Selasa, 15 Oktober 2024

HIJRAH: MEMBANGUN PERADABAN DUNIA PENUH CAHAYA

Baca Juga

“Jiwa yang telah mencapai kematangan spiritual, gangguan apapun tak akan menggoyahkannya, dan bantuan eksternal tak lagi diperlukan, karena dia ada dalam Genggaman-Nya. Sahabat, jangan bersedih hati, Tuhan selalu bersama kita” 
(Nabi Muhammad)

Dari sebuah gua yang sepi, senyap dan pengap, Nabi Muhammad tampil dengan senyum dan percaya diri. Tuhan melalui Jibril telah membisikinya pesan-pesan profetik yang harus disampaikannya kepada dunia yang tengah sekarat, penuh penindasan, dan dalam kegelapan pikiran yang pekat. Tuhan memproklamirkannya sebagai kekasih, Nabi dan utusan-Nya. Muhammad bin Abdillah melangkah sendirian setapak demi setapak tetapi pasti. Tatapan matanya lembut, bibirnya selalu tersenyum, langakhnya tegap penuh nuansa optimis. Ia telah siap, tanpa gentar, menghadapi masyarakat badui pegunungan Arabia yang tandus dan kering kerontang. Al-Qur’an menyebut mereka sebagai “Asyadd Kufran wa Nifaqan” (keras kepala dan hipokrit). Dia juga telah siap menghadapi para jagoan Makkah, seperti Umar bin Khattab. Orang ini adalah jawara yang paling ditakuti penduduk kampong itu.

Kejujuran kata-kata, keramahan penuh dan senyuman manis yang selalu ditampilkannya telah meluluhkan hati satu demi satu orang. Umar, sang jagoan itu pada akhirnya juga menemui Nabi dan bersimpuh di hadapannya sambil bersumpah setia kepadanya serta menyatakan siap, kapan dan di manapun, membelanya meski dengan mempertaruhkan nyawanya sekalipun. Sudah lama Nabi berdo’a agar dia atau Abu Jahal, yang juga bernama Amr bin Hisyam, jagoan lainnya, tertarik kepadanya. “Allahumma A’izz al-Islam bi Ahad al-Umarain” (Wahai Tuhan, perkuat Islam dengan salah satu orang ini : Umar bin Khattab atau ‘Amr bin Hisyam).  Abu Sufyan, seorang bangsawan kaya raya, kapitalis yang arogan dan licik, Abu Jahal, Abu Lahab, dan jawara lainnya dihadapi Nabi tanpa gentar. Nabi sangat yakin, Tuhan selalu bersamanya.

 Tiga belas tahun lamanya Nabi Muhammad saw menawarkan gagasan profetik-humanistik. Ia menyerukan kaumnya di Makkah untuk percaya (beriman) hanya kepada Allah saja, tidak yang lain. “hai manusia, hanya Tuhan saja yang seharusnya kalian sembah, yang kalian agungkan, bukan yang lain”, ujarnya setiap saat. Sejumlah orang mengikuti seruannya, tetapi masih lebih banyak lagi yang menentangnya. Kehadiran Nabi dengan gagasan monoteistik itu telah mengganggu ketenangan tradisi paganistik, mengancam kenyamanan kekekuasaan yang mapan.

Maka penindasan demi penindasan terhadap Nabi dan para sahabatnya yang setia terus berlangsung, setiap hari, setiap saat dan dengan segala cara; merayu, mengancam, teror, kekerasan fisik, penyiksaan, isolasi dan lain-lain. Nabi dan para sahabatnya menghadapi semua penderitaan itu dengan sabar, tabah dan tegar. Bahkan Nabi suatu saat justeru mendo’kan agar mereka yang menyakitinya itu memeroleh Hidayah Tuhan. “Mereka itu kaum yang tidak mengerti”, kata beliau.

Menjelang tahun ketiga belas misi profetiknya, para penentang Nabi sudah kehabisan akal dan kehilangan cara untuk menghentikan gerakan dakwah Nabi. Di Dâr al-Nadwah, semacam balai sidang/musyawarah, mereka berembuk. Suara hingar-bingar, meledak-ledak penuh emosi memenuhi ruang itu. Berbagai usulan muncul. Keputusan akhir kemudian diambil: Muhammad harus dibunuh malam hari secara ramai-ramai. Jika klan Muhammad menuntut darahnya, mereka akan patungan untuk memberinya tebusan.

Jibril segera hadir di kamar Nabi dan membisikinya soal rencana pembunuhan itu. Syeikh Yusuf al Nabhani mengenai ini mengungkapkan peristiwa ini dalam puisi Na’tiyahnya begini :

وَاَتَاهُ بِمَكْرِهِمْ جِبْرِيْلُ فَبَدَا كَيْدُهُمْ وَخَابَ الدَّهَاءُ

“Dan karena makar mereka, Jibril datang. Mereka gagal total dan politisi cerdas mereka hilang akal” (Al-Majmu’ah al-Nabhaniyyah)

Hijrah ke Madinah                                                                           

Tuhan segera mengizinkan beliau hijrah ke Yatsrîb, nama kampung sebelum kemudian diganti Nabi menjadi al-Madinah al-Munawwarah, kota berpendar cahaya. Nabi sendiri merasa begitu berat meninggalkan tanah kelahirannya itu. Tetapi nyawa manusia begitu berharga dan ajakan kepada prinsip-prinsip kemanusiaan harus berjalan. Ia selalu menyaksikan betapa banyak nyawa dan derita manusia, sahabat-sahabatnya, yang terancam, gara-gara mengikutinya. Ia ingin agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia dan agar mereka tak lagi menderita. Perjuangan masih panjang. Ia harus meninggalkan kota itu demi keselamatan jiwa-jiwa itu. Tetapi lebih dari itu adalah menyelamatkan kebebasan, keimanan, menegakkan keadilan dan menyebarkan risalah Tuhan tentang nilai-nilai kemanusiaan universal. Ini semua harus sukses. Jika tidak, dunia akan hancur dan gelap gulita.

Sebelum meninggalkan rumahnya, Nabi menatap Ka’bah dan bukit-bukit di sekeliling Makkah dengan hati mengharubiru. Ia begitu mencintai tempat kelahirannya, tempat bermain dan menggembala domba ketika kanak dan remaja. Ia mengingat dengan penuh, sahabat-sahabat yang mengalami penyiksaan, penderitaan dan kelaparan yang tak tertahankan, sambil mendoakan mereka kedamaian dan kebahagiaan di akhirat, di sisi Tuhan. Tuhan memang sudah menjanjikan hal ini. Kata-Nya :

فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ .وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ.

“Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti dalam memperjuangkan di Jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pasti akan Aku maafkan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala dari Allah. Dan pada sisi Allah pahala yang baik”.(Q.S.[3]:195).

Nabi saw juga selalu mendoakan keselamatan bagi sahabat-sahabatnya yang sudah lebih dahulu meninggalkan Makkah (hijrah). Ia mengetahui, kini, hanya bersama sahabat setianya: Abu Bakar dan sepupunya Ali bin Abi Thalib serta beberapa orang saja yang diminta menemaninya. Dengan mata basah, beliau menyampaikan kata pamit kepada kota kelahiran yang amat dirindukannya itu.

Langit merah saga beringsut menyelinap ke balik bumi. Suasana kota itu menjadi temaram lalu akan gulita. Makkah sunyi, bagai kota mati. Para pengikut Nabi telah meninggalkan Makkah beberapa hari sebelumnya, menuju Habasyah, Etiopia. Yang tersisa hanyalah Nabi, Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Penduduk kota yang memusuhi Nabi dan kaum muslimin tidur lebih awal agar tengah malam bisa bangun dan tak mengantuk saat tugas membunuh Nabi tiba. Abu Bakar, teman setianya, menunggu dalam cemas di balik batu-batu di seberang rumah Nabi. Ali, anak pamannya, sudah sampai di rumah, lalu masuk ke kamar Nabi dan segera mengambil selimut yang biasa dipakai sepupunya itu. Ia diminta Nabi tidur di atas tikar-tidurnya. Dan Nabi Saw, seperti biasanya, mengambil air wudhu, shalat dan berdo’a dengan seluruh getaran jiwanya. Sementara itu, para pembunuh berpencar di semak-semak di sekeliling rumah itu. Pedang sudah diasah berjam-jam sejak siang, hingga rambut licin bisa ditebasnya, begitu tajam. Dengan satu kali “pluit” komando mereka secara serentak bangkit, bergerak cepat lalu mendobrak rumah itu dan menghunuskan pedang itu untuk ditebaskan ke tubuh nabi secara bersama-sama. Beberapa orang di antara bertugas mengawasi rumah Nabi. Mereka diminta tak tidur.

Malam larut. Suasana di luar senyap. Nabi yang mulia itu shalat khusyu sekali dan berdo’a. Malaikat memberi kabar, di luar aman. Para pembunuh terlelap. Nabi yang mulia membuka pintu dan melangkah keluar. Di luar rumah, nabi tak melihat siapa-siapa, tak ada orang, sepi dan sunyi sekali. Nabi menemui Abu Bakar yang seperti tak sabar, untuk selanjutnya mengajaknya bersama-sama menuju gunung Tsaur (Banteng), melalui jalan yang tak lazim.

Para pembunuh terbangun mendengar bunyi peluit yang ditiup keras. Mereka bergegas dan tergopoh-gopoh menuju rumah Nabi. Pedang dicabut dari sarungnya. Mata mereka merah sarat kebencian. Dan mereka begitu kecewa; “Muhammad lolos”, “Muhammad lari”, “Muhammad menghilang”, “Kita sial”, teriak mereka. Mereka tak menemukan Nabi di rumahnya, hanya Ali, sepupunya yang sedang tidur di tempat tidur Nabi.

Tiga hari kedua orang yang saling mengasihi itu berada di dalamnya. Abu Bakar sempat gemetar ketika berpuluh kaki musuh mendekatinya. Ia mendengar dengan jelas teriakan-teriakan dan hentakan kaki-kaki kuda yang mendekat ke arah gua. “Jika saja musuh-musuh itu melihat kakinya atau kaki Nabi, pastilah tamat sudah riwayat mereka berdua”, katanya dalam hati. Sementara Nabi tetap tenang. Beliau melihat dengan jelas kecemasan sahabatnya itu, lalu berusaha menenangkannya. Katanya: “Sahabat, jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita”. Mereka berdua lepas dari pengejaran para pembunuh. Esoknya mereka keluar gua itu dan melanjutkan perjalanan menuju Madinah untuk bertemu dengan rakyat di sana yang sudah lama merindukan kehadirannya.

Ketika Nabi Saw. memasuki gerbang Yatsrib, penduduk kampung itu, laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak berbaris untuk menyambutnya dengan suka cita sambil bernyanyi dan menari riang :

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاع
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلَّهِ دَاع

“O, Purnama telah hadir di tengah kita dari lembah, bukit Wada
Ayo kita berterima kasih pada Tuhan

Seorang laki-laki berteriak girang : “Hai Bani Qailah, ini orang yang kalian tunggu-tunggu telah datang. Dia telah datang”. Nabi dan Abu Bakar tetap di atas untanya. Wajah mereka sumringah, penuh suka cita dan rasa syukur yang mendalam. Tetapi para penduduk Madinah itu bingung, mana di antara dua orang penunggang unta itu yang namanya Muhammad, orang yang dirindukan kedatangannya itu. Abu Bakar membaca pikiran mereka yang kebingungan itu. Ia lalu segera memayungkan jubahnya di atas kepala Nabi, dan kini mereka tahu mana Nabi mereka yang dirindukan itu. Mereka kira-kira mengatakan : “Oh, Oh itu dia”. “Ya, ya, dia Muhammad”, “Lihat itu pasti utusan Tuhan itu”.

Al-Barra bin ‘Azib, sahabat Nabi, salah seorang saksi mata kedatangan Nabi mengatakan : “Ma Ra-aytu Ahl al-Madinah Farihu bi Syai-in Farhahum bi Rasul Allah”. (Aku belum pernah menyaksikan penduduk Madinah demikian gembira, sebagaimana kegembiraan mereka menyambut kedatangan Nabi Saw.”.

Unta Nabi terus berjalan tenang. Sejumlah orang menawarkan Nabi dan Abu Baka, tempat menginap atau tempat tinggal. “Mari wahai Nabi yang mulia, tinggal di rumahku saja”. “Wahai nabi yang mulia, alangkah bahagianya bila engkau tinggal di rumah kami”. Nabi menyambut dengan senyum sambil mengatakan : “Biarkan unta ini yang akan memilih. Unta ini diberkati Tuhan”.

Unta itu kemudian berhenti di samping rumah Abu Ayyub al-Anshari. Nabi bertanya : “Mana pemilik rumah ini? Abu Ayyub mengatakan “ Aku, wahai Nabi Allah. Ibn Sa’d mengatakan bahwa Nabi tinggal di rumah Abu Ayyub ini selama tujuh bulan.

Kembali Ke Makkah

Hampir sepuluh tahun Nabi di kota yang berpendar cahaya ini. Madinah menjadi kota paling aman, sejahtera, damai, di bawah pimpinan Rasulullah Saw. Nabi di kota ini membangun peradaban baru yang paling cemerlang sepanjang sejarah dunia. Kaum Muhajir (orang yang hijrah) dan “al-Anshar” (penduduk Madinah), dipersaudarakan dalam relasi yang hangat dan saling mencintai. Al-Qur’an mencatat situasi persaudaraan penuh kehangatan cinta ini dengan sangat indah :

والذين تبوّأوا الدار والإيمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولا يجدون في صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة ومن يوق شح نفسه فألئك هم المفلحون.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”. (al-Hasyr, [59]: 9)

Tetapi ia rindu untuk kembali ke kampung halamannya di Makkah. Ia pun kemudian berangkat ke sana bersama beribu sahabatnya dan orang-orang yang mencintainya.

Sampai di dekat Bait al-Haram, Nabi bertemu para pemimpin kafir Quraisy. Kepada mereka Nabi, dengan kewibawaan yang penuh pesona, mengatakan :

مَا تَظُنُّون أِنِّي فَاعِلٌ بِكُمْ؟»، فَقَالُوا: «خيرًا أخٌ كريمٌ وابن أخٍ كريم “. فقال كما قال يوسف عليه السلام : لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ. إذهبوا فأنتم طلقآء فمن دخل دار أبى سفيان فهو آمن. ومن دخل داره فهو آمن ومن دخل المسجد فهو آمن

“Menurut kalian , apakah kira-kira yang akan aku lakukan terhadap kalian?”. Dengan rasa ketakutan yang mendalam, mereka serentak menjawab : “Engkau orang yang mulia, saudara yang mulia, anak saudara kami yang mulia”. Nabi lalu mengatakan sebagaimana dikatakan Nabi Yusuf (kepada sauara-saudaranya) : “Hari ini tak ada balas dendam atas kalian. Kalian bebas mau kemana saja. Siapa saja yang ingin masuk ke rumah Abu Sufyan, dijamin aman. Siapa saja yang ingin pulang ke rumah, dijamin aman dan siapa saja yang ingin ke masjid, dijamin aman”.

Usai mendengar deklarasi pengampunan umum Nabi itu mereka bersorak riang. Masing-masing kembali ke tempat yang mereka inginkan. Nabi memasuki Masjid al-Haram, menuju Ka’bah. Sahabatnya, Utsman bin Thalhah menyerahkan Kunci Ka’bah kepada beliau.

Tak lama kaum Quraisy berbondong-bondong menyatakan diri dengan suka rela masuk Islam. Mereka membaca Syahadat di hadapan Nabi. Beberapa tokoh yang masuk Islam adalah Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, Suhai bin Amr, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar), Fudhalah bin Umair al-Laitsi, dan lain-lain.

Peristiwa “Hijrah” ini diingat dengan tajam oleh Umar bin al-Khattab, khalifah ke dua. Ia kemudian menetapkan 1 Muharram, saat Nabi Hijrah, sebagai Awal tahun Islam.

Selamat Tahun Baru 1437 Hijriah. Semoga Tuhan mengampuni hari-hari kita kemarin dan membentangkan Cahaya pada hari-hari ke depan.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya