Sabtu, 23 November 2024

PESANTREN DAN SANTRI

Baca Juga

Cliffort Geertz, seorang antropolog Amerika terkemuka, mengemukakan pandangan yang menarik tentang Pesantren dan Santri. Ia melukiskan unsur-unsur terpenting dan suasana pesantren sebagai berikut :

“Suatu komplek asrama siswa dikelilingi tembok yang berpusat pada suatu masjid, biasanya pada sebuah lapangan berhutan di ujung desa. Ada seorang guru agama, biasanya disebut kiyai, dan sejumlah siswa pria muda, kebanyakan bujangan – para santri – yang mengaji Qur-an, melakukan latihan-latihan mistik dan tampaknya pada umumnya meneruskan tradisi India yang terdapat sebelumnya dengan hanya sedikit perubahan dan aksen bahasa Arab yang tidak sangat seksama… tampaknya suasana jauh lebih mengingatkan kepada India atau Persia ketimbang Arab atau Afrika Utara”. (Dr. Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, cet. I, 1986, h. 101.

Dalam penjelasan lebih lanjut, Geertz mengatakan bahwa Pesantren berarti tempat “santri”. Kata ini secara literal berarti manusia yang baik-baik. Kata santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta “Shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis. Dan dalam artinya yang luas dan lebih umum kata santri mengacu pada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh – yang sembahyang, pergi ke masjid pada hari Jum’at dan sebagainya.(ibid. H. 99).

Pernyataan Cliffort Geertz tersebut menginformasikan kepada kita bahwa lembaga ini telah lahir pada masa yang sangat dini dari perkembangan agama Islam sendiri. Dengan kata lain, Pesantren merupakan lembaga pendidikan awal di negeri ini, sebelum ada lembaga-lembaga pendidikan modern sebagaimana dikenal sekarang ini. Pada sisi yang lain kenyataan itu juga menunjukkan bahwa para ulama pendiri pesantren bisa menerima tradisi dan kultur masyarakat setempat yang sudah ada sebelumnya, meskipun dari kultur Jawa atau lainnya dan beragama Hindu. Penggunaan istilah pesantren yang diadopsi dari agama lain tersebut tidak menjadi persoalan bagi mereka.

Di Pesantren, Kiyai dan para santri mengenakan kain sarung dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka tidak mengenakan pakaian Arab yang dikenal lidah Indonesia sebagai “gamis” itu dan bukan pula celana panjang, ala orang-orang di Barat, atau dulu populer disebut pantalon. Sarung dalam bahasa Arab disebut “izar”. Sarung sebenarnya telah lebih dahulu menjadi tradisi pakaian masyarakat di berbagai tempat di dunia. Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa. Sarung juga dipakai oleh dalam sejumlah suku yang ada di masyarakat. Ia bukan menjadi identitas pakaian agama. Konon, Sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 14, dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat (India).

Di Indonesia, terutama di pesantren-pesantren, berabad lamanya, sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi. Para Kiyai Pesantren dan para santri dari dulu sampai sekarang selalu mengenakan sarung untuk salat, mengaji, menghadiri acara-acara keagamaan dan dalam kehidupan di rumahnya sehari-hari. Memakai sarung ketika shalat dipandang lebih sopan dan terhormat daripada celana panjang.

Inilah prototipe kearifan yang ditunjukkan para wali dan ulama pesantren. Mereka mau menyerap tradisi apapun ke dalamnya tanpa harus kehilangan jati dirinya, atau tanpa harus mengikuti keyakinan agama atau ajaran-ajarannya yang dianggap bertentangan.

Tujuan Pendidikan di Pesantren, Zamakhsyari Dhofir dalam disertasinya menulis mengenai tujuan pesantren sebagai berikut :

“Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan”. (Baca : Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, LP3ES, Jakarta, 1994

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya