Abdallah Barghouthi (26) memaparkan isi film dokumenter berjudul Erna’s Boys, yang diputar di hadapan sejumlah seniman dan tamu undangan di Jatiwangi Art Factory (JAF), Kecamatan Jatiwangi, Majalengka. Pemuda asal Kota Ramallah, Palestina, ini menjelaskan, film itu berangkat dari kisah nyata anak-anak Palestina yang gagal meraih cita-citanya akibat perang berkepanjangan.
“Sebenarnya, di Palestina kami juga hidup berdampingan, seperti di Indonesia. Sebab, di sana, selain Muslim, ada penduduk yang beragama Kristen, Katolik, dan Ortodoks. Namun, di sana belum damai karena kami belum merdeka dan ada perang melawan Israel,” ujar Abdallah dengan bahasa Indonesia yang lumayan lancar, Minggu (11/4).
Abdallah adalah satu dari lima pemuda Palestina yang sejak Agustus 2009 mengikuti program Capacity Building for Palestinians yang diprakarsai Pemerintah Indonesia sebagai bentuk dukungan terhadap pencapaian kemerdekaan Palestina. Program yang berbentuk pendidikan dan pelatihan ini rencananya melibatkan 1.000 warga Palestina, mulai dari tahun 2008 hingga 2013.
Pada kesempatan kali ini, kelima pemuda ini ikut belajar di pendidikan diplomat muda di Kementerian Luar Negeri.
Kepala Bidang Diklat Struktural dan Kerja Sama Lembaga Diklat Kementerian Luar Negeri Arko Hananto Budiadi mengatakan, muda-mudi Palestina itu tidak hanya mendapat pendidikan dasar diplomatik, tetapi mereka juga menerima berbagai materi mengenai pengetahuan tentang budaya, bahasa, tradisi, dan keragaman agama yang ada di Indonesia. Pemerintah Indonesia ingin menunjukkan keberagaman budaya sebenarnya bisa menyatu dan hidup berdampingan dalam satu negara.
Oleh sebab itu, selain pernah dibawa ke Kota Bandung, tiga dari lima pemuda itu pun diajak berkunjung ke Cirebon, Kuningan, dan Majalengka. Di Cirebon, mereka mengunjungi keraton, sentra batik trusmi, dan sentra industri rotan. Harapannya, mereka mengetahui industri yang menghidupi suatu daerah dan sentra-sentra industri yang berkembang dari industri rumahan.
Tak pandang agama
Mereka kemudian ikut diskusi bersama sejumlah pemuka agama yang hadir di Fahmina Institute, lembaga swadaya masyarakat yang mengkaji permasalahan sosial, gender, lintas agama, dan ideologi. Dari diskusi itu, aku Abdallah, adalah hal terbaik yang dia dapatkan selama kunjungan di Cirebon.
“Orang Cirebon melakukan sesuatu tidak memandang agamanya apa. Namun, dengan beda agama mereka bisa hidup harmonis,” kata Abdallah, yang berjanji akan membawa hal positif ini ke negaranya.
Sementara itu, di Jatiwangi, Majalengka, ketiga pemuda Palestina itu mengamati pembauran kehidupan seniman dengan kegiatan usaha sehari-hari warga desa. JAF adalah komunitas seni dan budaya di Majalengka yang mampu memadukan industri genting rumahan dengan kesenian musik, seperti menjadikan genting dan tembikar sebagai perkusi.
Kota tujuan
Dipilihnya Cirebon sebagai kota tujuan karena percampuran budaya dan kerukunan umat di daerah ini telah terbentuk sejak zaman dulu. Adapun dipilihnya JAF karena komunitas ini dianggap mampu menciptakan kesepahaman melalui kegiatan seni. Konsep seniman asing tinggal dan menetap di rumah-rumah penduduk merupakan cara terbaik mengenalkan sekaligus melibatkan pendatang tentang budaya, bukan sekadar kesenian, di Indonesia.
“JAF bukan hanya mengenalkan budaya dan tradisi, melainkan mengajak langsung orang baru mengalami budaya itu sendiri,” ujar Bambang Subarnas dari Network Communication, konsultan program.
Arko menekankan, program yang kini baru melibatkan 125 pemuda Palestina ini bukan atas dasar agama, melainkan atas dasar kemerdekaan merupakan hak semua bangsa di dunia. Makanya, pemuda-pemuda Palestina yang belajar di Indonesia diharapkan menjadi ujung tombak persiapan kemerdekaan negaranya. Kondisi multikultur di Indonesia dan berlangsung relatif harmonis diharapkan bisa menjadi contoh buat mereka. (Timbuktu Harthana)