Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 pasti bakal semarak. Ada 44 partai politik (Parpol) yang akan berebut ”kursi panas” legislatif dan presiden: 38 parpol nasional dan—untuk pertama kalinya dalam sejarah—6 Parpol lokal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jumlah ini 20 lebih banyak ketimbang Pemilu 2004 yang hanya diikuti 24 parpol. Dalam sejarah Pemilu Indonesia, jumlah kontestan Pemilu 2009 merupakan terbanyak ketiga setelah Pemilu 1955 yang diikuti 172 parpol dan Pemilu 1999 yang diikuti 48 Parpol. Jumlah total calon legislatif (Caleg) mencapai 11.301 orang. Fantastik! Anehnya, Caleg perempuan hanya 34,60%. Padahal jumlah perempuan 51% dari jumlah penduduk Indonesia. Fakta ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam regulasi, kebijakan, dan perspektif politik perwakilan kita.
Apabila kita jalan-jalan sejenak di lorong-lorong kampung, kita mungkin akan sedikit terbelalak. Betapa kampung kita yang dulu sepi senyap, kini ramai dengan bendera dan umbul-umbul. Hampir di setiap jalan, lorong, dan gang kecil kampung-kampung berkibaran bendera Parpol dengan berbagai desain. Tidak saja berlomba dalam jumlah, tetapi juga berlomba dalam tampilan dan ukuran bendera. Asumsi pengurus Parpol, semakin banyak dan semakin besar bendera yang dikibarkan di kampung itu, semakin besar juga suara yang akan diraup. Pengurus Parpol tidak pernah memperhitungkan akibat sosio-psikologis lanjutan dari “provokasi” bendera-bendera itu.
Bukan saja bendera yang bertebaran dalam dua bulan terakhir dan satu bulan ke depan ini, melainkan baliho, pamflet, stiker, selebaran, kartu nama, kalender, kaos, hingga buku do’a bergambar Caleg dan Parpol pun berseliweran dari rumah ke rumah dan dari orang ke orang. Tentu saja ini, bukan tradisi masyarakat kita yang untuk menyukupi kebutuhan pangan sandang keluarga saja masih sulit, tetapi situasi ini hanya sesaat menjelang pencoblosan Pemilu: ritual lima tahunan, hajat para Caleg dan Capres/Cawapres agar dirinya terpilih. Jadi, Pemilu itu sebenarnya pesta demokrasi rakyat atawa pesta democrazy para Caleg dan Capres/Cawapres? Mereka kadang tidak mengkalkulasi potensi konflik dan kekerasan yang mungkin ditimbulkan akibat provokasi “politik suara” mereka.
Itulah fenomena dan situasi Indonesia menjelang pencoblosan Pemilu. Meski ini pesta demokrasi, di mana rakyat harus memilih calon wakilnya di DPR, DPD, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota, dan calon presiden/wakil presiden, tetapi nyaris tidak terdengar atau terbaca tawaran program-program dari Caleg atau Capres/Cawapres untuk kemaslahatan rakyat. Alih-alih akan membantu dan mengubah kondisi rakyat yang kian terjepit menghadapi kekuatan kapitalisme-global, pasar bebas, dan komodifikasi pendidikan dan kesehatan, para Caleg dan Capres/Cawapres itu berfikir dan menawarkan program-program yang mampu mengeluarkan rakyat dari kesulitan-kesulitan hidupnya saja tidak tampak dalam kampanye dan semua media sosialisasi itu. Mereka hanya ”mempromosikan” gambar dan jargon dirinya agar terpilih, bukan program pembangunan dan pemikiran solutif yang ditawarkan. Mereka hanya “membius” dan “menghipnotis” rakyat untuk kepentingan dirinya, bukan kepentingan rakyat selaku pemberi amanat.
Bukan Sekadar Ritual
Jika demikian realitas politik kita, lalu perubahan apa yang bisa kita harapkan dari Pemilu 2009? Janji apa yang bisa kita tagih kepada mereka jika terpilih? Program apa yang akan kita tuntut jika mereka berkuasa? Akankah Pemilu hanya menjadi ritual lima tahunan belaka, mengantarkan mereka untuk duduk di ”kursi panas” legislatif dan kepresidenan dengan segala fasilitas mewah yang diberikan negara kepada mereka, sementara rakyat tetap mabniy sukun, tidak berubah, bahkan kian terhimpit oleh ganasnya situasi global dan nasional yang kian tak bersahabat? Akankah rakyat hanya menjadi ”powotan” (jembatan sebatang kayu) mengantarkan mereka kepada impiannya, setelah mereka sukses, rakyat ditinggal? Akankah rakyat tetap menjadi maf’ûl bih (pelengkap penderita) dan tidak pernah menjadi fâ’il (subyek) dalam perjalanan bangsa ini?
Inilah hal substantif yang harus menjadi kesadaran kita. Kesadaran lain adalah semua pihak, baik dari unsur aparat, pemerintah, maupun masyarakat harus menjaga, memelihara, dan memastikan bahwa pelaksanaan Pemilu 2009 aman, damai, tidak ada kekerasan, dan tidak ada amuk massa yang hanya akan mempersulit kehidupan rakyat. Kesadaran ”Pemilu damai” lebih penting lagi agar kehidupan rakyat tidak berjalan mundur. Kehidupan yang ada sekarang ini dengan sejumlah kesulitannya jangan dirusak, dihancurkan, dan dijadikan sasaran kekerasan oleh pesta demokrasi yang tidak beradab. Pemilu bukan proyek yang membuat rakyat menjadi ”ngilu.”
Pemilu sebagai ajang demokratisasi yang menghabiskan dana Rp. 6,67 Trilyun, semestinya memang harus memastikan perubahan untuk kehidupan rakyat yang lebih baik, adil, makmur sejahtera, dan maslahat. Termasuk dalam perubahan ini adalah keterwakilan perempuan dalam legislatif dan pemerintahan demi kesetaraan dan keadilan gender, baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Jika masih belum bisa, minimal jangan membuat kehidupan rakyat mundur dengan kekerasan dan amuk massa yang ditimbulkan akibat pelaksanaan Pemilu. Kaidah fiqh—kekayaan intelektual klasik kita—telah lama mengingatkan kita: “dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih” [mencegah kerusakan (kekerasan) harus diprioritaskan (apabila) kemaslahatan sulit diraih]. Selamat menentukan pilihan masa depan Anda melalui Pemilu![]
Sumber: Blakasuta Ed. 17 (Maret 2009)