Penulis: Cornelius Selan
Memahami dengan benar simbol, teologi, sejarah, tokoh-tokoh, ritual dan ekspresi agama lain sebagai dasar untuk berjalan bersama mengapai masa depan Indonesia yang semakin baik.
Devi sendiri pernah terjebak dalam kelompok “garis keras”. Kelompok anti keberagaman. Kelompok yang menamankan ajaran bahwa kebenaran adalah miliknya sendiri. Diluar itu hanyalah neraka. Devi bercerita bahwa kala itu, Devi berusia 17 tahun. Devi bekerja di toko elektronik.
Setiap kali merasa jenuh, Devi sering melihat feed dan story di instagram dan WA temen-teman yang melabelkan dirinya sebagai Pemuda Hijrah. Mereka selalu membicarakan tentang kebobrokan pemerintahan dengan gambar dan video yang menguatkan pemikiran dan perasaanya Devi bahwa itu betul. Di situasi seperti itu membuat hari-hari Devi membenci orang-orang yang percaya tehadap pemerintah dan merayakan hari-hari besar agama lain.
Devi ikuti Instagram orang-orang yang membenci pemerintah dan mengkafir-kafirkan yang berbeda dengan keyakinannya walaupun sesama muslim sekalipun. Devi sering mendengar dan ikut ceramah para ustad yang tidak setuju dengan pemerintahan yang sekarang dan kebergaman yang ada. Banyak teman yang sering memposting quotes hijrah dan keprempuanan yang Islami menurut ustad panutan mereka. Devi kemudian menutup diri dari orang-orang yang berbeda pandangan. Jenuh dengan aktifitas seperti itu, Devi memikirkan kembali untuk menghargai yang berbeda juga menyimpan rasa curiga dan prasangka terhadap pemerintah dan orang yang beragama lain.
Suatu saat, Devi mengkonfirmasi pemahaman dan perasaannya ke Kakaknya. Kakaknya adalah pekerja di Korea Selatan. Ia juga adalah salah satu pengurus PCINU di sana. Sejak itu, Devi mulai berubah pikiran dan berhenti mengikuti akun media social orang-orang yang pemikirannya ekslusif dan anti keberagaman. Atas arasahan Kakaknya, Devi bergabung dengan Organisasi IPPNU di Kecamatan Pabuaran. Alasannya karena IPPNU juga sebagai salah satu organisasi yang turut berperan aktif dalam pendidikan toleransi.
Devi kemudian mengenal FAHMINA Institut dan bergabung dengan Program Setaman, Sekolah Cinta Perdamaian. Keyakinan dan paradigma Devi tentang perbedaan mulai berubah. Dalam program ini, Devi diarahkan untuk mengenal dan memahami realitas yang majemuk. Belajar dari cerita-cerita konflik dan bagaimana mengusahan perdamaian. Media social merupakan media untuk memulai itu.
Menuliskan cerita dan narasi perdamiaan dan membangun semangat diantara pemuda untuk cinta damai dan membangun semangat menjadi agen perdamiaan. Devi terlibat dalam program-program FAHMINA Institut untuk terus belajar dan paham. Devi kemudian menginisiasi berbagai gerakkan lintas iman di lingkungannya. Hal ini sangat meyakinkan Devi bahwa perbedaan itu sunnatullah yang Allah karuniakan kepada kita. Tugas kita adalah merawatnya dan mengelola agar menjadi berkat bagi bangsa kita, Indonesia.
Devi merasa sangat beruntung dan berbangga karena bertemu dan berkenalan dengan Kang Ibnu dan Ibu Alif yang kepada mereka Devi belajar banyak hal dan terinspirasi untuk terus bersemangat. Bersama mereka Devi dilibatkan dalam misi perdamaian yang diadakan oleh FAHMINA Institut.
Saya sendiri mengalami proses yang panjang untuk meminimalisir prasangka saya terhadap agama lain. Sebelum saya belajar di Institut Dialog Antar Iman di Indonesia, Saya yakin bahwa agama lain terkususnya Agama Islam yang berkembang di Nusa Tenggara Timur mempunyai agenda terselubung. Misi untuk mengislamkan semua orang di kampung saya. Tidak ada gunanya menghargai mereka dan mengembangakan toleransi. Bertoleransi dengan mereka itu berarti membiarkan mereka “merusak” kehidupan kekristenan.
Bagi saya kala itu, penutupan gereja dan pengrusakan gereja yang terjadi di Jawa seperti pemberitaan di media, harus dibalas dengan hal yang sama. Meskipun sewaktu belajar di fakultas teologi, kami juga belajar tentang agama-agama lain. Ada Mata Kuliah Islamologi, Hindu, Budha dan Agama Lokal. Saya tahu bahwa kita harus saling menghargai, saya tahu bahwa ada banyak agama. Namun kecurigaan saya terhadap agama lain tidak berkurang.
Ketika belajar bersama Institut Dialog Antar Iman di Indonesia saya sadar bahwa cara-cara seperti ini mestinya dihentikan. Cara seperti ini harus diganti dengan cara-cara lain yang lebih mendukung untuk tumbuhnya persaudaraan sejati. Melakukan upaya-upaya membenah atau “pembersihan” diri dan melepaskan diri dari ketegangan yang seperti itu. Perbedaan-perbedaan yang ada perlu dikelola.
Kita mestinya berbangga bahwa Indonesia memiliki penduduk yang berlatar belakang berbeda, majemuk dalam agama dan kebudayaan misalnya. Perbedaan itu mencakup hal-hal mendasar seperti; sejarah, teologi dan nilai-nilai, simbol, ritual, ekspresi-ekspresi dan lain-lain. Semua ini adalah keunikan dan kekayaan yang jika dikelola dengan baik, tentu akan membanwa banyak manfaat. Dunia akan belajar dari kita. Kita menjadi model dalam mebangun bangsa dan dunia. Fakta ini manjadi ciri khas Indonesia yang tidak dapat dihindari, tidak bisa juga ditolak atau ditiadakan. Itu merupakan fakta dan pengalaman hidup sehari-hari.
Pada pihak lain, ada juga pengalaman yang patut diratapi, karena belum semua warga masyarakat memahami dan mempraktekan dengan baik dan benar. Misalnya untuk paham tentang apa arti dan makna “anugerah” atau karunia Allah ini dalam praktek dalam kehidupan. Masih banyak orang belum paham secara benar, apa saja yang perlu dilakukan dengan semua itu agar perbedaan membawa berkat bagi kehidupan bersama. Dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, seharusnya orang sudah lebih terbiasa dengan soal-soal ini. Namun beginilah faktanya.
Dengan begitu maka sangat penting untuk mengelola perbedaan. Pengalaman berjumpa, berinteraksi dan kesempatan untuk belajar secara mendalam serta paham dan mengenali dengan baik mengenai agama lain. Ini adalah kesempatan untuk meminimalisir prasangka dan stigma tentang agama lain. Ini adalah kesempatan untuk mengklarifikasi pransangka. Karena kita ingin membangun relasi persaudaraan yang utuh.
Belajar agama lain bukan untuk menginvestigasi dan mempelajari kelemahan dan kekurangannya agar menjadi senjata serangan kita. Bukan untuk menjebak orang atau mengadili tapi untuk paham. Berdialog tentang perbedaan juga persamaan yang dimiliki untuk benar-benar paham. Nilai-nilai apa yang bisa saling dibagikan dan dipelajari agar menjadi kekayaan bersama. Memahami dengan benar simbol, teologi, sejarah, tokoh-tokoh, ritual dan ekspresi agama lain sebagai dasar untuk berjalan bersama mengapai masa depan Indonesia yang semakin baik. Beberapa pokok seperti ini saya pelajari di Institut Dialog Antar Iman di Indonesia dalam berbagai program.
Perjumpaan, dialog-dialog dan kesempatan untuk mendengar dan saling berbagi pengalaman melalui aksi dan aktivitas bersama di semua kalangan. Bukan hanya dilakukan di lingkup pimpinan, namun di lingkup akar rumput dan para calon pemimpin agama juga guru agama. Memahami dengan baik apa, bagaimana agama dan beragama itu! Dengan itu diharapkan mendorong orang menjadi terbuka. Agar masing-masing kita tidak merasa bahwa hanya kelompok kita yang paling benar dalam hal pemikiran atau keyakinan.
Menuju Masa Depan Bersama
Kemajemukan agama dan problem sosial merupakan dua tantangan besar agama-agama di Indonesia. Pada satu sisi, masyarakat berhadapan dengan dinamika kemajemukan agama dan bagaimana mengelola dan memaknai perbedaan tersebut. Kita seakan berada dalam beragam tafsir tentang agama yang sepertinya saling bertarung untuk memonopoli kebenaran agama dan sistem kepercayaan. Disisi lain, masyarakat dihadapkan pada problem-problem sosial yang kongkrit.
Kita mestinya sudah tahu bahwa tujuan kehadiran agama dan beragama kita adalah untuk perdamaian, untuk kesejahteraan seluruh ciptaan, untuk kehidupan yang semakin lebih baik. Oleh karena itu, umat beragama apapun tidak bisa hanya sibuk dengan dirinya sendiri tetapi memberikan dampak yang baik, membawa berita pembebasan (kesejahteraan) dalam berbagai masalah sosial yang terjadi. Cara-cara beragama mestinya mengajak semua elemen dalam masyarakat untuk belajar bersama menemukan segala sebab suatu persoalan secara dini dan kerja kolaborasi menyelesaikan persoalan.
Kekuatan bersama umat beragama ini dapat dimulai dengan membuka ruang dialog untuk mentransformasikan hambatan relasi antar agama menjadi peluang praktik hidup sosial untuk menerjemahkan peran agama-agama dalam masyarakat. Perjumpaan dan mempunyai pengalaman bersama yang lain kita harapkan tidak hanya sekedar untuk menghargai yang berbeda.
Sedangkan ketika kita dihadapkan dengan kepentingan politik, ekonomi atau kepentingan kelompok kita, relasi kita menjadi rusak. Kita tersekat dalam kepentingan-kepentingan kelompok dan melupakan persoalan kemanusiaan kita. Kita kehilangan kepercayaan antara satu dengan yang lain. Tidak lagi bekerjasama dan saling memberdayakan sebagai bangsa Indonesia. Yang mana kita punya tujuan dan cita-cita yang sama. Institut Dialog Antar Iman di Indonesia dan FAHMINA Institut sebagai bagian dari gerakkan yang besar telah memulai langkah itu bersama.
Baca Artikel sebelumnya: Percakapan Dua Saudara; Menyikapi Kemajemukan
[…] Baca Artikel berikutnya: Percakapan Dua Saudara; Melepas Prasangka untuk Bekerjasama […]