Oleh: Siti Rofi’ah*
Apa Bedanya Perempuan dan Wanita? Pertanyaan menarik ini dilontarkan oleh Bu Masruchah dalam DKUP hari kedua. Selama ini barangkali kita tidak terlalu memperhatikan bahwa kata ‘perempuan’ dan ‘wanita’ yang dalam keseharian dianggap sama ini ternyata dalam konteks tertentu punya perbedaan makna, salah satunya dalam konteks gerakan sosial, terkhusus lagi dalam perjuangan kesetaraan gender dan gerakan feminisme.
Dalam konteks gerakan sosial, kata ‘perempuan’ lebih dipilih dibanding ‘wanita’ karena -asumsi saya- mengandung makna perlawanan. Saya sendiri baru ngeh kata perempuan diasosiasikan dengan sangat negatif di KBBI ketika peringatan hari perempuan internasional 8 Maret kemarin beredar meme yang meng-capture makna perempuan menurut KBBI dan akhirnya saya ikut ngecek juga.
Beberapa frasa yang ditampilkan di situ di antaranya ‘perempuan geladak’ (pelacur), ‘perempuan jahat’, ‘perempuan jalang’ (pelacur), ‘perempuan jalang’, ‘perempuan jangak’ (cabul), ‘perempuan lacur’, ‘perempuan lecah’ (pelacur), ‘perempuan nakal’, dan ‘perempuan simpanan’. Ini berbeda dengan ‘wanita’ yang diartikan dalam dua frasa, ‘wanita karir’ dan ‘wanita tuna susila’; satu frasa bermakna negatif dan satu frasa positif. Jadi memang kata ‘perempuan’ mengalami penurunan makna (peyorasi).
Secara etimologis, ternyata ‘perempuan’ dan ‘wanita’ maknanya memang berbeda. ‘Wanita’ berasal dari bahasa Sansekerta, wanita yang artinya “yang diinginkan” (diinginkan oleh laki-laki). Sebagian orang Jawa bahkan memahami ‘wanita’ adalah singkatan dari ‘wani ditata’, artinya sosok yang bisa diatur-atur. Sedangkan ‘perempuan’ berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir/berkuasa, ataupun kepala, hulu, atau yang paling besar. Jadi dari sini memang sudah terkesan bahwa ‘perempuan’ lebih berdaya, punya kekuatan, dan bernilai cukup tinggi.
Dari sudut sejarah, salah satu masa di mana kata ‘wanita’ lebih dipilih dari pada ‘perempuan’ dimulai sejak Soekarno mengganti kata ‘perempuan’ menjadi ‘wanita’, yaitu Kongres Perempuan diubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Soekarno menganggap bahwa ‘wanita’ lebih halus dipakai dibandingkan ‘perempuan’.
Sejak saat itu, kata wanita menjadi lebih sering dipakai untuk nama-nama organisasi perempuan, yang berlanjut pada masa Orde Baru. Ada Menteri Urusan Peranan Wanita, ada Dharma Wanita. Sepertinya pemilihan ‘wanita’ bukan sekadar penggunaan kata saja, tapi ada maksud ideologis dalam mempertahankan kultur patriarki dan kontrol sosial.
Generasi PKK tentu familiar dengan Panca Dharma Wanita “Wanita sebagai pendamping suami, wanita sebagai ibu penerus keturunan, wanita sebagai pengurus rumah tangga, wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan wanita sebagai anggota warga negara”. Wanita dalam konteks ini ditempatkan dalam posisi subordinat, dan imbasnya pun sangat merugikan misalnya perempuan bekerja dibayar lebih rendah dari pada laki-laki karena dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, bukan pencari nafkah utama.
Jadi kenapa dalam gerakan kesetaraan gender lebih banyak digunakan ‘perempuan’ saya kira karena itu, karena spirit pembebasan yang ada di dalamnya.
*Kader Ulama Perempuan