Di bulan Desember tahun ini, kita akan menjumpai beberapa hari yang layak diperingati. Dua di antaranya adalah Hari Raya ‘Idul Adha (8 Desember 2008) dan Hari Ibu (22 Desember 2008). Apa keterkaitan antara dua hari yang monumental tersebut? Apa kaitan hari raya raya ‘Idul Adha dengan hari Ibu, yang memperingati peran-peran luhur perempuan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini akan membahas seputar peringatan ‘Idul Adha dan kaitannya dengan peran luhur perempuan. ‘Idul Adha sejatinya tidak hanya dirayakan kaum muslimin yang saat ini beruntung menjadi Tamu Allah di Tanah Suci, tetapi juga oleh mereka yang berada di kampung halaman masing-masing. Yang khas dalam hari raya ini adalah pemotongan hewan qurban. Biasanya berupa kambing atau sapi. Sehingga wajar saja kalau jauh hari sebelum ‘Idul Adha tiba, di sudut-sudut dan pinggir-pinggir jalan, kita dapat dengan mudah menemukan sekumpulan kambing atau sapi yang dijualbelikan untuk keperluan kurban.
Hikayat Sa’i
Kurang lebih 4000 tahun yang lalu, dikisahkan bahwa di padang pasir yang gersang dan tandus, lembah Bakkah (sekarang dieknal sebagai Makkah), Siti Hajar tidak tanpa putus asa terus mencari sumber mata air. Tangisan dan rengekan bayi mungilnya Ismail, memaksanya untuk terus mencari sumber mata air dengan berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara bukit Safa dan Marwa. Namun demikian, air yang ia cari belum juga terlihat tanda-tanda keberadaannya. Sementara Ismail, yang telah kehausan terus saja menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. Tiba-tiba dengan rahmat Allah SWT, terpancarlah air dari tanah di ujung kaki Ismail. Betapa gembiranya Siti Hajar. Dengan serta merta, ia mengambil air itu seraya mengucapkan: “Zami, zami, zami…” yang berarti berkumpullah, kumpullah. Seakan dia berkata kepada air itu, “Berkumpullah untuk anakku.”
Dengan keberadaan sumber mata air zam-zam tersebut, lembah Bakkah (Makkah) sebelumnya tandus dan gersang, berubah menjadi tempat yang banyak dikunjungi orang. Layaklah kiranya kalau Siti Hajar disebut sebagai ibu dari peradaban baru. Ia juga menjadi potret seorang ibu yang membesarkan anaknya sendiri (single parent) dengan penuh kesabaran tanpa mengenal putus asa. Demikian kisah perjuangan salah satu perempuan agung dalam sejarah Islam, Siti Hajar.
Momentum Hari Ibu
Dikaitkan dengan peringatan hari Ibu, perjuangan Siti Hajar sebagai seorang ibu pantas diingat sebagai sosok perempuan (seorang ibu) yang tegar. Ia menjadi perempuan yang mempunyai peran penting dalam sejarah Islam. Kalau kita renungkan lebih dalam, maka seluruh rangkaian ‘Idul Adha tidak lepas dari peran dan pengorbanan seorang Siti Hajar, baik sebagai seorang istri, seorang ibu maupun sebagai perempuan. Pengorbanan Siti Hajar tidak kalah besarnya dengan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Tetapi nampaknya selama ini, setiap kali membahas ‘Idhul Adha yang dimunculkan hanya peran kaum lelaki, yaitu Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, sebagai cermin keteladanan sikap seorang hamba kepada Tuhannya. Padahal betapa besarnya pengorbanan Siti hajar sebagai ibu yang telah mengandung dan melahirkan anak dengan segala resiko dan pengorbanannya. Ibulah yang merasakan pedih dan sakitnya mengandung dan melahirkan anak, merawat dan mengasuhnya dengan segenap kasih sayang.
Bahkan pada saat Siti Hajar melahirkan Ismail, sang suami dia tidak sedang ditunggui Nabi Ibrahim as. Siti Hajar melahirkan Ismail sendirian di tengah padang gersang yang tandus. Untuk menyelamatkan anak tercinta yang baru lahir ini dari sengatan matahari yang terik, serta memberinya minum agar terlepas dari haus dan dahaga, Siti Hajar berlarian antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Dari sini muncullah sumber mata air yang kita kenal dengan sumur zamzam. Air, di tengah padang gersang dan tandus, merupakan sesuatu yang tiada ternilai harganya bagi kehidupan manusia. Dan yang telah menemukan sumber air itu adalah Siti Hajar, seorang perempuan dan seorang ibu. Ini merupakan perlambang bahwa ibulah sumber kehidupan anak manusia.
Konteks Sekarang
Oleh karena itu, dalam konteks kekinian, kita tidak bisa menafikan pengorbanan dan peran Siti Hajar, baik sebagai ibu sekaligus sebagai istri seorang Nabi dalam perjuangan menegakkan agama Allah maupun sebagai sumber kehidupan anak manusia. Namun, kenyataan ini selalu terlupakan, karena tidak pernah ada dalam imajinasi dan kerangka pemikiran umat Islam. Kita tidak dapat membayangkan emosi Siti Hajar dalam kisah perjuangan ini, karena tidak pernah diceritakan secara proporsional. Siti Hajar menjadi contoh bahwa apa yang dilakukan perempuan dianggap biasa, meskipun sebenarnya apa yang ia lakukan adalah luar biasa. Semua ini cukup menjadi bukti bahwa peran dan posisi kaum perempuan masih tersubordinasi oleh peran dan posisi laki-laki.
Fakta yang kita hadapi dalam kehidupan masyarakat sekarang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami Siti Hajar. Program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah telah dengan nyata memarjinalkan potensi perempuan. Bahkan, perempuan justru dijadikan obyek pembangunan. Sebagai contoh, dalam masalah kesehatan reproduksi, perempuan senantiasa dijadikan target Keluarga Berencana (KB). Tetapi setelah perempuan bekerja keras menurunkan angka kelahiran, tingkat kesejahteraan perempuan tidak kunjung membaik, terbukti dengan masih tingginya angka kematian ibu dan anak.
Penulis adalah manajer divisi Islam dan Jender di Fahmina Institute