Senin, 23 Desember 2024

Pelatihan Gender Untuk Mahasiswa ISIF: Gender Masih Hadapi Resistensi

Baca Juga

Ada dua istilah yang belakangan ini masih menghadapi stereotif (pelabelan) atau cap yang kurang kondusif bagi sebuah perkembangan pemikiran, bahkan di banyak kalangan masih menghadapi resistensi, yaitu: Feminisme dan Gender. Dua istilah ini seringkali mendapatkan stigmatisasi dari masyarakat muslim. Hanya karena istilah itu bukan dari bahasa Indonesia atau bahasa Arab. Padahal keduanya hanyalah istilah. Yang perlu dilihat adalah substansif atau isi dari makna istilah tersebut.

Demikian pernyataan itu disampaikan oleh KH. Husein Muhammad pada saat menjadi Keynote Speaker pada acara pelatihan gender untuk mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) atas inisiatif Badan Eksekutive Mahasiswa (BEM) ISIF, yang berlangsung selama dua hari pada Minggu-Senin (13-14/12) di kampus ISIF Jl. Swasembada No. 15 Majasem-Cirebon.

Dalam paparannya, lebih jauh, Kyai yang merupakan salah satu pengasuh PP. Dar al-Tauhid Arjawinangun-Cirebon itu, menyebutkan bahwa tujuan gerakan atau pemikiran feminisme sebenarnya adalah memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan. Sedangkan gender melihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena kebiasaan/pembiasaan atau karena diusahakan, dikonstruksi, dibuat, direkayasa melalui berbagai cara berupa cultural (tradisi), sosial, kebiasaan termasuk institusinya atau juga dilakukan oleh institusi struktural dalam bentuk misalnya instrumen-instrumen hukum positif maupun kebijakan Negara.

“Banyak tradisi masyarakat yang menciptakan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang membedakan antara tugas dan kewajiban laki-laki dan perempuan, padahal dalam realitasnya di antara keduanya dapat dipertukarkan”, kata Kyai Husein.

Pembedaan-pembedaan tersebut menurut Kyai Husein umumnya merugikan perempuan. Mereka ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Hampir sepanjang kehidupan manusia ini telah tercipta banyak konstruksi sosial, budaya, termasuk pandangan keagamaan yang memosisikan perempuan sebagai mahluk yang tidak setara dengan laki-laki.

“Kondisi kurang dihargainya perempuan itu akan menimbulkan banyak sekali dampak diskriminasi bagi kehidupan mereka, seperti adanya stereotif, marginalisasi, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan”, Tambah Kyai Husein.

Sebagai sebuah gerakan, menurut Kyai Husein pada prinsipnya gender diarahkan untuk menata kembali hubungan antar manusia agar tidak timpang. “Analisis gender digunakan untuk mencari kesimpulan bagi penyusunan kembali tugas, fungsi, peran, dan kewajiban perempuan yang tercipta secara adil dan proporsional”, jelasnya. Karena itu, lanjut dia, peran, tanggungjawab, tugas, dan fungsi sosial harus diberikan kepada siapa saja yang memiliki kualifikasi-kualifikasi bagi tugas dan peran tanggunjawab itu. Bukan karena melihat dia itu berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. 

“Keadilan harus dipetakan berdasarkan kualifikasi-kualifikasi, kualitas, dan kemampuan bukan karena perempuan atau laki-laki. Apapun jenis kelaminnya, sepanjang dia punya kualifikasi/kualitas untuk tugas, peran, tanggujawab itu maka dia berhak untuk menduduki, mengemban, dan memegang, siapapun itu”, tambahnya lagi.

Adapun apabila dilihat dari perspektif agama, konsep gender menurut KH. Husein Muhammad sejalan dengan nilai Islam yang ajaran sesungguhnya tidaklah membedakan kedudukan manusia satu dengan manusia lainnya. Secara normative, menurut Kyai Husein, Islam itu agama yang diturunkan Allah yang mengusung semangat dan nilai egalitarian (kesetaraan). Tauhid menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang terbesar dan terhebat. Karena itu selain Allah, posisinya sama. Karena seluruh manusia adalah hamba Allah, maka sudah semestinya setiap manusia memiliki kedudukan yang sama. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, Allah SWT  berfirman : “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

“Ayat itu menunjukkan bahwa kualifikasi itulah yang terpenting. Perhitungan Allah bukanlah soal laki-laki atau perempuan, bukan jenis kelamin. Bukan karena laki-laki lalu otomatis terhormat di mata Allah, tapi ketaqwaan. Siapapun itu termasuk perempuan, jika bertaqwa maka dia mulya. Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menyebutkan jika perempuan itu punya hak sama dengan laki-laki, termasuk pada wilayah publik”, pungkas Kyai Husein.[] 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya