Selasa, 5 November 2024

Santri Milenial dan Tantangannya

Oleh: Hilyatul Aulia

Baca Juga

Dibutuhkan ‘walisongo’ baru yang dapat mengkreasikan dakwah Islam dengan media tradisi dan budaya milenial yang berlaku pada masa kini.

Dalam sebuah Talk Show pada rangkaian acara International Islamic Education Expo di Tangerang pada Kamis (23/11/2017) lalu. Ulil Abshar Abdalla menyampaikan pandangannya tentang santri di era milenial, yakni gerakan santri dalam menghadapi modernasi yang semakin pesat. Menurutnya, wacana santri adalah wacana keislaman yang di dalamnya mencakup wawasan ke-Indonesiaan dan ke-Nusantaraan dengan ciri-ciri moderasi (wasathiyah), hidup dalam kerangka NKRI yang tidak mempertentangkan antara identitas keislaman dengan identitas kewarganegaraan (identity and citizenship) dan tidak mempertentangkan identitas keislaman dengan kulur setempat.

Prinsip wasathiyah (berada di jalan tengah) merupakan sebuah sikap yang harus ada pada diri kaum santri. Artinya santri tidak harus mempermaslahkan perbedaan sosial dan budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Istilah santri pun bermacam-macam jika dilihat dari latar belakang sosial dan budayanya. Istilah santri mencakup kelas sosial yang cukup banyak, sehingga menyebabkan kayanya perbedaan dalam kultur dan budayanya. Santri yang moderat harus mengedapankan rasa toleransi dalam menghadapi setiap perbedaan sosial dan budaya.

Santri adalah bagian dari NKRI. Kemerdekaan bangsa ini tidak lepas dari jasa kaum sarungan. Hal ini menjadi bukti bahwa penegakkan kedaulatan tanah air merupakan kewajiaban setiap warga negara termasuk santri. Seperti yang telah difatwakan oleh Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari bahwa cinta tanah air merupakan salah satu dari perwujudan iman seorang mukmin. Maka dari itu santri tidak sepatutnya mempertentangkan identitas keislaman dan kewarganegaraan (mu’min wa muwathin).

Hal ini justru merupakan suatu kesinambungan dimana wacana kenegaraan merupakan bagian dari wacana keislaman dan dapat diwujudkan dengan partisipasi dalam usaha penegakkan kedaulatan rakyat dan tanah air. Karena ada juga model keislaman yang mempertentangkan hal ini, dimana identitas kenegaraan bukanlah bagian dari wacana keislaman, namun penyebab kericuhan karena banyaknya prinsip kenegaraan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga ketika yang dikedepankan adalah prinsip keislaman, negara dengan sendirinya akan runtuh, dan ketika yang dikedepankan adalah prinsip kenegaraan, prinsip keislaman akan terkikis oleh pemerintah yang mepunyai otoritas tertinggi.

Namun dengan mengedepankan wacana kenegaraan yang didasari prinsip keislaman Nusantara yang dianut oleh para santri dan kesadaraan perdamaian oleh seluruh lapisan masyarakat. Maka hasilnya seperti yang kita rasakan saat ini, bumi Nusantara damai tentram dengan prinsip kebhinekaan meski di dalamnya terdapat beragam budaya dan adat istiadat.

Dalam poin terakhir, yaitu ciri-ciri santri yang tidak mempertentangkan keislaman dengan kultur setempat, Gus Ulil memberikan ulasan yang begitu menarik. Beliau menjadikan sarung sebagai contoh. Beliau menyebutkan bahwa sarung merupakan sebuah modifikasi kultur timur tengah ke dalam konteks Nusantara. Jika di Timur tengah ada Jubah yang dijadikan pakaian yang amat mencerminkan keislaman, maka di Nusantara salah satu pakaian yang mencerminkan keislaman adalah sarung.

Namun sarung bukan berasal dari ajaran Islam, melainkan pakaian yang menjadi budaya masyarakat Asia Tenggara sejak sebelum Islam datang. Sarung merupakan identitas penting yang bermakna bahwa Islam dan budaya lokal tidaklah bertentangan, melaikan dapat saling berkoeksistensi. Semangat sarung merupakan simbol kesediaan Islam untuk bertetangga dengan kebudayaan setempat. Dari sini dapat difahami bahwa kebudayaan merupakan wadah untuk menyebarkan pesan keislaman, dan ini merupakan pernyataan yang tidak dapat terbantahkan.

Wacana santri seperti inilah yang paling layak untuk dibawa ke dalam ranah sosial milenial karena di dalamnya terdapat wacana Islam khas Nusantara yang dapat menggabungkan antara prinsip kebangsaan dan keagamaan, sehingga menjadi Islam yang paling sah untuk dimiliki oleh bumi Nusantara. Wacana ini menjadi hal yang ‘wajib’ di kalangan para santri.

Namun, untuk masuk ke ranah sosial milenial tentu harus melalui budaya yang berlaku di dalamnya. Budaya itu berupa media sosial yang dapat menyalurkan informasi dengan serba cepat dan mudah diakses. Dengan mengangkat wacana santri dalam media sosial milenial, wacana ini akan mudah dan cepat diakses oleh masyarakat. Dengan menjadikan wacana santri Nusantara sebagai wacana nasional akan menunjukkan bahwa santri pun mampu mengikuti kemajuan teknologi yang seiring dengan perkembangan zaman.

            Isi ruang sosial milenial saat ini didominasi dua hal, yaitu kebudayaan hedonistik yang tidak ada kaitannya dengan agama berupa film, musik, buku, kartun dan sebagainya. Kedua, bentuk keagamaan radikal, yang terkadang mempertentangkan prinsip keagamaan dan kenegaraan.

Wacana santri dan Islam Nusantara dapat menjadi alternatif selanjutnya untuk mengisi ruang sosial milenial. Saatnya wacana santri masuk ke wilayah modern sehingga akan memperkaya percakapan sosial. Karena itu dibutuhkan ‘walisongo’ baru yang dapat mengkreasikan dakwah Islam dengan media tradisi dan budaya milenial yang berlaku pada masa kini.

Tidak hanya cukup berkecimpung dalam ranah sosial milenial saja, selanjutnya santri harus bisa mengembangkan wacana Islam secara serius kearah yang lebih luas dengan menyumbangkan karya intelektual yang dapat dibaca oleh dunia dengan tanpa meninggalkan tradisi islam Nusantara.

 

Penulis adalah Mahasantri Ma`had Ali Kebon Jambu Al Islamy babakan Ciwaringin Kab. Cirebon

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sekolah Agama dan Kepercayaan Bahas Jejak Sejarah dan Ajaran Hindu di Indonesia

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute — Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) Bagi Orang Muda bahas jejak sejarah dan ajaran...

Populer

Artikel Lainnya