“Tidak apa-apa, tapi buku-buku itu memberikan ruh. Jadi memang buku-buku ini memberikan rangsangan saja. Kalau memang relevan tidak apa-apa. Catatannya adalah apakah Yusuf Qordhowi menggunakan ilmu social atau tidak? Buku ini memberikan referensi bahwa ini sudah ada orang lain yang memakai.”
Kalimat tersebut diungkapkan Mahrus el-Mawa, salah satu fasilitator SC PAR 2012, ketika menjawab pertanyaan sekaligus tawaran peserta tentang pentingnya referensi yang seimbang. Buku Yusuf Qordhowi adalah salah satu tawarannya. Sepertinya memang sepele, antara memilih buku apa yang kita suka dan apa yang kita butuhkan. Ya, di tengah mendiskusikan empat buku yang berbeda, tanpa sadar pemilihan buku mana yang tepat atau tidak, tiba-tiba mengemuka dalam book review kali ini. Book review merupakan salah satu kegiatan dalam SC PAR atau bisa dikatakan salah satu rutinitas khas dari SC PAR yang sebenarnya. Tidak setiap hari memang, hanya minggu-minggu tertentu. Termasuk untuk membuka minggu ketiga SC PAR, tepatnya Senin pagi, 17/8/12, peserta mendiskusikan beberapa buku sebelum kembali ke lapangan pada siang harinya. Yang pasti, referensi antara Timur dan Barat akan menjadi bahan perbandingan yang tidak sekadar menarik, namun juga saling melengkapi.
Arkoun dalam Membongkar Wacana Hegemonik
Pagi itu, meski pagi Cigugur sepertinya tak pernah hangat, namun mendiskusikan sebuah buku lama maupun baru akan selalu hangat. Apalagi jika dikontekskan sesuai dengan kebutuhan isi kepala reviewer. Ya, saat ini reviewer di tengah SC PAR, maka meskipun bukan sesuatu yang wajib, namun mengkontekskan apa yang dibaca dengan kebutuhan PAR adalah hal yang tak terelakkan.
Buku hasil pemikiran pemikiran Mohammad Arkoun yang berjudul “Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme” menjadi pembuka dalam diskusi tersebut. Isi buku ini dipaparkan oleh Kelompok II (Helfi, Giy, Ahmad, Iwan, dan Yayat). Helfi, salah satu presentator kelompok ini, memulainya dengan biografi Muhammad Arkoun, kegelisahan akademiknya, hingga pemikiran Arkoun dalam membongkar wacana hegemonic. Buku ini, papar Helfi, mengajak umat Islam untuk tidak meyakini kebenaran agamanya sendiri: “Di mana umat beragama tidak jarang terjebak sikap yang sangat kaku dalam meyakini kebenaran agamanya sendiri, yang dengan sendirinya menganggap tradisi lain sebagai ”jalan sesat”.
Muhammed Arkoun, lanjutnya, mempertanyakan menghilangnya dimensi “tarikhiyyat” (historisitas) dari keilmuan fikih dan Kalam. Ia dengan tegas mempertanyakan keabsahan pengekalan teori-teori Kalam, fikih dan sudah barang tentu tasawwuf yang disusun beberapa puluh abad yang lalu untuk diajarkan terus-menerus pada era sekarang setelah permasalahan dan tantangan jaman terus-menerus berubah tidak lagi seperti sediakala. Saya kutip penggalan pendapat Arkoun sebagai berikut:
Untuk memecahkan persoalan ini, Arkoun berusaha membongkar wacana hegemonik dengan menggunakan empat pendekatan: Sejarah, Antropologi, sosiologi dan bahasa (linguistik). Pada ujungnya, Arkoun melakukan kritik epistimologis, bahwa apa yang dilakukan sekarang sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Rusyid 800 tahun silam, dengan memberikan contoh bagaimana menelaah ulang khazanah intelektual Islam klasik, kontemporer lewat teori-teori ilmu sosial yang berkembang pada era post-positivis.
Guba dalam “The Paradigm Dialog”
Setelah dari Arkoun, selanjutnya menelusuri pemikiran Guba yang dipresentasikan Inayah dari Kelompok III bersama Fuad, Agus, dan Muis. Guba, atau dalam bibliografi tertulis “Guba. Egon G (Editor)”, dalam pemikirannya menawarkan kepada pembaca tentang perbandingan antara paradigma yang berkembang dalam dunia riset, yaitu paradigma positivistik dengan tiga paradigma lainnya; pospositivistik, teori kritis dan konstruktivistik.
Dialog tentang keempat paradigma tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi mana paradigma yang akhirnya nanti keluar sebagai pemenang. Pilihan diberikan kepada pembaca untuk memilih paradigma yang paling cocok untuk diterapkan. Lebih lanjut, Inayah membahas mulai dari dialog tentang paradigma alternatif, kebutuhan akan dialog, hingga dialog tentang paradigma alternatif. Lalu apa relevansinya dengan pembelajaran PAR? “Membuat kita sadar bahwa pilihan paradigma sangat penting dalam penelitian. Serta PAR sama ilmiahnya dengan metode yang lain.” Demikian Inayah menjawab beberapa hal terkait relevansi dari The Paradigm Dialog dengan pembelajaran PAR.
Pengakuan Hak atas SDA dalam “Geografi Lingkungan Politik”
“Siapakah yang sebenarnya paling berhak atas sumberdaya alam di suatu wilayah?” demikian kelompok berikutnya, kelompok V, dalam membuka presentasinya dari sebuah buku karya seorang Profesor asal Amsterdam Belanda yang diterjemahkan kembali oleh Roem. Kelompok ini memaparkan bidang kajian baru sebagai kajian akademik yang menyentuh aspek politik (salah satunya tentang siapa yang berkuasa atas lingkungan) dan aspek geografi (ruang pengertian baru, environment and humanized environment).
Dengan rasionalitas tersebut, maka ilmu geografi atau ilmu politik, pun ilmu lingkungan yang sudah berkembang dipandang belum cukup untuk mengaji dinamika interaksi manusia-lingkungan. Inilah epistemologi bidang kajian Geografi Lingkungan Politik, sekaligus menjadi differensiasi dan spesifikasi keilmuan. Menurut kelompok ini, Roem dengan tepat mencontohkan aksiologi bidang kajian baru tersebut dengan memberi lampiran kasus pemetaan sebagai alat pengorganisasian rakyat di Maluku. Roem menggunakan ilmu geografi (pemetaan) untuk memetakan wilayah adat, ilmu politik untuk menjelaskan hak pemilikan dan dinamika penguasaan lahan di Maluku dan dengan ilmu lingkugan berhasil menemukan interaksi beberapa aspek lingkungan murni (ext: bentang alam) dan humanized environment (ext: perkebunan) dengan politik dan kemanusiaan.
Linda Smith dalam “Dekolonisasi Metodologi”
Buku Dekolonisasi Metodologi yang ditulis Linda Smith ini dipresentasikan oleh Kelompok IV yang terdiri dari Laila, Nurjannah, Mansur, Dony, dan Nanang. Buku Dekolonisasi Metodologi sendiri merupakan perlawanan paling berterus terang terhadap hegemoni pendekatan Barat dalam produksi pengetahuan. Buku ini bercerita penelitian pribumi, yakni penelitian yang menempatkan pribumi sebagai subyek yang aktif bersuara, bukan objek pengamatan yang pasif.
Dikatakan pasif karena pendekatan penelitian yang selama ini lebih banyak ditawarkan Barat, selalu bertolak dari paradigma positivistik; yang bertolak dari asumsi bahwa peristiwa-peristiwa alam berlangsung secara mekanis (sesuai dengan ketentuan baku yang sudah ada) dan atomistik (layaknya seperti atom yang proses perubahannya di dasarkan pada hubungan sebab akibat). Penelitian selama ini di lakukan dengan ukuran-ukuran objektivitas yang dirumuskan dengan menggunakan kerangka berpikir Barat. Sebuah kebenaran dinilai sebagai produk gaya berpikir tertentu, dengan metodologi berpikir tertentu yang semua itu dirumuskan dengan kategori-kategori yang Barat sentris.
Linda Smith, dalam buku ini menawarkan pendekatan yang sama sekali berbeda dengan dilakukan peneliti-peneliti Barat. Linda menawarkan pendekatan yang bertolak dari pentingnya pribumi bersuara atas nama diri mereka sendiri. Bukan diwakili orang luar yang menggunakan kerangka-kerangka ilmiah untuk mengaku kebenaran terkait apa yang disampaikan.
Linda melakukan penelitian terhadap komunitas suku asli (Indigenous Peoples) di sebuah perkampungan di Maori-New Zealand (Selandia Baru). Bagi Linda, penelitian semestinya sebuah proses yang memberi ruang kepada subyek penelitian untuk bersuara atas nama diri mereka sendiri. Penelitian seharusnya menjadi alat yang diberikan seorang peneliti kepada subyek yang menjadi perhatian dalam penelitiannya, untuk bersuara.
Di sinilah, Linda berusaha melawan keras kerangka berpikir Barat tentang apa yang disebut sebagai ilmiah. Menurut kerangka berpikir Barat, sesuatu pengetahuan dikategorikan sebagai ilmiah ketika sudah melewati sebuah proses penyimpulan tertentu yang kriteria-kriterianya sudah ditetapkan para ilmuwan dari Barat.
Tapi menariknya, bagi Linda, Barat tetaplah Barat. Para ilmuwan Barat tidak akan pernah berbicara untuk sesuatu yang di luar kepentingan diri mereka. Metodologi penelitian, dalam pandangan Linda merupakan bagian dari kerangka para ilmuwan Barat untuk melakukan normalisasi dan seleksi untuk menerima atau menolak sebuah kerangka berpikir tertentu. Karena itu, kalau penelitian-penelitian tentang pribumi dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan keilmuan yang selama ini ditawarkan Barat, ia tidak lebih sekedar menjadi perpanjangan tangan Barat dalam melakukan kolonisasi terhadap masyarakat pribumi.
Tawaran Linda tentang Dekolonisasi Metodologi merupakan sesuatu yang menarik dicermati. Perspektif yang ditawarkan Linda Smith mengingatkan kita tentang perlunya untuk membebaskan diri tersandera kategori-kategori keilmiahan yang dirumuskan Barat. Sebaliknya, kata Linda Smith, seorang peneliti pribumi harus menempatkan penelitiannya sebagai bagian dari kegiatan advokasi terhadap hak-hak pribumi. Untuk mencapai tujuan ini, maka kerangka berpikir Barat dalam soal metodologi pencarian kebenaran sudah saatnya diacuhkan.
Pendekatan penelitian yang ditawarkan Linda sangat berguna untuk kegiatan penelitian yang diorientasikan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dengan pemberdayaan, masyarakat dapat memperkuat kearifan lokal komunitas kawasan pedesaan sesuai karakteristiknya masing-masing.
Asghar Ali Engineer tentang “Islam dan Teologi Pembebasan”
Kelompok terakhir yang mempresentasikan hasil review-nya adalah keolompok I. Kelompok ini membahas tentang salah satu buku yang ditulis oleh Asghar Ali Engineer yang berjudul “Islam dan Teologi Pembebasan”. Dalam pembahasannya, bahwa memahami Islam bisa dilihat dari secara tekstualitas dan kontekstualitas, sekelompok umat yang hanya melihat Islam dari tekstualitas cenderung memaknai ajaran Islam pada simbol-simbol atau ritual-ritual keagamaan. Sehingga hanya akan melahirkan kesalehan pribadi yang tidak bermakna. Padahal Islam sarat dengan ajaran sosial. Orang yang rajin dalam ibadah ritualnya (shalat) dalam Islam bisa dikategorikan mendustakan dan lalai terhadap agama, tatkala membiarkan sekelompok manusia dalam kemiskinan (Q.S. Al-Maa’un : 1 – 7).
Teologi Islam memandang bahwa manusia setara dimata Tuhan, tidak boleh ada orang yang mendominasi dan status quo. Kata “Allahu Akbar” bukan hanya semata doktrin teoligis tentang supremasi Tuhan, tetapi juga prinsip Revolusioner bahwa tidak ada seorang manusia pun yang berhak mengklaim dirinya paling superior (menguasai manusia lainnya) diantara sesamanya .
Titik kritis Islam dimulai dari pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah, yang sesungguhnya amir/malik), karena saat itu prinsip-prinsip Islam seperti diruntuhkan kembali. Praktek perbudakan, kekuasaan monarki, perempuan diperlakukan secara tidak manusiawi. Praktek jahiliyah itu diberlakukan kembali. Agama didesain untuk membenarkan praktek-praktek yang dilakukan mereka. Dan sesungguhnya sistem kekuasaan yang berlaku bukanlah khilafat melainkan mulukiyat (monarki). Maka munculah orang-orang mustakbirin (orang yang kuat dan sombong).
Perlawanan Mustad’afin tidak akan pernah berakhir, selama penindasan itu masih ada. Kehidupan manusia bukanlah semata takdir, tetapi sesuatu yang didesign oleh dirinya sendiri. Ibn Arabi percaya pada konsep pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya. Dia mengatakan bahwa Allah mempunyai pengetahuan yang maha luas, namun tidak berarti pengetahuan-Nya membatasi peerbuatan manusia. Allah hanya bersifat mengetahui tidak menakdirkan Al-Qur’an spirit untuk meningkatkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan dan mengakhiri penindasan serta eksploitasi. Mengikuti sunnah berarti menggali makna dan menangkap semangatnya dalam rangka menyelesaiakan persoalan-persoalan kehidupan yang ruwet dan kompleks sesuai dengan kemampuannya
Menurut kelompok satu, Asghar Ali mengemukakan kritik dan gagasan tidak bisa dilepaskan dari basisnya sebagai seorang Syiah. Maka kritiknya terhadap Umar dan Usman (contohnya hal 139) menjadi hal yang juga harus dikritisi. Teologi Islam Syiah, menempatkan jihad sebagai prinsip (rukun iman) dalam ajarannya. Jihad dimaknai sebagai prinsip revolusioner yang senantiasa relevan dalam konteks kekinian. Selama status quo hadir dimuka bumi ini, perlawanan kaum mustad’afin akan senantiasa ada. (alimah)