Senin, 23 Desember 2024

Perdagangan Perempuan Dan Anak; Sebuah Praktek Neo-slavery dan Pelanggaran HAM

Baca Juga

Praktek perbudakan (slavery) berusia sama dengan usia peradaban manusia. Sekalipun praktek perbudakan dalam bentuknya yang konvensional itu sendiri telah hilang dari masyarakat kita, esensi atau ruh dari perbudakan sesungguhnya masih hidup dan mewujud dalam wajah-wajah baru (neo-slavery). Wajah baru perbudakan kini mewujud dalam praktek perdagangan perempuan dan anak (Trafficking in Women and Children) salah satunya. Dalam praktek perbudakan dan trafficking, Kata yang biasa digunakan untuk menyebut perdagangan perempuan dan anak–terdapat substansi yang sama, seperti, ketergantungan ekonomi, hilangnya kebebasan individu, pengabsahan tindak kekerasan dan berbagai macam tindak kekerasan lainya. Seorang budak dan orang yang menjadi obyek trafficking sama-sama diasumsikan sebagai hak milik yang bebas diperlakukan semau orang yang merasa memiliki meskipun itu di luar batas kewajaran dan melampaui batas-batas kemanusiaan. Mereka tidak punya kebebasan untuk memilih dan menikmati hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan dan sebagai anak, misalnya hak untuk istirahat, mendapat makanan yang bergizi, mendapat upah yang layak, mendapat pendidikan dan jaminan kesehatan serta hak untuk tidak dieksploitasi (eksploitasi seksual dan emosional ).

Praktek trafficking telah mewabah disekitar kita dan  menjadi pemandangan keseharian kita. Perempuan-perempuan dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga, pengerahan anak-anak dibawah umur untuk menjadi pengemis , memanfaatkan keluguan perempuan dan anak-anak sebagai pengedar narkoba, baik mereka menyadarinya atau tidak, bisnis adopsi bayi, pernikahan kontrak, buruh migran (TKI/TKW) yang tidak mendapat jaminan perlindungan hukum atas berbagai tindak kekerasan dan eksploitasi. Apakah fenomena pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan tersebut telah direspon oleh masyarakat dan pemerintah secara maksimal? Atau setidaknya sudahkah kita memulai melakukan sesuatu untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan tersebut? Isu trafficking sendiri, pertama kali dikemukakan pada sebuah konvensi internasional yang diadakan di Paris pada tahun 1885. Pada konferensi tersebut belum ada konsistensi mengenai trafficking dalam peraturan negara-negara peserta maupun dalam konvensi internasional yang sudah ada. Pada tahun 1937 Liga Bangsa-Bangsa, — sekarang PBB–menghasilkan konvensi yang mengharuskan negara-negara peserta untuk menghukum para pelaku yang mengajak atau memfasilitasi proses terjadinya prostitusi dan prilaku eksploitasi prostitusi terhadap orang lain meskipun atas sepengetahuan pihak yang dieksploit. Dalam konvensi ini masih terdapat kelemahan karena dalam pendefinisian trafficking hanya ditujukan pada tindak prostitusi.

Padahal sebagaimana diungkap di awal tulisan ini bahwa trafficking perempuan dan anak bisa ditujukan tidak hanya untuk tujuan prostitusi tetapi juga pembantu rumah tangga (PRT), buruh ilegal-kontrak maupun non-kontrak, perkawinan pesanan, adopsi ilegal, pariwisata dan hiburan seks, pornografi, pengemis paksa ataupun digunakan dalam aktivitas lainya yang sifatnya eksploitatif.

Fenomena Trafficking di Indonesia
Konsorsium Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) memperkirakan 1-1,5 juta dari 5 juta buruh migran Indonesia (TKI/TKW) adalah korban trafficking. Beberapa kasus yang ada menunjukan Bandung, Indramayu, Cirebon dan beberapa daerah di Jawa Barat lain sebagai daerah asal perempuan dan anak yang diperdagangkan. Meraka biasanya diperdagangkan untuk tujuan ekspploitasi seksual, perburuhan anak, pekerja rumah tangga. Jutaan perempuan dan anak usia belasan tahun terjebak dalam kondisi kerja menyedihkan dan mengenaskan, eksploitatif dan penuh kekerasan akibat tekanan ekonomi, impian kesejahteraan dan terbatasnya pengetahuan/ rendahnya pendidikan. Dan tragedi ini menimpa anak negeri yang buminya dikenal subur, kekayaan alam melimpah –-gemah ripah loh jinawe–.

Dalam proses trafficking perempuan dan anak mengandung unsur kualifikasi kejahatan, antara lain penipuan, paksaan, kekerasan yang dilakukan dengan kedok perbaikan kualitas hidup dan ekonomi adalah model-model kejahatan yang dilakukan oleh pelaku trafficking. Korban biasanya kelompok yang rentan secara sosial, ekonomi dan politik serta tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Dan itu adalah perempuan dan anak sebagai kelompok yang dilemahkan oleh sistem sosial budaya yang patriarkhi. Stereotype dalam budaya patriarkhi bahwa perempuan adalah obyek yang sah dikomoditaskan, kelompok yang tidak perlu mengenyam pendidikan secara layak mendorong terjadinya trafficking.

Akibat dari kejahatan ini biasanya berwujud trauma sepanjang hidup, tekanan psikis yang berat, kehamilan, cacat tubuh bahkan ada beberapa yang berakibat kematian. Oleh karenanya PBB menetapkan bahwa perdagangan manusia merupakan pelanggaran HAM berat. Upaya penghapusan berbagai bentuk trafficking terhadap perempuan dan anak telah dilakukan baik dalam tingkat regional, nasional maupun internasional. Pada tingkat regional beberapa propinsi telah mencoba merancang berbagai rencana aksi penghapusan dan penanggulangan perdagangan perempuan dan anak dengan membentuk tim kerja anti trafficking. Pada tingkat nasional, pemerintah telah menerbitkan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88/th 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A). Dan pada tingkat internasional telah dilakukan berbagai konferensi dan kerjasama guna penghapusan dan penanggulangan korban trafficking.

Persoalan-Persoalan dalam Penghapusan Trafficking
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tapi belum menampakan hasil yang signifikan. Dalam penemuan penulis, di mana praktek trafficking kian merebak sementara aparat penegak hukum dan masyarakat “tidak banyak berbuat” atau bahkan tidak berbuat apaapa. Penulis pernah menanyai seorang Kepala Desa, apakah ada dari warga masyarakatnya yang menjadi korban trafficking. Dengan fasih Dia menyebut satu persatu kasus trafficking yang menimpa warganya ada yang sampai meninggal karena dianiaya majikan, ada yang buta, ada yang dijual ke Batam untuk pelacuran dan orang tua diharuskan menebus korban seharga 10 juta. Tapi kemudian ketika ditanya upaya apa yang dilakukan Kepala Desa atas kasus-kasus tersebut? Dengan mata kosong dia menjawab bahwa tak ada gunanya memperkarakan kasus-kasus tersebut secara hukum, karena toh itu akan bikin persoalan kian rumit-sering dipanggil, harus bayar ini dan itu.

Lain lagi cerita yang berhasil dikorek oleh penulis dari kepolisian Indramayu, mereka mengeluh pesimis menangani korban kasus trafficking untuk tujuan prostitusi karena selesai perkara si korban akan balik lagi ke dunia prostitusi. Keluhan lain adalah belum adanya regulasi hukum yang khusus tentang trafficking. Yang biasa dipakai hanya KUHP pasal 297 yang tidak jelas pendefisiannya terhadap trafficking dan tidak mengakomodir kepentingan korban, perlindungan saksi dan sanksi yang terlalu ringan untuk pelaku.

Apatisme masyarakat dan aparat penegak hukum tersebut antara lain disebabkan; satu, sensitifitas mereka terhadap kasus trafficking masih rendah. Dua, belum ada regulasi yang khusus (UU trafficking). Tiga, beberapa regulasi yang biasa digunakan oleh penegak hukum untuk trafficking seperti KUHP, UU Keimigrasian, UU No.23/1992 tentang kesehatan dll. ternyata tidak dapat melihat perdagangan perempuan dan anak secara komprehensif. Regulasiregulasi tersebut masih melihat kejahatan trafficking sebatas kriminal biasa. Hal tersebut menyebabkan perlindungan terhadap korban dan jeratan hukum bagi para pelaku yang terlibat dalam proses trafficking perempuan dan anak tidak maksimal.

Perlunya Advokasi Traffiking Perempuan dan Anak
Banyak orang yang enggan melaporkan kasus trafficking yang ada di lingkungannya apalagi menyediakan diri untuk dihadirkan sebagai saksi. Ini terjadi karena kesadaran akan persoalan trafficking masih belum dimiliki oleh masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum. Untuk itu teramat sangat penting dilakukan upaya advokasi dalam berbagai bentuk. Misalnya menggunakan proses hukum yang sudah ada berkaitan dengan tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh pelaku (trafficker), melakukan pressure terhadap pihak-pihak terkait agar proses hukum berjalan optimal dan kebijakan-kebijakan pemerintah membuka peluang bagi terbukanya keadilan bagi korban. Agar ada pressure dari masyarakat maka harus dilakukan upaya penyadaran kolektif yang terorganisir. Ini bisa dilakukan melalui kampanye isu, pendidikan kritis hak asasi perempuan dan anak. Baik melalui media cetak, misalnya bulletin mingguan, koran harian tabloid remaja dan televisi, serta radio. Apalagi kalau upaya kampanye dan pendidikan kritis ini juga diintegrasikan dengan kurikulum dalam pendidikan baik SMP, SMA, Perguruan tinggi, pesantren maupun jalur pendidikan informal.

Dalam penanganan trafficking perempuan dan anak ini diharapkan keterlibatan berbagai pihak mulai dari pemerintah, akademisi, media, kelompok masyarakat dan individu untuk membantu korban trafficking maupun untuk turut aktif mendesak pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang berpihak melindungi korban dan menjerat pelaku. Jika kita semua yakin bahwa setiap persoalan yang dihadapkan pada kita juga diiringi penyelesaian. Tinggal bagaimana upaya kita menggali bersama penyelesaian persoalan tersebut. Akademisi mungkin memiliki cara pandang beda terhadap persoalan trafficking dengan aktifis yang tentunya juga berimbas pada perbedaan cara poenyelesaiannya. Perbedaan mungkin juga terjadi pada agamawan, aparat penegak hukum, politisi, professional serta masyarakat pada umumnya. Tapi perbedaan tersebut tidaklah berarti jika dari semua pihak memiliki komitmen dan visi yang sama yaitu penegakan Hak Asasi Manusia untuk keadilan bagi seluruh umat manusia.

Beberapa hal yang dapat dilakukan baik dalam advokasi tingkat nasional maupun daerah antara lain; 1. Capacity building untuk sensitif terhadap isu trafficking perempuan dan anak bagi pemerintah, aparat penegak hukum, media, kalangan akademisi , tokoh agama / masyarakat dan semua warga masyarakat. 2. Capacity building komunitas/basis daerah mengenai pelayanan hukum untuk korban trafficking. 3. Membangun sistem perlindungan di tingkat basis/komunitas, seperti pelayanan pemberian informasi yang tepat untuk bekerja ke luar negeri.

4. Mengkampanyekan dan mendesak disahkannya; – Ratifikasi Konfensi 1990 mengenai perlindungan buruh migran dan keluarganya. – UU perlindungan buruh migran dan keluarganya. – UU anti Trafficking Perempuan dan anak. – UU Perlindungan korban dan saksi.Terakhir, upaya sekecil apapun yang anda lakukan akan sangat berarti untuk membawa perubahan.[] 

*) Penulis adalah pengelola Program Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren untuk Penghapusan Trafficking Perempuan dan Anak, Fahmina-institute.

   Sumber: Blakasuta Ed. 7 (2004)  

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya