Semua orang tersedot ke kota mengadu nasib. Tidak punya pi-lihan. Tersisih, ditengah program-program pembangunan yang tidak memihak. Dan terpaksa mengambil sudut-sudut dan trotoar jalan. Menjalani hidup sebagai PKL. Sekedar bertahan. Tidak jarang, pembangun-an mall-mall dan sentra-sentra bisnis tidak menyisakan ruang bagi mereka. Padahal mayoritas pekerja di mal sendiri, adalah mereka yang digaji kecil. Yang hanya bisa makan di kelas-kelas PKL. Ini ironi pembangunan.
Di sisi lain, penggusuran dan pengejaran, menjadi lumrah. Atas nama penertiban, pemerintah berkilah. Ataukah, memang sebuah bentuk dari tidak adanya ”pengakuan?” Entahlah. Anehnya, PKL tetap harus bayar retribusi.
Kebijakan: Kurang memihak
Persoalan PKL di Kota Cirebon, tidak sepenuhnya akibat kebijakan pembangunan Kota Cirebon. Lebih dari itu, imbas dari kebijakan pembangunan berskala nasional. Pesatnya perkembangan Kota Cirebon, seringkali tidak disertai kesempatan kerja. Ini juga mengakibatkan Kota Cirebon mengalami berbagai problema sosial yang sangat pelik. Menjamurnya PKL di hampir semua ruas jalan di kota Cirebon menjadi fenomena sosial tersendiri. Hampir seluruh ruas jalan dipenuhi oleh PKL. Pada tahun 2002 saja terdapat kurang lebih 2.085 PKL yang tersebar di ruas-ruas jalan Kota Cirebon. Konsentrasi PKL terbesar ada di wilayah Kalitanjung, Kanoman, Siliwangi dan beberapa ruas jalan lain. Hasil penelitian penulis, pada tahun 2003 di 25 ruas jalan sebagai sample random, jumlah PKL melonjak, hampir 3.338. Tahun ini dipastikan terjadi lonjakan kembali. Sayangnya, Pemkot tidak pernah terpikir untuk melakukan pendataan dan penelitian tentang mereka.
Keberadaan PKL dan pesatnya pertumbuhan mereka, terkait erat dengan kebijakan ekonomi pemerintah. Beberapa faktor bisa menjadi pemicu pertumbuhan PKL, di antaranya; pertama terbatasnya kesempatan pekerjaan formal dan PHK. Kondisi ini menyebabkan para pekerja kesulitan mencari penghi-dupan. Mereka beralih ke pekerjaan lain. Usaha model PKL sering menjadi alternatif. Kedua, konsentrasi sentra aktivitas ekonomi, sehingga memunculkan tempat-tempat strategis yang menjadi lahan potensial bagi PKL. Ketiga, perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi). Umumnya, karena lapangan kerja di desa terbatas.
Karena karakternya yang tradisional, murahan dan menengah ke bawah, seringkali para PKL tidak memperoleh perhatian yang cukup dari pemerintah. Di Kota Cirebon, sekalipun jumlah PKL cukup banyak dan menyumbang retribusi ke PD Pasar cukup besar, tetapi tidak dilihat sepenuh hati. PKL seringkali harus menghadapi berbagai persoalan yang berbenturan dengan kepentingan Pemkot. Lapak-lapak PKL di halaman toko, trotoar, di badan jalan atau di tanah kosong milik orang lain, dipastikan menyalahi hukum. Dan PKL kian tersudut, ketika muncul wacana keindahan kota. Dari segi estetika lingkungan, lapak-lapak PKL terkesan kumuh dan semrawut.
PKL seringkali dianggap pe-nyebab kemacetan lalu-lintas. Padahal jika mau jujur, kemacetan itu biangnya adalah konsentrasi keramaian. Di jalanan tol yang tidak ada PKL sekalipun, bisa macet. Sesungguhnya, konsentrasi keramaian secara tidak langsung telah diciptakan oleh kebijakan pembangunan itu sendiri. Selain karena budaya tertib yang rendah. Harus diakui, budaya tidak tertib telah melanda semua pihak; tidak terkecuali di kalangan peng-usaha dan para pejabat. Selain, tentu para pedagang kecil, pejalan kaki, angkot dan tukang becak. Tidaklah bijak, jika hanya menyalahkan mereka yang kecil. Bukankah pembangunan mal-mal yang meringsek di tengah kota dan menggusur berbagai ruang publik dan cagar budaya, adalah bukti dari sebuah ketidaktertiban? Stigma ‘tidak tertib’ terlanjur disematkan pada yang lemah. Termasuk PKL. Tetapi tidak berlaku bagi mereka yang secara sosial kuat; pejabat atau pengusaha kakap. Memang, kondisinya dilematis. Di satu sisi, PKL dianggap mendatangkan banyak persoalan. Apalagi Perda No. 9 tahun 2003 jelas-jelas tidak memihak keberadaan PKL. Tetapi di sisi lain, PKL telah memberikan banyak manfaat, khu-susnya bagi masyarakat bawah. Dan, karena situasi sosial ekonomi saat ini, teramat sulit bagi pemerintah daerah manapun untuk menghilangkan PKL sama sekali. Karena itu, perlu kebijakan yang arif. Persoalan tidak akan selesai, bila polanya hanya menyalahkan, menggusur atau menertibkan semata. Hampir tidak ada kebijakan partisipatif. Kebijakan pemerintah tidak bisa hanya didasarkan pada stereotipe-stereotipe negatif dan memojokkan. Jika kebijakan masih tetap demikian, maka pemerintah daerah sebenarnya telah gagal dalam memahami para pedagang kecil. Jika begitu, dimungkinkan akan gagal pula ketika mengambil dan memutuskan kebijakan. Harus diingat, para pedagang kecilpun punya rasa dan harapan. Memiliki hak untuk hidup, hak ekonomi, hak pendidikan dan hak kesehatan. Terutama, hak sebagai warga negara yang bebas dari segala diskriminasi hukum dan perilaku sewenang-wenang dari pemerintah.