Alhamdulillah, bulan Ramadhan kembali tiba, sebagai muslim tentu kita berbahagia dengan hadirnya bulan penuh berkah ini. Meski beberapa bulan yang lalu kita baru saja ‘kaget’ dengan harga BBM yang beberapa bulan lalu naik. Tidak ada yang berubah, sepertinya puasa kita di tahun ini kembali akan dilalui ditengah persoalan kemiskinan, melambungnya harga-harga sembako, biaya pendidikan yang mahal, layanan kesehatan yang tidak terjangkau untuk orang miskin, dan kasus-kasus korupsi yang marak di kalangan legislatif maupun para penjabat pemerintahan.
Puasa: Semangat Pembelaan Terhadap Kaum Lemah
Sejak awal kehadirannya, Islam membawa misi pembebasan manusia dari belenggu penindasan dan eksploitasi sesama manusia lain. Dengan ajaran Tauhidnya Islam merupakan kekuatan pencerahan dan pembebasan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan, dan penistaan-penistaan lainnya. Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Allah SWT pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah SWT. Manusia hakikatnya sama, seorang atasan jangan karena memiliki kedudukan dan kewenangan lalu memperlakukan bawahan seenaknya. Begitupun pemimpin tidak boleh menindas rakyatnya. Seorang majikan tidak boleh mengeksploitasi pembantunya dengan upah rendah. Seorang suami tidak boleh bertindak kasar terhadap istrinya. Begitulah, Tauhid mengajarkan kita untuk tidak menguasai orang lain dengan alasan apapun. Tidak ada manusia yang boleh dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar secara mutlak.
Bagi kita sebagai muslim, Nabi Muhammad SAW adalah teladan hidup sejati. Dalam kehidupannya, Rasulullah SAW telah merealisasikan nilai ajaran itu baik dalam kehidupan individual maupun sosial. Pada tataran sosial, kekuatan tauhid pada diri Rasulullah SAW membuatnya berani membela mereka yang direndahkan, teraniaya, dan terlemahkan secara struktural dan sistemik (mustadh’afin), seperti kaum perempuan, budak, dan anak-anak yang diperlakukan oleh para penguasa dan pembesar masyarakat yang menutupi kezalimannya di balik nama Tuhan.
Semangat pembebasan itulah yang seharusnya muncul dari mereka yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183 : “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.”
Selain mengandung perintah puasa, ayat di atas menyiratkan bahwa tujuan puasa adalah takwa. Tentu saja takwa dalam arti luas. Persoalan-persoalan sosial di lingkungan kita sebetulnya merupakan tantangan bagi ketakwaan kita. Sejauhmana nilai puasa mampu menahan hawa nafsu kita dan menggerakkan hati kita untuk mau peduli terhadap orang lain. Puasa sesungguhnya harus mendorong kita agar bisa memberikan manfaat bagi perikehidupan manusia dan mengasah aspek nilai-nilai kemanusiaan kita.
Sejalan dengan itu, makna puasa sesungguhnya merupakan refleksi dari pemahaman serta implementasi yang luas terhadap makna tauhid sebagai ajaran mendasar dalam Islam. Tauhid dimaknai bukan hanya berelasi vertikal, mengesakan Allah SWT, lebih dari itu diwujudkan dalam hubungan kemanusiaan yang sama dan setara terlepas dari perbedaan kelompok atau golongan, geografis, suku atau ras, agama, status sosial, dan jenis kelamin. Nilai kesamaan dan kesetaran ini penting mengingat persoalan-persoalan kemanusiaan lebih banyak dipicu oleh penindasan atas hak-hak orang lain yang disebabkan adanya perendahan terhadap kedudukan dan status mereka.
Tentu saja, semangat pembelaan dan pembebasan itu sejalan dengan kemampuan dan kedudukan masing-masing. Jika Pejabat maka bagaimana ia tidak menyelewengkan kedudukan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Bagi legislatif, bagaimana bisa menyuarakan kepentingan rakyat dan betul-betul mengawasi kerja-kerja eksekutif bukan malah berkonspirasi untuk melakukan korupsi bersama. Bagi majikan, bagaimana bisa memenuhi hak-hak pekerjanya dan seterusnya. Begitulah, siapapun tidak boleh menjadikan pengaruh, kekuasaan, kekayaan dan kekuatan yang dimilikinya sebagai alat untuk menindas yang kecil dan lemah tak berdaya (mustadh’afin).
Al-Qur’an menyebut semua hal yang bisa memalingkan manusia dari tauhid dan keimanan kepada Allah SWT sebagai thaghut. Para mufasir diantaranya Jarir Al-Thabari dan Ibn Al-Katsir dalam kitab tafsirnya menyebutkan Thaghut adalah sebutan untuk setiap yang diagungkan, yang disembah, ditaati, dan dipatuhi selain Allah, baik itu berupa batu, manusia, ataupun setan. Allah berfirman hanya mereka yang bisa mengingkari thaghut-lah yang bisa dikatakan sebagai manusia yang benar-benar beriman kepada Nya dan berpegang pada tali yang sangat kuat: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Oleh sebab itu, manusia yang beriman harus kembali kepada Allah dan berlepas tangan dari thaghut agar bisa keluar dari kezaliman dan kegelapan. Allah Swt. berfirman: “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut (setan) yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 257).
Penulis adalah alumnus Pesantren Al-Mizan Majalengka, sekarang aktif bekerja untuk kemanusiaan di Fahmina Institute