Telah umum diketahui bahwa puasa bulan Ramadlan adalah fardlu bagi setiap orang Muslim yang mukallaf. Tahun ini puasa dilakukan secara serentak oleh sekitar 1,57 miliar orang dari 200 negara di dunia dari total penduduk dunia 6,8 miliar jiwa. Selama sebulan penuh dalam berpuasa, setiap Muslim tidak makan, tidak minum, tidak bersetubuh (jimaa’) mulai dari terbit fajar shoodiq hingga terbenam matahari.
Lebih dari itu, setiap Muslim berpuasa wajib menjaga diri dari godaan hawa nafsu untuk tidak berbuat dhoolim dan tidak adil, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Di antaranya dilarang menipu, memanipulasi, korupsi, menyuap atau menerima suap, memalsu dokumen, mengeksploitasi buruh (tidak membayar buruh atau menunda pembayaran buruh atau membayar buruh di bawah upah minimum regional), dan tindakan-tindakan lain yang merugikan orang lain atau mengurangi hak-hak orang lain.
Ketidakadilan ini harus dihindari baik oleh penguasa (pemerintah) kepada rakyatnya, majikan kepada buruh, maupun antarsesama rakyat. Ajaran puasa melarang segala perbuatan yang berdampak kepada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Semangat puasa adalah semangat kasih sayang, semangat tolong menolong, semangat toleransi, semangat peduli, semangat kejujuran, dan semangat kesetaraan, baik dalam hubungan vertikal maupun horizontal.
Bulan Ramadlan memang memberikan kesempatan setiap orang untuk berubah lebih baik, lebih jujur, lebih peduli, dan lebih manusiawi dalam menghadapi tantangan hidup. Pada bulan ini Allah menebarkan kasih sayang-Nya, ampunan-Nya, dan bahkan pembebasan dari siksa api neraka bagi mereka yang bertekad dan telah mentransformasikan dirinya (muttaquun).
Bulan Anti Trafiking
Sejalan dengan semangat kemanusiaan puasa, bulan Ramadlan juga bisa disebut bulan anti trafiking. Trafiking yang dipahami sebagai perdagangan manusia, lebih khusus lagi perdagangan perempuan dan anak, atau dalam konteks sekarang disebut perbudakan moderen, Islam secara tegas mengharamkan dan mewajibkan umatnya untuk memberantasnya. Dalam sebuah hadits,
حدثنا يوسف بن محمد قال حدثني يحيى بن سليم عن إسماعيل بن أمية عن سعيد بن أبي سعيد عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ثم قال الله تعالى ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة رجل أعطى بي ثم غدر ورجل باع حرا فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه أجره (صحيح البخاري ج 2 ص 792)
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Allah berfirman: ada tiga kelompok orang yang di hari kiamat nanti akan menjadi musuh besar saya. Pertama, orang yang telah mengadakan perjanjian setia kepadaku, tetapi kemudian mengkhianatinya; kedua, orang yang menjual orang merdeka kemudian mereka memakan hasilnya: dan ketiga, orang yang mempekerjakan buruh, tetapi tidak memberikan upah setelah buruh itu menyelesaikan pekerjaannya [Hadits Riwayat Imam Bukhari, Juz 2, halaman 792].
Tiga perbuatan yang menjadi musuh Allah tersebut, dalam konteks UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perda¬gangan Orang, disebut trafiking, perdagangan orang [manusia].
Komitmen Islam untuk memberantas trafiking, di antaranya, diwujudkan sebagai sanksi (kaffaraat) bagi orang yang bersetubuh dengan pasangannya (jimaa’) pada saat berpuasa di siang hari bulan Ramadlan. Sanksi bagi orang ini adalah secara berturut-turut berdasarkan kemampuannya; harus memerdekakan budak perempuan (tahriiru raqabatin mu’minatin); bila tidak mampu, harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan bila tidak mampu, harus memberi makan kepada 60 orang miskin.
Oleh karena perbudakaan dalam arti dzaatiyah sudah tidak ada, karena dihapuskan berdasarkan ijmaa’ PBB dan OKI, sementara perbudakaan dalam arti haqiiqatan masih terjadi, misalnya dalam bentuk trafiking, maka bisa jadi sanksi bagi pelaku jimaa’ (bersetubuh) tersebut adalah berjuang untuk memberantas tindak pidana trafiking atau membebaskan orang yang sedang berada dalam perangkap trafiking.
Pemahaman terhadap ajaran ini menemukan relevansinya dengan realitas kontemporer kemanusiaan, ketimbang menganggap ayat pembebasan budak (tahriiru raqabatin mu’minatin) sudah tidak relevan atau membuang alternatif sanksi (kaffaarat) ini dengan alasan perbudakan dalam arti dzaatiyah sudah tidak ada. Di sinilah keterkaitan puasa dengan pemberantasan perdagangan orang (trafiking) atau perbudakan mo¬dern. Wallaahu’alam bish showaab. []
Abu-Ahda-Zahwa, Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta