Hingga saat ini, masih banyak orang yang menganggap bahwa HIV/AIDS sebagai masalah yang hanya dialami oleh orang yang mempunyai perilaku seksual menyimpang, para pendosa dan pengguna narkoba. Akan tetapi, perkembangan kasus HIV/AIDS belakangan ini semakin banyak dialami oleh mereka yang dianggap aman dan tidak beresiko HIV/AIDS. Termasuk ibu hamil yang terinfeksi HIV, bahkan banyak ditemukan angka infeksi menular seksual yang tinggi pada perempuan non-PSK (Pekerja Seks Komersial), seperti ibu rumah tangga dan remaja putri. Di seluruh dunia, jumlah pengidap HIV/AIDS ini terus meningkat, bahkan kini terjadi penyebaran yang lebih cepat di kalangan perempuan.
Persoalan perempuan itu juga terungkap dalam acara dialog bertema “Jati Diri Perempuan Indonesia”, yang digelar oleh Pondok Pesantren (Ponpes) al-Mizan dalam rangka memperingati 100 hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gur Dur), di Desa Ciborelang Jatiwangi Majalengka, pada Kamis (9/4). Dengan menghadirkan empat pembicara di antaranya; Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dari DPD RI, Pendeta (Pdt) Emy Sahertian dan Nia Syarifudin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), serta KH Maman Immanul Haq Faqih dari Ponpes al-Mizan sekaligus Dewan Kebijakan Fahmina-institute Cirebon. Selain menggelar dialog, Ponpes al-Mizan juga menggelar Lomba Qosidah, Lomba Cerdas Cermat Pendidikan Agama Islam (CCPAI) antar SD se-Kecamatan Jatiwangi dan sekitarnya, serta Dzikir dan Istighosah (Do’a bersama) dalam memperingati 100 Hari Meninggalnya Gus Dur.
Saat ini, menurut Nia Syarifudin, penderita HIV/AIDS di Jawa Barat (Jabar) adalah terbanyak kedua setelah DKI Jakarta dan kemudian Papua. Namun baginya, bukan disebabkan karena persoalan banyaknya prostitusi yang ada di Jabar, tapi juga pengaruh karena banyaknya tenaga kerja wanita (TKW) yang dikirim ke luar negeri. Selain persoalan HIV/AIDS, angka kematian ibu (AKI) akibat pernikahan dini di Jabar juga meningkat. “Hal ini disebabkan karena masih lemahnya alat reproduksi ibu muda tersebut. Sayangnya, selama ini perempuan selalu disalahkan. Seakan tanggungjawab perempuan besar sekali,” ujar Nia menambahkan.
Fakta tersebut juga diungkapkan Pdt Emy Sahertian berkaitan dengan pengalamannya ketika melakukan advokasi kesehatan, dimana penderita HIV/AIDS tertinggi kedua di Indonesia adalah Jabar. Penularannya sebagian besar melalui jarum suntik dan hubungan seksual suami isteri yang tidak aman. Hal yang mengejutkan lagi adalah dari ketiga terbanyak seperti DKI, Jabar, dan Papua, perempuan sebagai penderita terbanyak.
“Yang membuat saya galau, lalu kemana bapak-bapaknya? Karena perempuan-perempuan di sini bukanlah ibu-ibu yang nakal. Mereka adalah ibu rumah tangga baik-baik yang sedang asyiknya menggoreng di dapur tiba-tiba dikasih hadiah HIV/AIDS. Belum lagi mereka distigma oleh masyarakat sebagai perempuan nakal dan tidak bermoral. Padahal mereka tidak tahu apa-apa,” ujar perempuan yang kini menjabat sebagai salah satu anggota SC ANBTI itu.
Perempuan Sebagai Juru Damai
Perempuanlah satu-satunya perawat abadi perdamaian. Di Indonesia, perempuanlah yang menciptakan perdamaian di tengah konflik Poso dan Ambon. Perempuanlah yang memegang peranan penting dalam penghentian kekerasan dan penyelesaian konflik, terutama melalui cara informal di luar meja perundingan perdamaian.
Namun, peran perempuan itu kurang diakui dan tidak mendapat perhatian sehingga penyelesaian konflik dan segala persoalan pascakonflik tidak tuntas terselesaikan. Di negeri ini, yang terjadi malah perempuan tidak henti-hentinya dijadikan tertuduh sebab segala kejadian. Mulai dari sebab munculnya persoalan tindak kriminal pornografi sehingga memicu kemunculan Undang-undang Pornografi, sampai pada persoalan meningkatnya jumlah korban human immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di negeri ini.
Berangkat dari latarbelakang sosial yang beragam, para pembicara itu menyatu ketika membahas persoalan perempuan di Indonesia. Menurut penuturan GKR Hemas, jati diri perempuan sebenarnya sudah kuat dari awalnya. Kekuatan perempuan akan tercipta, kalau perempuan itu sendiri mampu mengelolanya dengan baik. Dalam penyampaiannya, Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X, ini juga turut berbagi seputar pengalamannya sebagai perempuan pertama yang menjadi ketua DPD RI dalam pemilihan legislatif tahun 2009.
“Perempuan, masuk dalam bidang apapun sebenarnya mampu. Dan setiap kehidupan, baik sosial, budaya dan lainnya tidak bisa lepas dari persoalan politik. Jadi saya ingin meyakinkan bahwa jatidiri bangsa ada pada perempuan,” ungkap GKR Hemas.
Hal senada diungkapkan Nia Syarifudin. Baginya, perempuan berperan penting dalam perkembangan politik di negeri ini. Perempuan sekarang memiliki semangat baru. Perempuan sebagai identitas jati diri bangsa. Karena jati diri adalah persoalan identitas. “Jati diri perempuan Indonesia sebenarnya apa? Tidak bisa lepas dari bangsa Indonesia (Bhinneka Tunggal Ika). Dengan sifat merawat dan menyayangi, saya melihat perempuan di tengah konflik Poso dan Ambon berani membuka kawat batas yang diciptakan lelaki,” papar Nia.
Tentang jati diri perempuan Indonesia, Pdt Emy Sahertian memulainya dengan kisah Indonesia Timur. Menenun, bagi perempuan Indonesia Timur sudah menjadi nyawa. “Karena tidak sekadar mempertahankan tradisi budaya, tetapi juga mampu membangkitkan ekonomi rakyat. Jadi pada dasarnya perempuan di Indonesia adalah perawat dari alam dan Negara ini. Itulah, jati diri perempuan Indonesia. Dimana seharusnya perempuan diberi ruang yang sama dengan lelaki,” jelasnya.
Sementara sebagai pengasuh Ponpes al-Mizan, KH Maman lebih banyak mengungkapkan upaya Ponpes al-Mizan dalam melakukan pemberdayaan terhadap kaum perempuan. Kiai Maman juga mengungkapkan rencananya untuk mendirikan Ponpes khusus TKW. “Ponpes khusus TKW ini berusaha agar sebelum masyarakat pergi menjadi TKW, mereka diberi bekal ketrampilan serta pendidikan tentang hak-haknya sebagai TKW. Selain itu juga berupaya memberikan ongkos (biaya pemberangkatan) agar tidak berhutang kemana-mana.”[]