukankah kelompok-kelompok ini jugalah yang menginginkan penerapan formalisasi syariah, menginginkan dasar Negara RI yang Pancasila dan beragam ini diganti dengan ‘negara Islam’ menurut versi mereka sndiri?. Dari sini jelas terlihat, siapa yang ikut mnyumbangkan jasanya bagi nasionalisme dan kebangkitan bangsa ini, dan siapa pula yang hendak membangkrutkannya?
Penulis adalah alumnus Pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin, yang sekarang berkhidmah menjadi ketua PC Lakpesdam NU Cirebon, dan bekerja untuk kemanusiaan di Fahmina Institute.