Berbagai Macam Pendekatan Agama
Pada bagian ini saya akan mengutarakan 4 pendekatan agama yaitu pendekatan kognitif doktrin agama, pendekatan ekspresi pegalaman, pendekatan gabungan keduanya, dan pendekatan kultural linguistik. Pertama, Pendekatan kognitif literal doktrin agama. Kelompok ini disebut kaum ortodox tradidisonal. Mereka menekankan aspek kognitif dari doktrin, dan bagaimana doktrin gereja berfungsi klaim kebenaran yang proporsional terhadap realitas obyektif. [4] Mereka beranggapan bahwa ayat-ayat kitab suci (Bible) secara harfiyah (literally) adalah menjadi ukuran kebenaran terhadap segala sesuatu mencakup sains, sejarah, filsafat dan sebagainya. Cerita-cerita dan kejadian-kejadian yang ada didalam kitab suci seperti kebangkitan jesus setelah mati, mu’jizat-mu’jizatnya adalah benar secara historis. Teori atau pendepat yang bertentangan dengan kitab suci dianggap salah. [5]
Kelompok ini berkembang sangat luas pada gereja-gereja, dan dipegangi secara teguh oleh para pemimpin dan jemaat Gereja. Biasanya dalam khutbah gereja seorang imam mengutip suatu ayat dalam bible untuk menerangkan fenomena kehidupan atau sebaliknya melihat fenomena kehidupan kemudian dicarikan rujukannya di Bible secara harfiyah. [6]
Jadi kelompok ini berpendapat bahwa kata yang digunakan pada bible adalah pernyataan itu benar secara literal (harfiyah). Kosep dalam agama yang diformulasikan dalam doktrin secara harfiyah diterima sebagai kebenaran sesuai dengan kenyataan. Inilah pendekatan tradisional. Kelompok ini lebih fundamentalis, yaitu ingin memahami secara ketat apa yang dikatakan sebagai teori kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah apa yang dikatakan secara akurat mewakili kenyataan yang diucapkan, kata dan kenyataan sesuai satu sama lain, ini adalah tradisionalis konservatif atau teologi ortodok.
Kedua, pendekatan ekspresi pengalaman. Kelompok yang menggunakan pendekatan ini disebut sebagai kelompok liberal. Pada abad ke 19 tradisi ilmu pengetahuan dilanda oleh ‘air bah’ mainstrem pendekatan positifistik, naturalistik. Sehingga ada keinginan untuh menghapus segala sesuatu yang bersifat immaterial, ruhani. Kecenderungan ini juga melanda diskusi tentang agama. Ada kecenderungan untuk merasionalisasi agama. Agama harus bisa ditilih dari pendekatan positifistik yaitu perlu diterima oleh akal, mempunyai bukti-bukti historis yang meyakinkan.
Pada semangat zaman seperti inilah, para teolog Kristen di jerman banyak yang meragukan kebenenaran historis cerita-cerita, kejadian-kejadian yang ada pada kitab suci. Akibat keraguan tersebut, banyak umat yang kehilangan orientasi sehingga menjadi atheis. Namun ada pendapat lain walau kebenaran sejarah dalam kitab suci diragukan. Namun agama Kristen tetap bermanfaat dan dibutuhkan, karena agama Kristen merupakan ekspresi pengalaman seseorang terhadap realitas tertiggi (tuhan).
Kelompok liberal menekankan pada ekspresi pengalaman yang menggambarkan oritentasi perasaan, sikap dan eksistensi. [7] Menurut Lonergan, karakter model teori agama yang bersifat ekspresi pengalaman adalah sebagai berikut: (1) Agama yang berbeda adalah ekspresi yang berbeda atau obyektifikasi pengalaman utama yang bersifat umum. (2) pengalaman, kesadaran, mungkin tidak diketahui pada tingkat refleksi kesadaran diri. (3) mempersentasikan keseluruhan eksistensi manusia. Dan (4) Pada sebagian agama, pengalaman menjadi sumber obyektifikasi norma. [8]
Kelompok liberal ini berpendapat bahwa konsep-konsep dan statemen-statemen harfiyah, cerita-cerita, kejadian-kejadian yang ada di Bible bukanlah merupakan redaksi ilmiah, melainkan bahasa metaforis sebagai ungkapan ekspresi pengalaman spiritual seseorang. Oleh karenanya kita tidak perlu melakukan pembuktian kebenaran. Kajian terhadap bible adalah untuk menangkap dimensi spiritualitas pada ekspresi pengalaman metaforis dalam Bible. Sebagai contoh sebutan Tuhan Bapa, dan Putra Allah adalah merupakan ungkapan kedekatan seseorang terhadap Tuhan, karena begitu dekatnya hubungan tersebut sehingga dibahasakan dengan bahasa hubungan Bapak-Anak. [9] Kemudian pengalaman agama tersebut diformulasikan dalam bentuk cerita-cerita, mitos-mitos, peraturan-peraturan yang dapat mengatur manusia.
Ketiga, gabungan pendekatan kognitif literal doktrin agama dan pendekatan ekspresi pengalaman. Katolik Roma berusaha menggabungkan dua pendekatan ini, yaitu menggap bahwa proporsinal kognitif, dimensi ekspresi dalam bentuk simbol eksis dalam agama kristen. Tokoh penganjurnya pendekatan ini adalah Karl Rahner dan Bernard Lonergan dengan mengembangkan hibriditas dua pendekatan tersebut. [10]
Lindbeck tidak puas dengan solusi yang ditawarkan oleh kelimpok ini. Dia menggunakan pendapat Keinessen dari Widgenstein yaitu untuk menghadapi masalah yang sulit dengan cara membuat masalah itu hilang. Atau untuk melawan suatu diskurus dilakukan dengan cara membuat diskursus yang baru. Lindbeck tidak berusaha menjawab pertanyaan yang diusung oleh kedua belah pihak yaitu apakah ada kebenaran dalam literal kognitif, atau apakah kebenaran ada pada agama yang berupa pengalaman ekspresif, juga tidak menyalahkan ata membenarkan kedua aliran tersebut. Dia memunculkan pertanyaan baru yaitu apakah agama berarti atau bermanfaat bagi kehidupan seserang?
Lindbeck menawarkan pendekatan kultural linguistik. Menurutnya agama adalah suatu jaringan makna yang dapat membantu manusia untuk memahami kehidupan ini. Agama adalah peraturan hidup, doktrin struktur, institusi, klaim kebenaran yang dapat membantu manusia untuk memahami kehidupan ini menjadi berarti. Dia membalik basis argumentasi yang digunakan oleh kelompok liberal. Bukanya agama merupakan hasil dari ekspresi keagamaan manusia, melainkan agama adalah modal yang diguakan atau yang membimbing manusia untuk memperoeh pengaaman spiritual. Orang sulit mendapatkan pengalaman spiritual tanpa menggunakan media agama. Yang ditonjolkan adalah apakah agama bermanfaat bagi kehidupan sehingga memberi hidup menjadi lebih baik. Jadi pertanyaan tentang kebenaran literal dan kebenaran simbolis tidak diutamakan.
Perbandingan terhadap Pemikir Lain
Para pemikir yang berdekatan dengan pendapat Lindbeck adalah sebagai berikut. Pertama, Clifford Geerzt berpendapat bahwa manusia hidup dalam kebudayaan (termasuk agama) yang diciptakannya sendiri yang merupakan sistem jaring makna yang membuat manusia mempunyai makna hidup. Dalam hal ini bahasa memiliki posisi yang sangat penting dalam studi kebudayaan manusia. Walau Lindbeck tidak menyatakan secara eksplisit mengacu pendapat Clifford Geerzt, namun pemikiran yang ditawarkannya sangat mirip dengan pemikiran yang dikembangkan oleh Clifford Geerzt, keduanya menganggap bahwa baik manusia hidup dalam jaring kultur yang diciptakannya sendiri maupun warisan dari pendahulunya. [11] Menurut Clifford Geertz sudi agama meliputi dua tahapan yaitu: (1) menganalisis sistem makna yang ada pada simbol agama. (2) melihat struktur sosial dan proses psikologis. [12]
Kedua, Peter L. Berger berpendapat bahwa ada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam tiga bentuk yaitu internalisasi, eksternalisasi, dan obyektifikasi. Eksternalisasi adalah proses penumpahan aktifitas fisik dan mental secara terus-menerus. Obyektifasi adalah pencapaian hasil aktifitas fisik dan mental manusia yang kemudian menjadi sesuatu yang ada diluar manusia. Internalisasi adalah transformasi dari dunia obyektif menjadi dunia subyektif manusia. [13]
Saya mensejajarkan pemikiran agama sebagai jaringan cultural linguistic system dari Lindbeck relatif sejajar dengan internalisasi dari dialektika Peter L. Berger. Menurut saya teori Peter L. Berger lebih bisa memotret kenyataan daripda teori yang dikembangkan oleh Lindbeck. Lindbeck hanya melihat manusia diciptakan oleh agama, sedangkan Peter Berger melihat: (1) manusia melalui eksternalisasi menciptakan atau mempengaruhi agama, (2) melalui obyektifikasi, agama menjadi realitas obyektif yang ada diluar manusia. (3) melalui internalisasi, agama mempengaruhi (menciptakan) manusia. Berangkat dari dialektika yang dibangun oleh Peter L, Berger ini, saya melihat kelemahan teori yang dikembangkan oleh Lindbeck, yaitu teorinya tidak bisa melihat agama sebagai produk kultural manusia yang mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu.
Kedua, Gadamer menerangkan bahwa manusia hidup dalam lingkup kultur, tradisi dan bahasa yang membentuk cakrawala (horison) yang sangat terbatas. Manusia harus mempunyai kesadaran sejarah, bahwa eksistensinya saat ini ditentukan oleh warisan budaya masa lalu darik generasi terdahulu. Dan kini kehidupannya menggenggam segep project ke depan. Dalam konteks seperti ini, kita bisa menempatkan agama sebagai bagian dari warisan masa lalu yang menjadi modal bagi kehidupan kita saat ini dan untuk menghadapi masa depan. Gadamer menempatkan prejudice (pre understanding) sebagai modal untuk melakukan suatu dialog atau proses komunikasi terhadap orang lain. Baginya kita tidak bisa memisahkan antara subyek yang meneliti dan obyek yang diteliti, obyektifitas tidak bisa memisahkan subyek dari sejarah. Orang melihat dari horison titik sejarah dan budaya tertentu. [14]
Dalam hal ini ada kesamaan antara Gadamer an Lindbeck yaitu mereka sama-sama menempatkan agama (sebagai warisan sejarah) sebagai modal untuk dapat memahami dunia. Yang membedakan keduanya adalah: (1) Gadamer lebih bekerja pada wilayah hermeneutik secara umum, sedangkan Lindbeck lebih fokus bekerja pada isu agama. (2) Secara tegas menolak pendapat Diltey bahwa dengan menggunakan pendekatan filologi kita bisa menemukan kebenaran obyektif sejarah di dalam teks. Sedangkan Lindbeck tidak mengabil sikap begitu jelas terhadap klaim kelompok tradisional ortodox yang berpendapat bahwa ada kebenaran scientific pada teks, cerita dan kejadian di kitab suci.
Ketiga, Plascher berpendapat bahwa kebenaran agama sangat terbatas pada asumsi (paradigma) yang dibangun terbatas dalam satu agama. Agama berisi petunjuk siapa kita, apa yang harus kita lakukan dan kemana kita akan melangkah. [15] Kita tidak bisa menggunakan satu aspek agama A untuk menilai agama B karena masing-masing punya paradigma yang berbeda. Persamaan Plascher dan Lindbeck adalah sebagai berikut: (1) Secara umum keduanya melihat agama sebagai sesuatu yang positif. Namun Lindbeck melihat dari segi kemanfaatan agama bagi kehidupan ada agama yang baik dan agama yang jahat. (2) keduanya sama-sama menempatkan agama sebagai paradigma bagi manusia untuk melihat dunia. (3) keduanya sadar akan keterbatasan agama sebagai paradigma untuk memahami dunia.
Sedangkan para pemikir yang berseberangan dengan Lindbeck adalah: Pertama, Habermas yang beranggapan bahwa untuk menggapai kebajikan manusia harus bisa melakukan komunikasi berdasarkan rasinalitas murni. Manusia sering terjebak pada nalar instrumental dan melalaikan tujuan yang sesungguhnya. Komunikasi rasinal dapat dirusak oleh agama, uang, dan kekuasan. Habermas menempatkan agama dalam posisi negatif yaitu merusak komuniksi yang rasinal. Ini bertentangan dengan pandangan positif Lindbeck terhadap agama. [16] Kedua, Karl Marx beranggapan bahwa agama adalah candu (racun) pembentuk kesadaran palsu yang menghilangkan semangat perlawanan kelas proletariat melawan penindasan kaum borjuis kapitalis. [17] Ketiga, Nietzsche beranggapan bahwa agama adalah ekspresi kekalahan orang dalam kompetisi hidup. Untuk menjadi manusia super (ubermensch), orang harus meninggalkan agama. [18]
Peta Pemikiran Muslim Indonesia
Saya berusaha untuk memetakan pemikiran kelompok muslim Indonesia dengan menggunakan tipologi pendekatan Lindbeck yaitu sebagai berikut: Pertama, Tipe Kognitif proporsional. Lembaga yang masuk dalam kategori ini adalah: Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, Al Irsyad, ICMI. [19] Karakteristik yang menjadi dasar memasukkan Muhammadiyah pada tipologi kognitif proporsional adalah: (1) Latar belakang berdirinya lembaga adalah untuk membendung misi kristenisasi. Kristenisasi harus dibendung karena bertentangan dengan klaim kebenaran univerasal Islam yang terdapat pada Al Qur’an dan Hadits. (2) Orang Muhammadiyah lebih cenderung mempelajari al Qur’an dan Hadits secara harfiyah (literal) dan secara langsung tanpa dibimbing oleh pemikiran otoritatif dari ulama. Muhammadiyah cenderung anti Mazhab. (4) Visi Muhammadiyah adalah Memurnikan ajaran agama dari unsur lokal yang dianggap mencemari keaslian ajaran Islam dalam bentuk taqlid, bid’ah, churafat (TBC) [20] dan mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekuen seperti tertulis dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. [21]
Hizbut Tahrir mempunyai garis perjuangan formalisasi syariat Islam menjadi hukum positif negara dengan cara yang konstitusional. Al Irsyad sama dengan Muhammadiyah yaitu memperjuangkan pengalaman ajaran Islam seperti al Qur’an dan Hadits. Sedangkan ICMI mencoba memasukkan sebanyak-banuyaknya orang-orang muslim modernis dalam birokrasi. Dan sebagai cendekiwan ICMI mencoba memahami al Qur’an dan Hadits secara logis. Berangkat dari karakteristik tersebut mereka masuk pada tipe kognitif literal.
Kedua, Tipe Experintal Expressive. Yang termasuk dalam tipe ini adalah Nahdlatul Ulama (NU). Karakteristik NU yang menjadi alsan mesuk pada kategori ini adalah: (1) Latar belakang lahirnya NU adalah sebagai respon terhadap gerakan Wahabi dan kemunculan Muhammadiyah di Indonesia yang mempromosikan kemurnian Islam. NU lahir untuk memperkuat posisi tawar Muslim kultural Indonesia, supaya mereka diberi ruang kebebasan untuk melakukan ibadah Haji sesuai dengan ekspresi pengalaman (experiental expressive) keagamaan mereka. [22] (2) Ada kecenderungan orang atau tokoh-tokoh NU lebih mudah dekat dengan orang Kristen daripada dengan orang Muhammadiyah. [23] (3) Menghargai kebebasan dan keanekaragaman ekspresi pengalaman dan pengamalan agama Islam sesuai dengan kultur lokal setempat. (4) Tidak melakukan gerakan struktural untuk mendesakkan aturan agama Islam menjadi hukum positif negara, tapi lebih memilih gerakan kultural. [24] (5) Selalu menghargai inovasi walau sering bertentangan dengan pemikiran sebelumnya. [25]
Ketiga, Tipe kultural Linguistic. Jaringan Islam Liberal, dan Kelompok LSM seperti LKiS, Desantara menurut saya masuk dalam kategori ini. Karena mereka mengedepankan agama sebagai sistem makna yang unik yang perlu dihormati, bahkan mereka mempunyai program advokasi terhadap kelompok minoritas. [26]
Dialog Agama
Menurut Lindbeck, setiap agama adalah merupakan sistem jaringan cultural linguistic yang berbeda. Sebagai konsekuensinya kita tidak bisa menilai suatu aspek ajaran agama tertentu dengan menggunakan paramater (ukuran) dan world view dari sistem kultural linguistik agama lain. Oleh karenanya kita tidak bisa membuat ranking doktrin agama mana yang paling benar, setengah benar dan kurang benar. [27] Sebagai contoh seorang muslim tidak bisa mengukur benar salah konsep trinitas yang ada pada agama Kristen dengan standar tauhid dalam doktrin Islam.
Perbandingan dan dialog agama bisa dimulai dari pertanyaan awal yang diusung oleh pendekatan kultural linguistik ini yaitu apakah agama-agama benar-benar dapat membimbing kehidupan pemeluknya menjadi hidup yang lebih bahagia, lebih manusiawi dan lebih bermakna? Apakah ada konsistensi ajaran resmi doktrin agama dengan praktek di lapangan? Berangkat dari pertanyaan tersebut ada beberapa kemungkinan: Pertama, ajaran agamanya baik namun prakteknya tidak baik. Kedua, ajaran agama tidak baik (menyesatkan) yang membawa praktek pengamalan agama secara tidak baik. Ketiga, ajaran agama bisa ditilik apakah lengkap atau tidak lengkap untuk menjadi pengangan hidup. Keempat, ada problem koheren-tidak koheren, otentik- tidak otentik. [28]
Lindbeck juga menyarankan dalam dialog agama kita tidak usah sungkan berangkat dari aspek yang benar-benar berbeda secara diametral. Toh perbedaan itu dimaklumi karena adanya sistem kultural linguistik yang berbeda. Model perbandingan agama seperti ini bermanfaat untuk mengevaluasi apakah agama yang kita peluk masih bermanfaat, dan juga dialog agama lebih bersifat terbuka, jujur dan konstruktif yaitu dapat saling memperkaya pengalaman yang positif sehingga kita bisa beragama secara labih baik. []
[1] Disampaikan pada diskusi Kamisan di Fahmina Institute, 03 Agustus 2006
[2] Alumni Center For Religius and Cross Cultural Studies (CRCS) UGM lulus tahun 2005.
[3] George A. Lindbeck, The Nature of Doctrine, Religion and Theology in a Post Liberal Age, (Philadelphia: The Westminster Press), 1984. hal. 16
[4] Ibid.
[5] Kelompok ini mirip dengan kondisi abad pertengahan di Barat dimana pada waktu itu Para Bapak Gereja Katolik memegang otoritas yang sangat besar dan menempatkan doktrin gereja dan teologi sebagai mother of science. Bahkan sampai terjadi tragedi hukuman mati yang menimpa Galileo Galilei karena dia berseberangan dengan pendapat Gereja yang menyatakan bahwa Bumi itu datar dan menjadi pusat tatasurya. Dia berpendapat bahwa bumi itu Bulat dan tidak menjadi pusat tatasurya.
[6] Menurut saya pendekatan kognitif literal ini dapat tumbuh subur pada gereja yang melayani masyarakat awam (lyman). Masyarakat awam cenderung untuk beragama secara praktis. Mereka menempatkan kitab suci secara harfiyah sebagai pegangan praktis sebagai pedoman hidup mereka sehari-hari tanpa harus abstraksi pemikiran yang rumit.
[7] Ibid.
[8] Ibid. hal. 32.
[9] Dalam hal ini kaum ortodox tradisional sungguh-sungguh percaya bahwa Jesus adalah Putra Allah. Menurut mereka pendapat bahwa sebutan Putra Allah sebagai sebutan metaforis adalah salah besar.
[10] Ibid, hal. 16.
[11] Lihat Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, Selected Essays, (New York: Basic Book), 1973, hal. 87-125. Lihat juga Clifford Geertz, “From the Native’s Point of View on the Nature of Antrhopological Understanding” dalam Paul Rabinow dan William M. Sullivan (Ed.), Intepretative Social Science A. Reader, (Berkeley: University of California Press), 1979, hal. 181. Aplikasi teori tersebut lihat Clifford Geertz, “Deep Play: Notes on The Balinese Cock Fight, dan From the Native’s Point of View on the Nature of Antrhopological Understanding” Ibid. hal. 225.
[12] Ibid, hal. 125.
[13] Peter L. Berger, The Sacred Canopy Element of Socialogical Theory of Religion, (New York: Anchor Book), 1990. hal 4.
[14] H.G. Gadamer, “The Problem of Historical Consciousness”, dalam Paul Rabinow dan William M. Sullivan (Ed.), Intepretative Social Science A. Reader, (Berkeley: University of California Press), 1979. hal. 103
[15] William C. Plascher, Unapologetic Theology, A Christian Voice in A Pluralistic Conversation, (Lousville Kentucky: Westminister/ John Knox Press), 1989.
[16] Jurgen Habermas, Emancipatory Knowledge and Social Analysis and Communicative competence, pada Charles Lemert (Edwin), Social Theory the Multicultural and Classic Readings, (Oxford: Westview Press), _ 1993, hal. 414-417
[17] Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologi-ideologi Kontemporer, diterjemahkan dari Religion and Social Theory, (London: Sage Publication Ltd.) 1991 oleh Inyiar Ridwan Muzir, (Yogyakarta: IRCiSoD), 2003, hal. 111.
[18] Alan D. Schrift, Nietsche’s Legacy of Postructuralim, (New York, London: Routledge), 1995. hal. 70.
[19] Ada perbedaan label yang digunakan Linbeck memasukkan kelompok ini dalam kategori kaum tradisional, sedangkan dalam wacana intelektual Islam: Muhammadiyah, Al Irsyad, ICMI dimasukkan pada kelompok Modern. Menurut saya perbedaan wacana tradisional modern antara Lindbeck dan intelektual muslim di Indonesia terutama harun Nasution adalah karena perbedaan titik tekan sudut pandang. Titik tekan pembedaan tradisioal liberal Lindbeck pada pemegang teguhan literal teks suci agama versus ekspresi pengalaman agama. Sedangkan di Indonesia pembedaan modern tradisioanal ditekankan pada mempertahankan tradisi lokal atau tidak. Kelompok yang memperetahankan tradisi disebut tradisionalis, sedangkan kelompok yang tidak mempertanahkannya disebut kelompok modernis. Untuk melihat penggunaan istilah modernis ini silakan baca, Harun Nasution, Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), 1989.
[20] Taqlid adalah meniru suatu pemikiran atau praktek keagamaan orang lain tanpa mengetahui sumbernya apakah diajarkan atau terdapat pada Al Qur’an dan Hadits atau tidak. Bid’ah adalah kreasi baru dalam agama yang tidak terdapat dalam ajaran Al Qur’an dan Hadits. Churafat adalah aspek penyembahan kepada tuhan yang mengandung unsur musyrik yang mengancam keesaan Allah.
[21] Ira M Lapedus, A History of Islamic Societies, (London: Cambridge University Press), 1989, hal. 76.
[22] Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, diterjemahkan dari Islam et Armee Dans L’Indonesie Contemporaine oleh Lesmana. (Yogyakarta: LKiS), 1999, hal. 9-14
[23] Sebagai contoh Gusdur lebih dekat dengan tokoh-tokoh Kristen daripada dengan tokoh-tokoh NU.
[24] Di NU wacana khittah 1926 sangat kuat. Walau masih menjadi keputusan resmi, namun banyak orang NU termasuk Hasyim Muzadi menggunakan NU sebagai kendaaraan politiknya. Walau mereka mencoba masuk pada jabatan partai politik, tapi bukan untuk memasukkan ajaran Islam dalam peraturan negara. Bahkan NU adalah satu-satunya lembaga muslim yang paling awal menerima asas pancasila di Indonesia. Mengenai penerimaan NU terhadap asas tunggal ini bisa dilihat pada Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara…. hal. 242 – 271.
[25] Prinsip yang mendasari sikap ini adalah Al Mukhafadhatu ‘ala qodimi As Shalih wa Al Akhdhu bi Jadidi al Aslah. (artinya: mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengganti dengan inovasi baru yang lebih baik).
[26] Lebih lanjut lihatlah http//:www.JIL.org , http//: http://www.lkis.org/ dan http//: http://www.desantara.org/
[27] George A. Lindbeck, The Nature of Doctrine… hal. 47
[28] Ibid, hal. 52- 55