Perempuan, sering menjadi bahan pergunjingan. Perempuan juga ada yang memposisikan sebagai hiburan. Bahkan perempuan sangat menjadi kebutuhan. Dahsyatnya perempuan, meski apapun yang dilabelkan terhadapnya, dia tetap sebagai perempuan. Makhluk Tuhan yang sangat unik itulah perempuan. Unik karena perempuan kebanyakan memiliki multi talenta, yang tak kan tertinggal walau arus globalisasi menghadang.
Globalisasi yang mengikis habis batas-batas teritori di jagat ini, melalui kemajuan industrialisasi dan informasi bagi perempuan diyakini juga sebagai ambigu. Kapitalisme yang menempatkan semua hal pada bingkai komersialisasi, juga menggerus aktivitas-aktivitas produktif manusia (perempuan). Mereka melakukan rasionalisasi pasar, memisahkan yang domestic-privat dari yang public dan social.
Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pada saat yang sama dorongan yang kuat akan keberhasilan mengabaikan cita-cita tentang penghasilan keluarga yang bertumpu pada laki-laki serta memaksa perempuan (dan anak-anak) dari kelas bawah untuk bekerja. Situasi seperti ini sebetulnya bukannya memberi peluang bagi kaum perempuan untuk lebih terpenuhi hak-haknya, tetapi justru kaum perempuan dijadikan obyek eksploitasi yang sangat komersial oleh system kapitalisme dan industry modern. Di sisi lain, dalam lingkungan rumah tangganya, perempuan kerap dijadikan korban kekerasan. Inilah yang membuat para perempuan menuntut rasa keadilan.
Gerakan massif untuk perjuangan bagi kaum perempuan untuk kehidupan yang lebih egaliter dan adil ini belum menyentuh hati semua kaum perempuan. Mungkin hanya bagi perempuan yang mengalami kekerasan sajalah yang kadang baru menyadari bahwa dia diperlakukan tidak adil. Padahal masih banyak lagi realitas ketidakadilan terhadap perempuan yang sebagian masyarakatnya (khususnya perempuan) sendiri tidak menyadari akan hal ini.
Misalnya pada sebuah kekerasan dalam rumah tangga yang berbentuk fisik. Kejadian seperti ini sudah jelas terlihat ketidakadilannya. Tetapi masih ada jenis kekerasan pada kaum perempuan yang jauh lebih besar, yaitu kekerasan batiniyah. Artinya seorang istri yang tersakiti hatinya dalam rumah tangga yang tidak tampak. Padahal kekerasan batin susah pemulihannya dan membutuhkan waktu serta kesabaran, bahkan sepanjang hidupnya tidak bisa lupa. Apakah kesabaran (pasif) adalah solusi bagi perempuan-perempuan yang tertindas dan mengalami tindak kekerasan fisik ataupun batin? Jawabannya jelas, itu bukan solusi yang tepat.
Perempuan dalam Konsep Agama
Kalau kita merujuk kepada konsep hak-hak asasi manusia dalam Islam, tentu itu sangat bertentangan. Karena Islam menjunjung tinggi hak-hak manusia termasuk bagi kaum perempuan. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Dulu pada masa jahiliyah kami tidak memperhitungkan kaum perempuan sama sekali, kemudian ketika datang Islam dan Allah menyebutkan mereka di dalam kitab-Nya, kami baru tahu bahwa mereka mempunyai hak terhadap kami” (HR. Bukhari).
Dalam hadits lain dinyatakan sebagai berikut: “Tidaklah yang memuliakan perempuan kecuali mereka yang mulia dan tidaklah yang menghina (melecehkan) perempuan kecuali mereka yang hina” (HR. Ibn Asakir). Al-Qur’an menyebutkan tentang hak-hak perempuan dan seruan perilaku yag ma’ruf terhadap perempuan cukup banyak, di antaranya: “Laki-laki mukmin adalah mitra perempuan mukmin….” (QS. At-Taubah:71); “Hak-hak (untuk perempuan) seumpama kewajiban di atas pundaknya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al Baqarah:288).
Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits di atas cukup untuk menegaskan Islam sesungguhnya membawa ajaran yang meninggikan derajat dan martabat perempuan. Sayangnya ajaran yang luhur itu seringkali ditafsirkan secara dangkal, sehingga tidak jarang ditemukan penafsiran keagamaan yang justru merendahkan perempuan. Misalnya mengenai ketaatan perempuan, sering ditafsirkan dalam bentuk yang serba membatasi gerak dan aktifitas perempuan dalam masyarakat. Ibadah perempuan yang dianggap terbaik adalah yag hanya dalam ruang lingkup rumah tangganya saja. Selain ituu, ketaatan seorang perempuan muslim kepada Allah SWT diukur ketaatannya kepada suami. Karenanya, menjadi tidak mungkin bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya, kecuali sebagai istri dan seorang ibu yang baik dalam rumah tangganya.
Fenomena-fenomena yang menyudutkan dan memposisikan perempuan pada kedudukan yang rendah atau lemah sehingga lebih cenderung mendapatkan perlakuan yang tidak adil adalah konstruksi social tentang hakikat perempuan yang hanya ditinjau dari teori nature atau teori seksualitas saja tanpa adanya point of vieuw bahwa perempuan pun tidak luput dari pembentukan kultur, tradisi, adat istiadat dan lingkungan. Artikel ini telah dimuat di SKH Kabar Cirebon, Senin, tgl 11 Maret 2013.
Masyithoh adalah teman belajar dan penggiat Bayt Al Hikmah Community dan mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.