“Bom meledak keras di Legian, Kuta, Bali. Pulau Dewata yang dipandang sebagai salah satu tempat teramat dunia bergetar keras. Seiring dengan jiwa-jiwa yang meregang. Serpihan daging yang berpencaran. Tubuh-tubuh yang terbakar. Dan tentu saja, selanjutnya jeris dan tangis meledak, dari mereka yang hatinya terguncang, atau kehilangan yang dicintai.”
Teror – dan terorisme – tiba-tiba menjadi kata yang teramat erat dengan hidup keseharian kita. Perasaan ketakutan dan tercekam – hal utama yang menjadi target para teroris – sedikit banyak mulai merasuki jiwa masyarakat. Baik karena bayangan akan terkena teror itu, maupun akibat kekhawatiran tiba-tiba dituduh sebagai teroris dan dilenyapkan kemanusiaannya. Saat-saat menjelang Ramadhan, yang dalam keyakinan teologis umat Islam merupakan bulan penuh berkah, justru telah menjadi semacam bulan teror!
Mengiringi kenyataan terorisme, tantangan keras menghampiri kehidupan keberagamaan kita. Sebab, ada opini yang berkembang bahwa terorisme yang kini mencekam masyarakat baik di Indonesia maupun di berbagai pelosok dunia, terkait dengan agama. Dalam hal ini, Islamlah yang tengah terpojok. Khususnya, ketika muncul istilah Terorisme Islam. Juga ketika Jamaah Islamiyah yang secara harfiah berarti kumpulan orang (umat) yang bersifat Islami ditempatkan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap peledakan bom di Bali.
Di tingkat lokal pun, sejauh berdasarkan pemantauan penulis, opini yang sejatinya bersifat bias inipun menyebar di beberapa kalangan. Tepatnya di kalangan masyarakat yang terbiasa (atau dibiasakan) dengan keyakinan bahwa agama yang berbeda tidak bisa hidup berdampingan, karena ada agama (yaitu yang kita anut) mewakili kebenaran, kesucian dan kebaikan, sementara agama lain (yang dianut orang lain) mewakili kesesatan, keburukan dan kejahatan. Di sebagian kalangan umat Islam misalnya, tak bisa dipungkiri muncul semacam pandangan, bahwa terorisme dan isu terorisme merupakan skenario dari “musuh-musuh Islam” yang dirujukkan pada agama tertentu.
Sebaliknya, di sebagian kalangan penganut agama lain seperti Kristen misalnya, tak bisa disangkal telah tersebar pula semacam alasan pembenaran terhadap keyakinannya selama ini bahwa “Islam identik dengan pedang dan kekerasan”, dan seseorang yang memiliki pandangan yang ketat dalam menterjemahkan perintah Islam, identik dengan “mereka yang tak punya hati nurani dan mau menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan kekerasan, dalam menyebarkan agamanya.”
Suasana caling curiga antar umat beragama yang saat ini berkembang – lepas dari kenyataan bahwa itu mungkin merupakan salah satu bukti keberhasilan skenario global yang hendak memecah belah umat beragama di Indonesia – membuktikan cukup benarnya pandangan bahwa harmoni dan toleransi umat beragama di Indonesia saat ini sesungguhnya semu belaka. Selama ini kita bukan rukun, tapi acuh tak acuh. Kita bukan saling menghormati, melainkan saling tak peduli, bahkan tak ingin saling menyapa. Dan di balik semua itu, kita sebenarnya masih percaya bahwa umat yang lain agama adalah “sekumpulan orang yang sesat dan jahat.”
Ramadhan Mengajak Kita Merenung…..
Pola berpikir bahwa agama-agama mesti saling berhadap-hadapan dan berperang, sejatinya merupakan benih subur bagi tumbuh berkembangnya kekerasan dan teror. Sekaligus merupakan bahan untuk menuduh bahwa agama adalah sumber kekerasan. Dan jika pola berpikir seperti itu masih menjadi arus utama dalam kehidupan keagamaan kita, maka teror bom seperti di Bali – bahkan yang lebih besar dari itu – yang kemudian dikaitkan dengan agama tertentu, besar kemungkinan akan terulang kembali.
Mengingat itu semua, ada baiknya kita menjadikan bulan Ramadhan untuk merenungkan kembali cara beragama kita selama ini.
Telah menjadi keyakinan kita bahwa ibadah puasa, merupakan sebuah kewajiban yang dibebankan kepada umat Islam maupun kepada umat-umat sebelumnya. Itu yang dinyatakan dalam Surat Al Baqarah 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” Puasa, sesungguhnya telah menjadi tradisi agama-agama sebelum Islam (dalam pengertian sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW). Dan hakikatnya, ia merupakan jalan menuju pada ketaqwaan, menuju pada ketundukan terhadap kebenaran Ilahi.
Lewat berpuasa, kita dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu, baik nafsu amarah maupun syahwat. Itu artinya, kita tengah dididik untuk bisa menjadi orang yang sanggup mengalahkan egoisme, menghilangkan kebencian (pada sesama manusia), juga berlaku simpatik dan penuh solidaritas kepada mereka yang teraniaya. Puasa seseorang menjadi benar-benar bermakna ketika setelah berpuasa, ia beranjak dari sifat suka berbuat zalim, berat sebelah, dan cenderung untuk memojokkan orang lain. Lebih jauh, pada hakikatnya puasa membimbing kita menjadi makhluk-makhluk yang penuh welas asih kepada siapapun, berlaku adil, dan selalu mementingkan kemaslahatan bersama. Puasa juga memandu kita untuk rendah hati, dan banyak berhajat kepada Tuhan Yang Maha Agung. Sejatinya, inilah inti-inti ajaran yang disampaikan para nabi, semenjak Nabi Adam, Nuh, Musa, Isa hingga Muhammad.
Terakhir, ada baiknya kita menyimak ungkapan dari Joppy A. Saerang, seorang rohaniawan yang cukup aktif mempromosikan hubungan antar umat beragama yang harmonis di Kota Cirebon, bahwa terorisme dan agama adalah dua hal yang berbeda. Terorisme jelas bertentangan dengan esensi agama, bahkan ia adalah musuh agama. Sementara agama menawarkan kesejukan, terorisme justru mematikan nilai-nilai kemanusiaan. Dan terorisme tak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, terlebih karena ia bisa dilakukan oleh siapa saja dan oleh kelompok mana saja. Wallahu a’lam bishshowwab. [Setyo Hajar Dewantoro]
(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. I ed. 13 – tanggal 08 Nopember 2002)