Perbedaan itu Bukan untuk Dijauhi: Refleksi Jemaat Gereja “Nyantri” di Pesantren (Bag. 3)

0
545

Pertanyaan yang Ditunggu-tunggu

Mungkin ini pertanyaan yang ditunggu-tunggu. Apakah setelah Live-In ini, yang Kristen menjadi Islam, dan yang Islam menjadi Kristen? Tidak sama sekali ! Justru yang terjadi sebaliknya. Ketika mereka mengenal perbedaan-perbedaan itu, mereka menjadi tahu dan bisa saling menghargai. Mereka semua masuk sejenak untuk melihat “yang lain”, namun kemudian keluar dengan perspektif dan insight yang lebih dalam tentang agamanya masing-masing.

Lihatlah pengakuan Cahyaning Tyas berikut ini dalam tulisan refleksinya,

“3 Hari 2 Malam yang Mengajarkan Banyak Hal. Dimana kami akhirnya mengerti bahwa perbedaan bukan suatu masalah, perbedaan juga bukan satu hal yang harus kita hindari. Biarlah perbedaan sebagaimana adanya, tak perlu pusing memikirkan bagaimana cara untuk menjadikannya sama karena beda itu indah.

Belajar dari teman yang berbeda dari kami, kami menemukan banyak hal positif dari mereka, banyak hal baik juga yang bisa kita jadikan pelajaran, dan sebenarnya tidak membuat kami berpikir untuk berpindah atau semacamnya, melainkan membuat kami semakin mencitai Tuhan kami. Pelajaran yang membuat kami bisa memperkaya pengetahuan kami dan membuat kami semakin percaya pada Tuhan kami masing-masing.

Dengarlah pula kesaksian seorang santri bernama Yuyun. Dengan melihat perbedaan terlebih dulu, ia justru semakin mengerti.

Saya pernah salah paham tentang ajaran Kristiani, tentang siapakah Tuhan mereka, siapa itu Isa Almasih, siapa itu Maryam, mengapa Isa bisa menjadi Tuhan. Namun segala bentuk kesalahpahaman itu tertepis pada sesi dialog tentang kekristenan dengan pendeta Kukuh,” demikian Yuyun membagikan pengalamannya.

Justru dengan bertemu sesamanya yang berbeda, mereka dibawa kepada ketegangan-kreatif berpikir seperti: “Kenapa ya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda? Kenapa tidak sama saja sih? Jika memang Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, mau aku apakan perbedaan ini?”

Lihatlah pula refleksi Jonathan BW berikut ini,

Waktu sebelum ke pesantren perasaan saya rada deg degan karena kan lagi panas panasnya tuh kayak tentang bawa bawa agama… waktu pas dateng kesana perasaan curiga semua itu hilang sudah karena mereka menyambutnya dengan sangat baik, pada hari pertama aku kira bak mandinya 1 kamer mandi 1 bak mandi eh ternyata 1 bak mandi buat smua kamar mandi.

Mmereka hidup sederhana, namun dengan kesederhanaan mereka, mereka dapat menikmatinya dengan sukacita serta bersyukur dan mereka dapat menunjukan bahwa persahabatan beda agama itu tidak seperti yang ditayangkan di tv, mereka dapat seneng bareng, dapat menunjukan toleransi mereka dengan luar biasa. Dan satu pesan saya, Jangan curiga sebelom mencoba….

Mungkin terbersit dalam pikiran Saudara, “Kenapa Anda begitu yakin memulai mengajarkan pluralisme justru dari perbedaannya? Apakah tidak takut anak-anak kita terbawa mereka?”

Alasan keyakinan saya ada 3 :

Alasan pertama: Anak-anak remaja kita pada saat ini adalah sebuah generasi yang jauh berbeda dengan kita. Mereka jauh-jauh lebih cerdas daripada saat kita remaja dahulu. Di era keterbukaan seperti saat ini, mereka bisa mendapatkan informasi apapun yang mereka mau. Cobalah ketik kata “Belajar Islam” di google. Maka Saudara akan menemukan 662.000 tautan situs.

Namun sayangnya, tidak semua info yang mereka temui di dunia maya adalah sesuai dengan kenyataannya. Bisa baik, bisa juga menjerumuskan. Untuk itu, dengan mempertemukan para manusia (generasi) cerdas ini, mereka akan melihat dan belajar langsung dari sumber yang otentik. Mereka saling berbagi ilmu, sambil menjalin persahabatan.

Alasan kedua: Pengajaran iman tentang Tuhan sudah mereka dapatkan sejak kecil (Sekolah Minggu). Dan di sepanjang kehidupan mereka sampai usia remaja, ada begitu banyak pengalaman iman tentang Tuhan yang sudah mereka rasakan. Untuk itu, tidak masuk akal jika dalam waktu 3 hari mereka akan berubah imannya. Bagi saya itu nonsense! Sangat tidak masuk akal.

Alasan ketiga: Dengan melihat perbedaan, justru akan mengajarkan anak-anak bahwa iman adalah sebuah bahasa relasi. Saya mengajarkan kepada anak-anak bahwa iman adalah “bahasa relasi cinta” seseorang dengan Tuhannya.

Contohnya begini. Semua orang pasti pernah jatuh cinta. Termasuk Anda. Pertanyaan saya kemudian adalah, “Kenapa Anda pada akhirnya memilih dia sebagai pacar atau istri Anda?” Mungkin jawaban Anda bisa beragam. Mungkin karena dia baik, dia cantik, cakep, pintar, kaya, dst. Oke, itu bagus. Tapi bagi saya, cinta sejati itu tidak begitu. Kalau saya boleh, spiritualitas cinta Anda masih cetek (rendah). Kenapa?

Jika Anda mencintai seseorang karena dia baik, berarti kalau suatu saat dia tidak baik lagi, Anda bisa tidak cinta lagi. Kalau dia tidak cantik/ ganteng/ kekar lagi, Anda bisa tidak cinta dia lagi.

Lalu apa dong alasan mencintai seseorang?

Alasan mencintai yang terdalam adalah ketika Anda mencintai tapi Anda tidak menemukan alasannya apa. Saya mencintai, ya karena saya cinta. Titik! Tidak ada koma lagi. Saya mencintai dia, hanya karena cinta itu sendiri.

Jika Anda sampai kepada spiritualitas cinta ini, mau dia suatu saat tidak cantik lagi, tidak ganteng lagi, tidak kaya lagi, atau kata orang dia kurang (cantik, cakep, tinggi, putih) niscaya Anda akan tetap mencintai dia. Kenapa? Ya, karena Anda mencintai dia! Tidak ada alasan lain. Inilah spiritualitas cinta terdalam. Sebuah cinta yang mencintai hanya karena cinta itu sendiri. Sama seperti bunga mawar yang tetap berbunga meski ia dilihat ataupun tidak dilihat orang. Ia mekar karena ia mekar.

Dengan kata lain, ketika anak-anak bertemu dengan orang yang berbeda agama, mereka belajar untuk memahami bahwa agama adalah bahasa cinta. Setiap agama punya klaim eksklusifnya masing-masing, dan itu tidak perlu dibenturkan atau disalahkan. Itulah bahasa cinta mereka kepada Tuhannya. Anda tidak mau kan disalahkan orang karena memilih istri Anda saat ini? “Lho, kalau saya sudah cinta, Anda mau apa?”

Ah, seandainya setiap pemeluk agama memahami bahasa cinta ini….

Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9)

Baca Bagian 1 di sini

Baca bagian 2 di sini

Tulisan pertamakali di terbitkan di www.pelitaperdamaian.org

Artikulli paraprakPerbedaan itu Bukan untuk Dijauhi: Refleksi Jemaat Gereja “Nyantri” di Pesantren (Bag. 2)
Artikulli tjetërFahmina Institute Gelar Pertemuan Multistakeholder Upaya Pencegahan Radikalisme di Desa