Sabtu, 30 November 2024

Partisipasi Perempuan di Parlemen

Baca Juga

 

Kini, perempuan Indonesia pantas bergembira atas keluarnya UU No. 2 tahun 2008 tentang kewajiban bagi Partai Politik agar memberi kuota 30 % bagi calon lagislatif perempuan.  Perempuan kini tak melulu menunaikan kerja-kerja domestik, kerja-kerja rumah tangga semata, tetapi diberi kesempatan lebar-lebar untuk memasuki dunia politik. Guna trurt serta dalam menentukan kebijakan public, terutama menentukan perbaikan nasib perempuan itu sendiri. 

Memang UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu yang hanya ‘memperhatikan kuota 30%’ tetapi pada UU No. 2 tahun 2008 sudah mulai ada memberi angin segar karena jelas tercantum dalam 2 ayat 2: Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pada pasal 2 ayat 5 dinyatakan  bahwa “Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Sedangkan pada Pasal 20 dinyatakan bahwa: “Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing”.  

Dengan terbitnya UU No, 2 tahun 2008 tersebut setidaknya dapat menjadi jembatan bagi perempuan untuk turut ambil bagian pada pencalonan legislatif. Sebenarnya, seberapa penting perempuan harus menjadi anggota legislatif? Semuanya berawal pada kesadaran bersama akan pentingnya kebijakan yang mewakili kepentingan perempuan di ruang pengambil kebijakan, yaitu Legislatif. 

Strategi bersama, komitmen bersama 

Dengan disahkannya UU No. 2 tahun 2008, harus ada komitmen bersama dari semua pihak,  untuk mewujudkan kuota 30 % bagi perempuan di kursi legislatif. 

Tuntutan komitmen partai politik ditegaskan pada pasal 8 ayat (1) poin  d bahwa untuk menjadi peserta Pemilu partai politik harus mencantumkan surat keterangan dari pengurus pusat tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.  Sedangkan penekanan pada KPU jelas dibunyikan pada pasal 58 ayat (2) yaitu “Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar calon tersebut.”, walaupun tidak ada sanksi yang tegas untuk menjerat parpol jika tidak memuat kuota 30%, setidaknya KPU dapat bersikap tegas atas komitmennya mendukung keterwakilan perempuan di legislatif. 

Begitupun dari seluruh lapisan masyarakat, harus ada komitmen bersama. Yang pertamaharus dilakukan adalah masyarakat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk duduk di legislatif. Dan yang kedua, harus ada kontrol kebijakan oleh seluruh lapisan masyarakat-terutama aktivis perempuan- atas kerja-kerja anggota legislatif perempuan, tanpa lelah mendampingi mereka untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang sensitif gender. Karena selama ini, apalah artinya mengusung mereka untuk menjadi bagian dari perumus kebijakan tanpa ada tempat untuk berdiskusi tentang strategi kesejahteraan perempuan. 

Negara kita, Indonesia, adalah negara yang sangat menjunjung keadilan. Jika itu sudah kita terapkan dalam segala lini maka negara ini pasti akan menjadi negara yang sangat arif terhadaprakyatnya. 

Partisipasi Politik Perempuan Dalam Sejarah Islam

Dalam beberapa hal, Nabi mewakilkan urusan agama kepada perempuan, dalam hal ini Aisyah. Sahabat-sahabat perempuan Nabi saw juga banyak yang perempuan. Bahkan banyak di antara mereka yang aktif mengikuti halqah-halqah Nabi. 

Imam Syafi’i juga mempercayakan urusan perempuan berdasarkan suara perempuan itu sendiri. Ini terbukti ia melakukan survey dan dengar pendapat kaum perempuan ketika menentukan fiqh batasan-batasan haid perempuan. 

Umumnya ulama fiqh klasik dan sebagian ulama fih kontemporer menolak memberikan hak partisipasi politik kepada perempuan. Mereka menggunakan bermacam dalil dan argumentasi dari Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan lain sebagainya. Mayoritas ulama syariah sekarang mulai memberi ruang partisipasi kepada para muslimah dalam hal penyenggaraan negara. Meski demikian mereka belum memperbolehkan perempuan menjadi kepala negara, tentu dengan argumentasi yang berlandaskan Al-Qur’an, Sunnah dan persepsi mereka tentang realitas sejarah yang terjadi. Berbeda dengan kedua kelompok itu, ulama-ulama masa kini memandang bahwa perempuan memiliki kesempatan partisipasi yang sama dengan laki-laki, Dalam kehidupan politik dan penyelenggaraan negara. Mereka ini juga menggunakan alasan sebagaimna ulama-ulama lainnya.   

Realitas sejarah Islam menunjukkan, banyak tokoh-tokoh perempuan yang terlibat dalam politik. Seperti Aisyah ra., selain menjadi rujukan berbagai masalah hukum, ia juga terlibat langsung dalam politik, sebagaimana dalam perang Jamal. Naila istri khalifah Utsman, dicatat dalam sejarah sering terlibat persoalan-persoalan politik. Begitu juga Asyifa, Samra Al-Asadiyah, Khaula binti Tsa’labah, Ummu Syarik, Asma binti Abu Bakkar adalah sederet sahabat perempuan Nabi saw yang berpartisipasi aktif dalam persoalan politik. Belakangan nama Zubaidah istri Harun Ar-Rasyid, Syajarat Al-Durr dikenal sebagai politisi yang handal dan berpengaruh. Dengan demikian, meski debatable, partisipasi perempuan dalam politik dan penyelenggaraan negara, diakui dalam Islam

__________________ 

Alifatul Arifiati adalah peneliti di Yayasan Fahmina Cirebon Jawa Barat 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya