Sabtu, 21 Desember 2024

Puasa Anti Trafiking

Baca Juga

 

Telah umum diketa­hui bahwa puasa bu­lan Ramadlan adalah fardlu bagi setiap orang Mus­lim yang mukallaf. Tahun ini puasa dilakukan secara ser­entak oleh sekitar 1,57 miliar orang dari 200 negara di dun­ia dari total penduduk dunia 6,8 miliar jiwa. Selama sebu­lan penuh dalam berpuasa, setiap Muslim tidak makan, tidak minum, tidak bersetu­buh (jimaa’) mulai dari terbit fajar shoodiq hingga terbenam matahari.

Lebih dari itu, setiap Muslim ber­puasa wajib menjaga diri dari godaan hawa nafsu untuk tidak berbuat dhoolim dan tidak adil, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Di antaranya dilarang menipu, memanipulasi, koru­psi, menyuap atau menerima suap, me­malsu dokumen, mengeksploitasi buruh (tidak membayar buruh atau menunda pembayaran buruh atau membayar bu­ruh di bawah upah minimum regional), dan tindakan-tindakan lain yang mer­ugikan orang lain atau mengurangi hak-hak orang lain.

Ketidakadilan ini harus dihindari baik oleh penguasa (pemerintah) ke­pada rakyatnya, majikan kepada bu­ruh, maupun antarsesama rakyat. Aja­ran puasa melarang segala perbuatan yang berdampak kepada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Semangat puasa adalah semangat kasih sayang, semangat tolong menolong, semangat toleransi, semangat peduli, semangat kejujuran, dan semangat kesetaraan, baik dalam hubungan vertikal maupun horizontal.

Bulan Ramadlan memang mem­berikan kesempatan setiap orang un­tuk berubah lebih baik, lebih jujur, lebih peduli, dan lebih manusiawi dalam menghadapi tantangan hidup. Pada bulan ini Allah menebarkan kasih sa­yang-Nya, ampunan-Nya, dan bahkan pembebasan dari siksa api neraka bagi mereka yang bertekad dan telah men­transformasikan dirinya (muttaquun).

Bulan Anti Trafiking

Sejalan dengan semangat kemanu­siaan puasa, bulan Ramadlan juga bisa disebut bulan anti trafiking. Trafiking yang dipahami sebagai perdagangan manusia, lebih khusus lagi perdagang­an perempuan dan anak, atau dalam konteks sekarang dis­ebut perbuda­kan moderen, Islam secara tegas meng­haramkan dan mewajibkan umatnya un­tuk member­antasnya. Da­lam sebuah hadits,

حدثنا يوسف بن محمد قال حدثني يحيى بن سليم عن إسماعيل بن أمية عن سعيد بن أبي سعيد عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي  صلى الله عليه وسلم  قال ثم قال الله تعالى   ثلاثة أنا خصمهم  يوم القيامة رجل أعطى بي ثم غدر ورجل باع حرا فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه أجره (صحيح البخاري ج 2 ص 792)

Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Allah berfirman: ada tiga kelompok orang yang di hari kiamat nanti akan menjadi musuh besar saya. Pertama, orang yang telah mengadakan perjanjian setia kepadaku, tetapi kemudian mengkhianatinya; kedua, orang yang menjual orang merdeka kemudian mereka memakan hasilnya: dan ketiga, orang yang mempekerjakan buruh, tetapi tidak memberikan upah setelah buruh itu menyelesaikan pekerjaannya [Hadits Riwayat Imam Bukhari, Juz 2, halaman 792].

Tiga perbuatan yang menjadi musuh Allah tersebut, dalam konteks UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perda¬gangan Orang, disebut trafiking, perdagangan orang [manusia].

Komitmen Islam untuk memberantas trafiking, di antaranya, diwujudkan sebagai sanksi (kaffaraat) bagi orang yang bersetubuh dengan pasangannya (jimaa’) pada saat berpuasa di siang hari bulan Ramadlan. Sanksi bagi orang ini adalah secara berturut-turut berdasarkan kemampuannya; harus memerdekakan budak perempuan (tahriiru raqabatin mu’minatin); bila tidak mampu, harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan bila tidak mampu, harus memberi makan kepada 60 orang miskin.

Oleh karena perbudakaan dalam arti dzaatiyah sudah tidak ada, karena dihapuskan berdasarkan ijmaa’ PBB dan OKI, sementara perbudakaan dalam arti haqiiqatan masih terjadi, misalnya dalam bentuk trafiking, maka bisa jadi sanksi bagi pelaku jimaa’ (bersetubuh) tersebut adalah berjuang untuk memberantas tindak pidana trafiking atau membebaskan orang yang sedang berada dalam perangkap trafiking.

Pemahaman terhadap ajaran ini menemukan relevansinya dengan realitas kontemporer kemanusiaan, ketimbang menganggap ayat pembebasan budak (tahriiru raqabatin mu’minatin) sudah tidak relevan atau membuang alternatif sanksi (kaffaarat) ini dengan alasan perbudakan dalam arti dzaatiyah sudah tidak ada. Di sinilah keterkaitan puasa dengan pemberantasan perdagangan orang (trafiking) atau perbudakan mo¬dern. Wallaahu’alam bish showaab. []


Abu-Ahda-Zahwa, Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya