Minggu, 24 November 2024

Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia: Masa Depan Islam Indonesia

Baca Juga

Ahmad SuaedyBerbicara tentang pemikiran dan gerakan Islam, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari amatan terhadap kekuatan-kekuatan politik yang sedang berlangsung sekarang ini dan momentum-momentum yang sedang akan segera berlangsung, baik dalam skala nasional maupun lokal. Tahun 2008-2009 adalah tahun di mana proses politik berlangsung sangat intensif guna menghadapi momen paling krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang keduanya akan berlangsung pada 2009.

Kedua pemilu ini, kalau bisa dan semoga benar-benar terjadi, hasilnya bukan saja akan menentukan arah dan model demokrasi yang telah terbangun sejak runtuhnya Orde Baru, melainkan juga orientasi filosofi dan arti kemerdekaan bangsa Indonesia itu sendiri. Seluruh persaingan dan pertaruangan tersebut sesungguhnya adalah pertarungan antar kekuatan Islam sendiri; dan tak ada persaingan dan pertarungan politik pun yang tanpa melibatkan unsur Islam.

Jadi, Islam kini sudah berada di tengah arena pertarungan itu sendiri, entah sebagai landasan bertindak atau ideologi, dan dengan demikian, ditawarkan sebagai alternatif dari bentuk negara dan masyarakat yang telah ada dan berlangsung; entah sebagai komoditi politik untuk tujuan kekuasaan dan meraih dukungan semata; entah sebagai sebuah cita-cita ideal yang diimpikan sebagai bentuk ideal dari bentuk terbangunnya integrasi Islam-bangsa Indonesia yang otentik.

Mark Woodward (2001), misalnya, mengelompokkan respon Islam atas perubahan paska Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.

Pertama,indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.

Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.

Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.

Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.

Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.

Sementara itu, Peter G Riddel (2002) membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru; yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca Pemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, preisden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka kran-nya setelah Orde Baru runtuh.
***
Meskipun berbeda kategori dengan dua pengamat di atas, saya sepakat ada empat kekuatan Islam saat ini menjelang Pemilu 2009, yang merupakan cermin dari pemikiran dan gerakan Islam. Meskipun masing-masing kekuatan ini cukup kompleks untuk dijelaskan secara komprehensif, namun saya ingin menunjukkannya dengan cara sederhana, yakni dengan menunjukkan simbol sentral dan karakter utama dari pemikiran atau gerakan, atau idealisasi dan para pendukungnya.

Pertama , kekuatan Megawati dengan PDI-P-nya. Selama ini PDI-P dianggap sebagai kekuatan nasionalis yang, dalam peta politik tradisional, Orde Lama dan Orde Baru, diperhadapkan dengan arus politik atau partai Islam. Menurut saya, PDI-P tidak bisa lagi dipandang partai nasionalis vis-a-vis Islam. PDI-P dengan simbol Megawati-nya adalah partai yang juga setidaknya didukung oleh sebagian besar pemeluk agama Islam.

Yang menjadi ciri keislaman PDI-P, adalah bahwa Islam bukan sebagai dasar bertindak dan hampir tidak memiliki basis intelektual keislaman. Dan secara given mereka meyakini bahwa agama terpisah dari politik. Paham ini bukan hanya datang dari paham sekuler Barat, melainkan juga datang dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, itu sendiri dengan apa yang oleh Woodward di atas disebut sebagai indigenized Islam.

Namun secara argumentatif, kelompok ini akan mengalami kesulitan untuk menjawab tuntutan dari kelompok Islam lain, seandainya ada tuntutan tertentu dari mereka, karena tidak memiliki basis intelektual Islam untuk menjawab mereka. Sehingga, kelompok ini akan lebih memainkan kekuasaan untuk menjawab tuntutan tersebut ketimbang argumentatif. Akibatnya, ia akan bergantung pada kekuatan negosiasi. Jika negosisasi kalah dan akan mengganggu kekuasaan mereka, maka mereka akan memilih mempertahankan kekuasaan dengan mengakomodasi tuntutan, betapa pun prinsipnya tuntutan tersebut.

Kedua, Golkar. Kita belum tahu siapa simbol figur sentral partai warisan Soeharto ini. Namun bisa diduga, calon presiden Golkar akan berasal dari Islam yang berpandangan modern atau modernis –dalam kategori akademik lama. Ciri model ini adalah pragmatis. Apapun tuntutan mayoritas anggota maupun masyarakat, akan menjadi acuan pengambilan keputusan asalkan partai ini tetap bisa meraih atau mempertahankan kakuasaan.

Partai ini memiliki banyak intelektual, termasuk intelektual Islam, tetapi orientasinya sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Ini bisa dilihat dari berbeda-bedanya orientasi partai ini dari daerah satu ke daerah lain, tergantung tuntutan utama mayoritas muslim di tempat tersebut. Sehingga seperti juga pada kekuatan pertama, negosiasi akan menjadi senjata utama kekuatan ini, bahkan dalam hal yang sangat prinsipil sekalipun.

Ketiga, kekuatan Gus Dur. Dari sudut partai, kekuatan Gus Dur tidak sebesar dua kekuatan sebelumnya. Namun dukungan terhadap pemikiran dan gerakan tokoh ini merata di hampir semua kelompok dan kekuatan, kecuali kelompok yang benar-benar Islamis yang menolak pandangan pluralisme atau kepelbagaian dan anti toleransi.

Banyak orang yang mengakui kebenaran pandangan dan gerakan Gus Dur, meskipun banyak yang kuatir dan takut mengikuti ideal Gus Dur, karena dia sering mengabaikan keuntungan material dan politik serta tidak peduli dengan citra diri demi mempertahankan prinsip. Ciri dari kekuatan ini adalah di samping basis intelektual kislaman yang tinggi juga memiliki prinsip keindonesiaan yang sangat kuat. Jika dirunut dari geneologi pemikiran dan gerakan ini, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, mungkin inilah tradisi yang paling otentik dari Islam-Indonesia. Ia berbasis pada pandangan tradisi Islam nusantara, tetapi memiliki geneologi yang kuat pada sejarah Islam paling awal sebagai sebuah tradisi yang terus berkembang dan beradaptasi.

Di tangan kelompok ini, Islam terus berkembang tanpa meninggalkan nilai intrinsik dan keasliannya. Kekuatan ini sulit berkompromi dengan masalah-masalah yang idiil menyangkut ke-Islam-Indonesia-an: ada di dalamnya unsur-unsur penghormatan terhadap tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat serta hak-hak intrinsik warganegara, seperti misalnya hak untuk beragama dan berkeyakinan serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kelompok ini sangat ideal sebagai sebuah cita-cita, namun sangat sulit memenangkan pertarungan di masa yang sangat pragmatis dan serta jalan pintas seperti sekarang ini.

Dalam ekonomi, kalau kita boleh bercermin pada kepresidenan Gus Dur waktu lalu, maka mungkn Gus Dur bukan orang yang anti neoliberal, namun cenderung ingin membangun kekuatan ekonomi baru seperti poros India-China-Indonesia demi kemandirian rakyat di kawasan ini tanpa harus menimbulkan ketegangan yang berlebihan.

Keempat, kekuatan SBY. Karena SBY sedang berkuasa, maka lebih mudah dinilai. Melihat sepak terjangnya sebagai presiden, maka dengan mudah bisa dilihat, bahwa dari sudut agama ia mewakili arus kanan atau islamis dan agen paling telanjang dari neoliberal dari sudut ekonomi. Adalah bukan kebetulan, bahwa SBY dalam agama mengikuti arus MUI yang anti toleransi dan anti pluralisme, bukan pula kebetulan mengangkat KH. Ma’ruf Amin, juru bicara paling vokal anti pluralisme dan aliran sesat, sebagai anggota Wantimpres bidang agama.

Kasus Ahmadiyah dan Tragedi Monas berdarah memperlihatkan pandangan yang diderivasi menjadi kebijakan presiden SBY, bahwa SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah, misalnya, dikeluarkan pada saat istana dikepung oleh kaum proponen Rizieq Shihab, ketua Umum FPI yang anti pluralisme dan toleransi. Bisa dikatakan, dalam kasus SKB Ahmadiyah, SBY bertekuk lutut di bawah tuntutan Rizieq dan Munarman (Panglima Komando Laskar Islam). Hal itu terjadi karena lingkaran pertama kekuasaan SBY adalah partai-partai Islam, yaitu PKS, PBB, PKS dan PD. Tiga partai yang disebut pertama dikenal sebagai partai militan Islam, sedangkan PD tidak memiliki cukup sumberdaya intelektual untuk berdebat dengan ketiga partai di atas.

Di pihak lain, di bidang ekonomi, selama pemerintahan SBY, meskipun dari sudut angka-angka makro ekonomi cukup stabil karena bertumpu pada modal luar negeri yang bersifat sangat sementara, tetapi dalam waktu yang sama fondasi ekonomi nasional runtuh. Lihatlah penurunan hasil minyak bumi, pasokan listrik, pasokan gas, minyak goreng dan BBM di dalam negeri. Belum pernah fenomena pemandangan rakyat antri makanan, BBM, minyak goreng serta gizi buruk seperti terjadi pada pemerintahan SBY ini. Tetapi pada saat yang sama, seorang menteri yang juga pengusaha kolaborasi SBY menjadi orang terkaya se Asia Tenggara untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.

Karena itu, kekerasan antar agama yang tidak pernah ditangani secara normal dan terpeliharanya kakum Islamis, menurut saya, praktis merupakan strategi pemerintahan ini untuk merawat dukungan Islamis demi Pemilu 2009. Demikian juga ketegangan yang sebenarnya sumir, yang terus terjadi seperti aliran sesat, termasuk di dalamnya Ahmadiyah, tidak lain untuk merawat sentimen Islam untuk tujuan yang sama. Dengan demikian, SBY dengan kekuatan pendukungnya adalah representasi Islam kanan tersebut. Makanya jangan heran kalau ketegangan seperti ini akan terus dipelihara sampai Pemilu 2009.

Melihat hal ini, ada beberapa isu yang perlu dicermati. Pertama, hubungan antar agama di mana campur tangan pemerintah mulai menggurita, karena menjadi bagian dari strategi merawat dukungan. Fenomena ini diperkirakan akan terus berkembang, bahkan akan merasuk ke UNDANG-UNDANG, peraturan pemerintah tingkat pusat maupun daerah. Saya berharap tidak sampai pada konstitusi, meskipun hal ini tidak bisa diabaikan kemungkinannya. Ujungnya, akan terjadi dominasi kelompok tertentu dan diskriminasi atas kelompok yang lain, pada tingkat paling basis, yaitu konstitusi dan UU.

Kedua , kemiskinan dan antri. Dua kata ini akan terus saling berkait dan selama tidak ada perubahan strategi ekonomi yang signifikan, kata ini mungkin akan bertambang, yaitu kematian, disamping gizi buruk. Penguasaan sumberdaya alam oleh asing akan segera disusul dengan efisiensi melalui regenerasi mesin dan mengabaikan tenaga kerja manusia. Yang terjadi kemudian adalah pengangguran luar biasa. Imbasnya mudah diduga; kemiskinan, antri, gizi buruk dan bahkan kematian.

Ketiga , penguasaan sumberdaya alam. Orientasi ekonomi pemerintahan ini tampaknya sejak awal memang dirancang mengikuti arus besar ekonomi dunia, yaitu neoliberal. Pada batas waktu tertentu, Indonesia mungkin tidak akan memiliki sumberdaya alam yang dikelola sendiri, melainkan seluruhnya akan di”borong”kan kepada modal asing dengan masa kontrak sangat panjang dengan pengelolaan efisien untuk menggenjot keuntungan.

Keempat , gerakan Islamis. Pemerintahan sekarang ini, terutama SBY, tidak saja diduga kuat memiliki pemahaman yang sejalan dengan Islamis, dan juga tiga partai lingkaran utama di atas, melainkan SBY tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan gerakan Islam. Sehingga apapun yang menguntungkannya akan diambil, bahkan dalam hak yang prinsipil sekalipun seperti hak untuk beragama dan berkeyakinan. Jika tidak ada keberanian untuk mengubah orientasi pemerintahan sekarang atas gerakan Islamis, mereka akan segera masuk lebih dalam ke dalam keseluruhan badan negara dan pemerintahan ini.

Saya tidak akan memberikan saran kepada PMII untuk mengikuti arus mana atau bahkan membuat arus baru. Tetapi komitmen atas rakyat sebagai organisasi yang berasal dari arus paling grassroot, serta visi ke-Islam-Indonesia-an mungkin harus menjadi pertimbangan utama. Tampaknya hanya dengan cara itu, Islam Indonesia akan tetap eksis dalam menatap masa depan.

___________________________________________

Pustaka

  1. Woodward, M., (Summer-Fall 2001), “Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy” SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.

  2.  Peter G. Riddel, “The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia”, Islam and Christian – Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 – 83.

Terima kasih.
Kampung Rumbut, 13 Juli 2008

Penulis adalah Direktur Eksekutif the Wahid Institute dan Anggota Dewan Kebijakan Fahmina Institute Cirebon.
Makalah disampaikan pada Pelatihan Kader Lanjutan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKL-PMII) di Pondok Cabe, Cireundeu Tangerang Banten, Ahad, 13 Juli 2008.


 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya