Seabad lebih kemudian, potret perempuan yang ia perjuangkan sekarang menggambarkan angka kematian ibu melahirkan – penyebab kartini meninggal di usia muda, pada umur 25 – masih tinggi: 307 kasus untuk setiap 100 ribu kelahiran, tergolong yang tertinggi di Asia. Namun di sisi lain kesempatan mengenyam pendidikan, perempuan sudah tidak tertinggal. Perjuangan untuk meningkatkan harkat perempuan kemudian beralih ke ranah publik, karena disini ternyata Indonesia masih maskulin.
Perjuangan Perempuan Saat ini
Kondisi saat ini mengalami banyak perubahan mendasar baik secara hukum maupun politik. Konstitusi kita mencantumkan larangan diskriminasi atas dasar apapun dan hak atas kebijakan afirmasi untuk mengakselerasi ketertinggalan perempuan dan kelompok-kelompok rentan dan marginal lainnya dalam berbagai bidang. Hal ini tertuang dalam UU No. 7 tahun 1989 yang merupakan ratifikasi dari CEDAW (Convention on the Elimination all of Discrimination Against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Aturan ini menjadi dasar yang kuat bagi kemajuan gerakan perempuan.
Sebagai salah satu pelaksanaan UU Pemilu tahun 2003 juga telah menampung upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Ini perjuangan panjang sejak diagendakan oleh Kongres Perkumpulan Perempuan Indonesia di Bandung pada 1936. Akhirnya, perempuan Indonesia tampil lebih jadi pemimpin. Meski demikian, jumlah perempuan di DPR hanya 11, 3% dan di DPD 21,09%. Sementara perempuan yang berhasil menduduki jabatan sebagai Kepala Daerah (Bupati/Walikota/Gubernur) 2,02% (sumber: LSI, CETRO). Sebenarnya bukan soal jumlahnya, tapi juga pengaruhnya yang masih kecil dalam menciptakan kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Maka tak berlebihan jika Nursjahbani Katjasungkana, aktivis yang juga anggota DPR RI, berharap datangnya dunia yang lebih ramah terhadap perempuan. ”andai ada lebih banyak perempuan di parlemen, di bidang hukum, dan di semua sektor pengambilan keputusan, tentu dunia kita akan lebih baik,” katanya.
Kaum perempuan yang beruntung di negeri ini, terutama yang duduk dalam lembaga pengambil keputusan, mungkin perlu menyimak lagi tulisan Kartini pada 4 September 1901: ”Memikirkan kepentingan diri sendiri selalu saya pandang sebagai kejahatan yang paling jahat dan yang sangat jijik”. Setahun sebelumnya bahkan Kartini sudah menulis: ”Perlawanan itu menyenangkan, sebab memacu ketabahan, pengingkaran bagus sekali sebab menumbuhkan pengakuan dalam hidup. Penolakan memberi kesukaan, sebab menumbuhkan harga diri…..”.
Terlepas pro dan kontra terhadap kebijakannya, Megawati tercatat dalam sejarah sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia. Adapula Sri Mulyani, Marie Pangestu dan Meutia Hatta yang duduk di kabinet Indonesia bersatu. Di dunia militer ada Laksamana pertama Kristina Rantatena, perempuan dengan pangkat tertinggi di TNI AL. Di bidang diplomasi, ada rising star bernama Retno Marsudi. Dia seorang diplomat karir yang menjadi duta besar perempuan termuda yang kinerjanya mendapat banyak pujian dan penghargaan. Ada pula perempuan-perempuan biasa yang melakukan tindakan luar biasa, sebut saja para tenaga kerja wanita. Dengan tekad baja mereka terbang ke Hongkong, Taiwan, Malaysia dan Timur Tengah mengadu nasib mencari uang untuk diri dan keluarganya. Mereka menciptakan lapangan kerja sendiri, menyumbang devisa bagi negara, mengurangi urbanisasi dan mencegah ledakan sosial yang lebih besar.
Namun sayangnya kita masih memandang sebelah mata keluarbiasaan mereka. Padahal masih utuhnya Indonesia saat ini mungkin sebagian berkat jasa mereka. Belum lengkap kalau belum menyebut Ponirah, seorang tukang becak perempuan di Yogyakarta, atau Suyantji, yang mencari nafkah sebagai sopir bus malam. Begitu pula Dati yang cuma menjadi buruh gendong di Solo. Diskriminasi terhadap perempuan selama ini – dengan alasan budaya atau dibungkus agama – nyatanya tidak bisa menghalangi kehadiran mereka.
Alangkah naif apabila soal kesetaraan gender masih banyak dilihat sebagai masalah perempuan saja. Padahal prinsip dari kesetaraan gender adalah, (a) ini bukan ”pertempuran” antara laki-laki dan perempuan; (b) ini bukan masalah anti perempuan; (c) yang dirugikan dari ketidaksetaraan gender adalah laki-laki dan perempuan, meski perempuan tampaknya yang lebih menderita; dan (d) tidak bisa tidak, laki-laki dan perempuan harus bersama-sama menyelesaikan persoalan bangsa ini. Keduanya bekerjasama saja tidak ada jaminan bahwa masalah bangsa yang sudah kronis ini bisa terselesaikan. Maka amat mengherankan bila saat ini ada kelompok masyarakat yang masih melakukan diskriminasi gender dengan alasan budaya, kodrat, agama dan sejenisnya.
Menurut pandangan KH. Husein Muhammad (Anggota Komnas Perempuan) bahwa pemahaman ”agama” terhadap perempuan masih sangat bias, masih menomor duakan, serta memarginalkan. Agama disini dimanifestasikan dalam penafsiran terhadap teks; bayak orang menganggap bahwa teks itu sama dengan agama, yang memiliki sakralitas dan keabadian. Beliau memilih untuk menganalisa agama dan perempuan karena dia punya keyakinan bahwa agama tidak mungkin melakukan penindasan, marginalisasi dan kekerasan terhadap siapapun termasuk perempuan. Ketika orang mengatakan bahwa teks agama menerangkan terjadinya penindasan maka berarti orang tersebut sudah melakukan justifikasi bahwa agama yang melakukan kekerasan terhadap perempuan. Jadi jelas bahwa agama tidak bisa dijadikan tameng untuk mendiskriminasikan perempuan. Karena memang sesungguhnya dalam agama terdapat ajaran-ajaran yang mewartakan makna kesetaraan, keadilan, dan demokrasi untuk semua manusia tanpa pretensi bias gender. Sebut saja ajaran Islam yang mengharuskan semua umat Islam untuk berbuat adil (’adalah), memandang kedudukan antara laki-laki dan perempuan sejajar (musawah), memperlakukan istri dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf), selalu mengutamakan musyawarah apabila terjadi persoalan (syura), dan sebagainya.
Ziba Mir Hosseini (feminis asal Iran) mengatakan bahwa; perjuangan perempuan ada di tiga level strategis. Pertama, di level perdebatan teologis. Di samping ada keberhasilannya, pada saat yang bersamaan akan menghadapi kaum fundamentalisme. Selama ini yang punya teologi adalah laki-laki, mereka punya seabreg teologi maka akan muncul teologi baru, teologi perempuan. Kedua, level politik. Ketika banyak aktivis perempuan memperjuangkan isu perempuan melalui politik. Kelemahannya isu perempuan seringkali tidak menarik bagi para politisi. Isu perempuan bisa dilibas oleh isu lain. Ketiga, level pengalaman perempuan. Bagaimana perempuan mengungkapkan pengalamannya. Level ketiga ini lebih menarik untuk dilanjutkan, diteruskan, dan diperjuangkan. Dengan mengemukakan pengalaman perempuan maka akan memudahkan para pengambil kebijakan dalam melihat kebutuhan perempuan.
Pengalaman perempuan adalah sebuah istilah kunci yang memperlihatkan bagaimana perempuan yang hidup pada masyarakat berbudaya patriarkal, dikondisikan untuk selalu terbiasa mendahulukan saudara, kakak atau adik laki-lakinya dibandingkan dirinya sendiri. Mereka pun selalu diminta mengayomi dan berkorban untuk keluarga. Namun dengan ‘pengalaman perempuan’ ini juga mereka menampilkan diri dalam dunia publik secara berbeda. Mereka lebih memperhatikan masalah-masalah yang nyata dan dekat dalam hidup seperti pendidikan, kesehatan ibu dan anak, dan persoalan sosial lainnya. Buat mereka hal-hal itu jauh lebih penting ketimbang masalah anti-terorisme, perang melawan separatis dan isu-isu panas lainnya. Bahkan dalam memaknai kebijakan politik dan ekonomi pun mereka seringkali menggunakan “wajah feminin”. Disana rasa kebersamaan, solidaritas dan kerjasama lebih menonjol ketimbang afiliasi karir; partai maupun ideologi politik.
Mari kita akui saja “politik dengan wajah maskulin” yang berciri arena pertempuran seperti kalah – menang, We-They, dan kuat-lemah, sudah gagal dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. “Women can’t lead without men, but men have to this day considered themselves capable of leading without women. Women would always take men into consideration. That’s the difference”, begitu kata Vigdis (mantan presiden Islandia). Selamat hari kartini! []