Senin, 23 Desember 2024

Puasa Ramadhan: Meneguhkan Komitmen Moral Kemanusiaa

Baca Juga

Oleh: Dr. KH. Husein Muhammad

Seluruh bentuk ibadah baik personal atau antar pesonal selalu membawa dua makna yang saling bersimultan tidak terpisahkan. Contoh salat, seakan salat hanya berdialog dengan Allah SWT saja, bermunajat saja. Tapi sesungguhnya dia memiliki makna kemanusiaan yang luar biasa. Misalnya Allahu Akbar, ini mengajarkan kepada kita bahwa hanya Tuhan yang maha besar, karena itu konsekuensinya kita semua manusia setara di hadapan Allah SWT.

Ketika kita membaca Bismillahirrahma nirrahim, maka mengajarkan kepada kita untuk “Takhallaqu biaakhlaqin” maka berakhlaklah dengan akhlak allah yaitu arrahman arrahim, disamping bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat yang sngat besar dan tak dapat dihitung itu, tapi juga Allah mengatakan arrahman arrahim.

Inilah nilai yang diajarkan melalui salat untuk membangun kasih sayang pada semua manusia, bukan hanya pada antar manusia satu agama tapi seluruh umat amnsuai ciptaaan allah. Bukan hanya kepada manusia saja tapi alam semesta. Mislanya juga sujud adalah ketundukan kita, rendah hati kita. Salam, mengajarkan kedamaian kita kepada umat manusia. Itu adalah pesan moral kemanusiaan yang dibangun salat yang seakan urusan individu tapi bukan sama sekali.

Begitupun puasa sangat istimewa. Puasa itu hanya milik Tuhan. Jadi dikatakan shoumu li fainnahu li wa ana ajzi bihi, maknanya tidak dimiliki ibadah lain hanya dia seorang hamba dan Allah saja. Pertama adalah kontrol kepada seluruh bangunan manusia yang terdiri dari akal hati fikiran. Manusia memiliki tiga dimensi, dimensi tindakan, dimensi fikiran, dimensi hati nurani. Ini di dalam puasa mendapat kontrol dari Allah SWT.

Intinya seluruh ibadah dalam bentuk apapun terutama yang personal, jangan dianggap sebuah personal, tapi itu cara Tuhan menyadarkan manusia tentang orang lain, tentang yang lain the other.

Syeikh Izzudin bin Abdissalam, sultonil ulama, di dalam kitab Qowaidul Ahkam fi Masholihil Anam, beliau mengatakan “attakalifu kulluha rojiatun ila masholihil ibad, wallahu ghoniyuun an ibadatin kulli, la tanfauhu thoiin, wala tadharruhu ma`ashiatul ashi.” Seluruh tugas, beban yang dibebankan kepada manusia oleh Allah SWT bisa bersifat kewajiban, kewajiban individual, sosial kehidupan bersama, itu sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Allah SWT tidak membutuhkan ibadah kita, ketaatanmu kepada Allah SWT tidak menjadikan Allah SWT memperoleh manfaat. Kita durhaka kepada Allah SWT tidak menjadwalkan perintah Allah tidak akan merugikan Allah SWT sama sekali.

Jadi sesungguhnya seluruhnya untuk kepentingan manusia. Kalau kita ingat kata-kata Gus Dur, Tuhan tidak perlu dibela, karena Tuhan sudah luar biasa pencipta dan punya semua alam semsta ini. Hal demikian ini menjadi basis berfikir kita didalam menjalani ajaran agama, tidak hanya dalam kaitan dengan puasa tapi dalam tindakan kehidupan kita.

Lebih tegas lagi dikatakan waliyullah Ibbnu Athhoillah Assakandari seorang Master Althurisme yang sangat terkenal.m, ia mengatakan “Wala tanfauhu thoatuka, wala tadharruhu m`ashiatuka, wa innama amaroka bihadza wa nahaka anhadza, lima ya`udzu `alaika. Ia menjelaskan ketaatanmu kepada Allah tidak akan bermanfaat kepada Allah SWT. kamu mendurhakai Allah apapun bentukannya itu tidak akan merugikan Allah SWT.

Allah SWT memerintahkan untuk melakukan ini, dan melarang kamu ini itu, hanyalah untuk kamu sendiri. Kamu itu tidak hanya kamu peribadi tapi untuk kepentingan umat manusia keseluruhan.
Ini basis hidup kehihupan kita bersama, harus dibangaun dengan nilai-nilai kemanusiaan itu. Kita seakan-akan egoisme, seakan paling bagus setelah itu tidak ada efek sama sekali.

Makanya saya mengatakan kenapa umat Islam begitu banyak, salat banyak sekali, setiap jumat khubah, haji banyak, umroh banyak tapi tidak memiliki efek sosial. Korupsi masih banyak, caci maki dan hoaks masih banyak. Seakan -akan individu saja.

Saya berharap bisa memberi atau membagi pengetahuan, bahwa umat islam harus bangkit untuk membangun kemanusiaan yang setara berkeadilan, dan kemaslahatan.

Kita lihat puasa, Al Quran telah menyatakan ya ayyhuahlladzina amanu kutiba ‘alaikumusshiam kama kutiba ‘ala alladzina min kobliku la’allakum tattaqun. “La’alakum tattaqun” menjadi catatan sentral. Disana disebtkan kama kutiba alaladzinaminkoblikum, puasa dilakukan oleh semua umat manusia beragama apapun bahkan sebelumnya.

Dalam kitab nurzatul arwah raudhatul afrah, ada seorang bernama Hermes atau Romisah yang kemudian menjadi basis Hermenetik bukan lain kita kenal yaitu nabi Idris. Beliau mengatakan Idza dahkholtum fi shiam fatohirru anfusakum, min najsin wadanas, washumu lillah, fiqulubin kholisoh shofiyah mutanazzala minal afkar assayyiah, walhawajis almunkaroh, wal ma`ashia mi afwahikum, minal maakili wal masyaribi fal tashum .. mnal ma`ashimsimi.

Ini perkataan hermes atau nabi Idris tentang puasa, jauh sebelum nabi-nabi seperti Nabi Ibrahim, tapi semua bicara taqwallah, pengendalian diri dari seluruh potensi kemanusiaan yang ada dalam diri mansuia. Emosi, serakah lainnya harus dikendalikan.

Tapi saya ingin menyampaikan uraian yang lebih luas tentang taqwa. At taqwa hua jamiu khoir, dalam khutbah menjalankan perintah Allah menjauhi larang Allah, apa saja? Al quran sebetulnya telah menjelaskan tentang uraian taqwa.

Laisal birra an tuwalluu wujuuhakum qibalal masyriqi wal maghribi walakinnal birra man aamana billahi wal yaumi-aakhiri wal malaa-ikati wal kitaabi wannabii-yiina waaatal maala ‘ala hubbihi dzawiil qurba wal yataama wal masaakiina waabnassabiili wassaa-iliina wafiirriqaabi waaqaamash-shalaata waaatazzakaata wal muufuuna bi’ahdihim idzaa ‘aahaduu wash-shaabiriina fiil ba’saa-i wadh-dharraa-i wahiinal ba’si uula-ikal-ladziina shadaquu wa-uula-ika humul muttaquun. (al Baqorah ayat 177).

ukanlah kebajikan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Jika disimpulkan menjadi tiga komponen rukun, yaitu rukun Iman, rukun Isam dan rukun Tetangga atau Rukun Kemanusiaan. Konsekuensi logis komitmen kemansuaiaan itu merukpakan konsekuensi paling rasional, paling tegas tentang keimanan kita kepada Alla SWT, pembuktiannya harus itu. Kita tidak hanya bisa bicara, tapi komitmen kita diuji dalam bulan puasa ini.

Apa bedanya al birr dan al khoir. Allah mengatakan al birr bukan al khoir. Di dalam al furuq baina lughoh, jawabannya harus diperlakukan sesuatu yang progresif, menjemput, menembus langsung tidak diam. Kita harus melakukannya bukan diam. Berbeda kita tidak menjemput orang lain kita melakukan kebaikan itu al khoir. Memang semuanya bersifat universal. Baik al birr dan al khoir bermakna kebaikan universal.

Bedanya al birr itu progresif tidak stagnan atau diam. Diddul bir al `uquq, wa diddul khair `asyar. Ini juga menjadi basis bukan hanya soal puasa, puasa sangat personal. Makna dari puasa itu harunya merefleksikan moral kita secara progresif, bertindak tidak diam. Itu lebih banyak pada sisi-sisi kemanusiaan tadi. Kalau aqidah itu basis, yang meniscayakan komitmen atas keyakinan kepada Allah, nani-nabi, malaikat, pada kitabulah dan hari akhir. Ini bukti yang ril kita menyambut yang lain demi kemanusiaan.

Mansuia itu sama, memiliki perasaan yang sama, cobalah hubungkan perasaan kita kepada orang lain. Seperti ararahman, kasih itu sensitifitas hati, sensitifitas hati itu empati, empati itu kau adalah aku yang lain. Karena apa yang aku rasakan kau rasakan. Karena apa yang dia rasakan juga aku rasakan. Coba kita alami kondisi yang misskin dan terpinggirkan.
Allah mencoba kita semua dengan rasa lapar satu hari saja, tidak berhari-hari. Coba kita fikirkan, orang di bawah jembatan, yang harinya tidak memilki sumber ekonomi. Itulah salah satu cara Allah untuk menggerakkan keimanan dan sensitifitas kita kepada orang lain.

Sangat luar biasa makna puasa itu, Hermes mengatakan “ma yugni ankumu shoum idza kanat af`lukum madzmumah, wabashoikum mashubah”. Matamu kesana kemari, hatimu, prilakumu buruk sekali, Allah tidak menirma. Puasa menghentakkan kesadaran kita tentang orang lain berhari-hari susah mencari makan. Kita enak ngomong pengen ini itu, tapi mereka sangat sulit untuk pengen ini itu. Semoga puasa ini memberi maksna yang luar biasa.

Para ulama seperti al Ghazali membagi puasa menjadi tiga tingkatan. Tingkatan lertama, Puasa Awam yang hanya menahan hasrat-hasrat biologis manususi yang sama dengan binatang. Itu hanya sekadar tidak makan dan minum, berhubungan seks. Tapi lumayan saja, hanya sekedar formalisme ini Yang paling banyak. Maka tidak ada efek apapun, merasa bangga sekali dengan ibadahnya,
Padahal ibadah itu jangan ingin dipuji, didengar orang, diketahui orang. Mestinya merasa rendah hati di hadapan Allah swt.

Basis tingkatan puasa kedua agak intelektual, bukan hanya tidak makan dan minum, tapi juga mengendalikan seluruh panca indra kita, tubuh luar kita. Tangannya, mulutnya, jangan ngomong jelek, matanya jangan melihat yang bukuk yang maksiat. Itu seharusnya begitu seornag intelektual. Tapi jika belum bisa begitu ngakunya saja intelektual tapi masih awam.
Paling hebat adalah tingakatan ketiga, puasa seorang sufi. Hatinya selalu mengingat Allah, karena dialah yang akan mengontrol menghitung seluruh amal perbuatan kita. “akulah yang akan menghitung dan membalasnya” bisa seribu, sejuta tergantung Allah.

Wahai orang-ornag yang beriman, percaya kepada Allah. Yakni semua orang yang beriman percaya kepada Tuhan, diwajibkan puasa sebagai proses madrasah rohani untuk meneguhkan komitmen moral kemanusiaan . []

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya