Keberadaan Fahmina berawal dari pergumulan intelektual anak-anak muda yang berakar dari dunia pesantren. Ada semacam kegundahan terhadap etos sosial dan intelektual yang tidak lagi diperankan pesantren, karena penetrasi politik yang sangat dalam dan lama. Padahal, pada pendirian awalnya pesantren secara sengaja didesain untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat, sekaligus melakukan pendidikan dan pengembangan intelektual untuk kepentingan rakyat.
Pada tahun 1998, kelompok anak-anak muda yang tergabung dalam Klub Kajian Bildung dan Lakpesdam Kabupaten Cirebon melakukan serangkaian diskusi keliling ke berbagai pesantren, dengan mengusung kajian kontekstualisasi kitab kuning. Diskusi ini memperoleh tangapan yang luar biasa dari berbagai aktivis muda pesantren, dan dukungan dari beberapa kyai sepuh seperti KH Syarief Usman Yahya Kempek dan KH Fuad Hasyim Buntet.
Pergumulan ini juga memunculkan serangkaian aktivitas sosial kalangan muda pesantren, untuk melakukan pembelaan terhadap orang-orang marjinal; dengan mendiskusikan isu-isu kerakyatan, hak-hak warga, sampai pembelaan di tingkat pewacanaan publik. Pembentukan JILLI (Jaringan informasi untuk layanan lektur Islam) Cirebon, juga berangkat dari kegelisahan dan pergumulan di atas. Jaringan ini mencoba melakukan pendataan terhadap seluruh literatur yang ada di pesantren-pesantren, pengemasan dalam bentuk software dan pelayanan informasi-informasi yang dibutuhkan pesantren.
Baik Bildung Cirebon, JILLLI, maupun forum-forum lain yang digagas santri paska pesantren, masih bersifat sederhana dan tidak ada ikatan kesinambungan untuk kegiatan intelektual maupun program pemberdayaan yang dilakukan. Seringkali isu-isu yang dikembangkan menjadi pecah dan tidak terarah, karena tidak ada koordinasi kelembagaan yang memadai. Pergumulan anak-anak muda itu, baik yang intelektual maupun yang sosial meniscayakan adanya kelembagaan yang lebih mampu mengkoordinasi cita-cita yang diusung.
Atas dasar ini, beberapa pendiri dan pengampu forum-forum itu kemudian mendirikan lembaga Fahmina. Tepatnya pada bulan Nopember 1999, Fahmina didirikan KH Husein Muhammad, Affandi Mukhtar, Marzuki Wahid dan Faqihuddin Abdul Kodir, dengan basis rumah kediaman KH Husein Muhammad di Pondok Pesantren Dar al-Tauhid. Kemudian, sebagai lembaga yang disosialisasikan ke publik, baru dilakukan pada bulan Pebruari tahun 2001, dengan berkedudukan di Jl. Pangeran Drajat 15, Kota Cirebon. Secara kelembagaan, fahmina didirikan sebagai institusi yang independen, tidak menjadi cabang dari lembaga atau kekuatan yang lain, non-pemerintah, tidak partisan dan terbuka keanggotaan komunitas yang lintas etnis, gender, golongan dan agama.
Mewadahi Santri Paska Pesantren
Pada awalnya, fahmina dimaksudkan untuk mewadahi kaum muda paska pesantren yang masih memiliki gairah keilmuan di wilayah Cirebon. Melibatkan mereka dalam kajian kitab secara lebih mendalam; dengan mengetahui latar belakang sosial, politik dan ekonomi kapan dan dimana suatu kitab –yang mu’tabar di pesantren- itu muncul dan ditulis. Seperti kitab matan at-Taqrib Imam Abu Syuja’ (434-488H/1042-1091 M), kitab al-Muhadzab Imam as-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M), kitab al-Munqidz min adh-Dhalal Imam al-Ghazali (w. 555H/1111M) dan Syarh ‘Uqud al-Lujjayn Syekh Nawawi Banten (w.1314 H/1897 M).
Pelibatan ini mengantarkan para penggerak fahmina berjejaring dengan individu, lembaga dan komunitas yang sudah lebih dulu bekerja pada wacana dan gerakan sosial. Baik di wilayah Cirebon, seperti Gerbang Informasi dan Dewan Kesenian Cirebon, maupun di luar Cirebon seperti PP Lakpesdam NU, Rahima, LKIS dan Desantara. Kami bergumul dengan mereka, berdiskusi, berbagi, menerima dan memberi. Di Cirebon, kami mengajak lebih banyak lagi para alumni pesantren untuk berbagi dan memperkuat diri. Kami yakin, keislaman harus mewujud dalam tatanan keadilan sosial. Tetapi kami tetap rendah diri, dengan menyatakan: ini masih sebatas pemahaman kami, atau dalam bahasa Arab adalah fahmina.
Keyakinan ini, kami aktualisasikan dalam koran Cirebon, Radar dan Mitra Dialog, dan saat itu masih ada Media Pantura. Tetapi kami tidak merasa cukup, karena komunitas kami adalah pesantren, sementara koran tidak banyak yang mampir ke pesantren. Sejak tahun 2001, kami menerbitkan sendiri media kecil untuk komunitas terbatas, yaitu Warkah al-Basyar, hanya empat halaman, satu minggu sekali, dalam 400-1000 eksemplar untuk komunitas masjid, majlis ta’lim, pengajian di komunitas pesantren wilayah Cirebon. Kami menggugah kesadaran kolektif untuk melihat ketimpangan sosial yang ada di sekitar, akibat kepentingan politik, sosial dan ekonomi. Ada kekerasan yang menimpa perempuan, buruh migran, pedagang kecil dan kaki lima, nelayan, petani, kelompok minoritas dan mereka yang memiliki kemampuan berbeda. Al-Basyar sampai saat ini terus terbit, dan mencapai sebaran di wilayah III Cirebon, meliputi Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan, sebagai media antar komunitas untuk meneguhkan cita-cita keberpihakan pada mereka yang lemah, atau dilemahkan.
Melalui media ini, kami bertemu lebih banyak lagi dengan komunitas pesantren, majlis ta’lim, kelompok pengajian, dan kelompok-kelompok sosial lain di wilayah Cirebon; yang meliputi Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Para penulis di media ini, adalah para kyai dan nyai di Cirebon, ustadz dan santri senior, akademisi dan mahasiswa, serta para penggerak warga yang sehari-hari bergelut dengan masyarakat. Media al-Basyar ini menjadi inspirasi beberapa masjid dan kelompok pengajian untuk menerbitkan hal yang sama. Yang secara langsung difasilitasi fahmina, adalah Forum Komunikasi Khatib dan Imam Masjid Kabupaten Indramayu, Bulletin asy-Syaqiqah PSG STAIN Cirebon, Bulletin Bannati LSM Bannati Cirebon, Bulletin Tekai FKBMI Indramayu dan Bulletin Nalar PMII Cirebon.
Sepanjang aktivitas fahmina, kami terus mengupayakan untuk membuka wadah se-efektif mungkin sebagai pencarian intelektual dan artikulasi sosial bagi para santri paska pesantren, dengan bekerja sama dengan pihak pesantren, lembaga lokal dan nasional. Dalam setiap tahun, kami mengadakan pengajian Ramadhan, belajar bersama dua mingguan, pengajian perempuan pesantren, dawrah fiqh perempuan, dawrah fiqh demokrasi, halaqah kitab kuning dan mujalasah ulama di beberapa pesantren. Media pendidikan dan pengkajian tradisi ini dihadiri para kyai dan nyai muda, ustadz dan santri senior dari wilayah III Cirebon. Segala aktivitas ini diselenggarakan juga membuka seluas mungkin wadah aktualisasi santri paska pesantren, selain wilayah yang sudah terbuka untuk usaha, aktif di partai politik, menjadi pejabat negara atau PNS. Sudah tiga tahun, kami juga memfasilitasi pertemuan santri ‘muhajirin’ setiap awal bulan Syawal dari tahun Hijriah. Istilah santri muhajirin yang dimaksud adalah mereka orang-orang Cirebon alumni pesantren yang memilih hidup atau berada di luar Cirebon. Pertemuan silaturahim ini sebagai media berbagi pengalaman, informasi dan penguatan aktivitas intelektual dan sosial bagi santri paska pesantren.
Melalui berbagai wadah aktivitas ini, kami tetap mempromosikan tradisi intelektual pesantren untuk dibaca, dikaji dan digunakan sebagai inspirasi penegakan keadailan sosial. Kami menginspirasi, mendorong dan memfasilitasi agar momentum-momentem ritual dan tradisi pesantren, juga diisi dengan tradisi intelektual dan penguatan kesadaran kiprah sosial pesantren untuk keberpihakan pada mereka yang dilemahkan. Saat ini, masyarakat pesantren Cirebon menyaksikan acara-acara haul tidak lepas dari halaqah, kajian, dan pengkaderan. Seperti Haul di Buntet, Babakan dan terakhir di Arjawinangun, festival akhir sanah di al-Mizan Majalengka, beberapa acara di pesantren Bode Lor, pesantren Ulumuddin Susukan, di samping pesantren Khatulistiwa Kempek yang sudah lebih lama melakukan hal-hal yang seperti ini.
Termasuk acara ritual keorganisasian, terutama organisasi NU sebagai lembaga utama bagi kalangan pesantren. Di acara seperti musyawarah cabang, musyawarah ulama dan peringatan harlah, kami mendorong untuk dijadikan sebagai momentum kajian tradisi dan kepedulian sosial. Saat ini, di awal tahun 2008 ini, kekuatan para santri paska pesantren yang terhimpun dalam fahmina, lakpesdam, pesantren khatulistiwa, bersama dengan beberapa individu pesantren yang lain akan mengisi peringatan Harlah NU yang ke-82 dengan kegiatan-kegiatan; pengajian kitab, bedah buku, pelatihan kader NU, konferensi kaum muda NU untuk gerakan sosial, safari ulama untuk khittah, dan acara ritual seperti lomba marhabanan, qira’atul kitab dan tahlil akbar. Semua kami lakukan dengan gerakan dan partisipasi kekuatan masyarakat, tanpa ketergantungan dengan lembaga politik, pejabat pemerintah, atau lembaga donor.
Kami sedang mengupayakan untuk meluaskan wadah ini, tidak sekedar di tingkat wilayah III Cirebon, Jawa Barat dan nasional, seperti Situbondo Jawa Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, yang selama ini sudah terbangun, tetapi juga dengan komunitas muslim di tingkat regional; Malaysia, Singapura, Philipina dan Thaliand, juga internasional seperti Mesir, Syria, Pakistan dan Afghanistan. Sebagai lembaga aktualisasi intelektual pesantren, fahmina telah dikunjungi –sebagian melakukan kerjasama- oleh berbagai lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan perguruan tinggi; baik lokal seperti STAIN Cirebon, Unswagati, STAIC dan UMC, maupuan nasional seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, STAIN Purwokerto, STAIN Malikussaleh Lhokseumawe NAD, Lembaga Penilitian UI, Pusdakota Ubaya, Pusham Unair, maupun internasional seperti Ohio University, Daikin University, Sister in Islam Malaysia, Majlis Ulama Afghanistan, dan Nisa ul-Haqq fi Bangsa Moro Pilipina. Sebagai kelanjutan wadah paska pesantren, saat ini fahmina sedang memproses pendirian perguruan tinggi dengan nama ‘Institut Studi Islam Fahmina’ (ISIF). Pada bulan Juni 2008, perguruan tinggi ini sudah siap untuk membuka pendaftaran mahasiswa baru dengan rancangan kampus utama di Jl. Wahidin Cirebon atau di Jl. Mundu Cirebon.
Inilah cara kami melapangkan jalan bagi para alumni pesantren Cirebon untuk beraktifitas, baik intelektual dan sosial, tanpa harus terlepas dari kekayaan tradisi pesantren yang diwariskan. Menulis di media, menulis buku, membuat buletin, menerbitkan majalah, berceramah mengenai isu-isu sosial dan kekinian, mendampingi dan mengorganisasi masyarakat untuk memperoleh keadilan. Saat ini, dari komunitas pesantren yang berdomisili di Cirebon, telah terbit buku-buku karya KH. Husein Muhammad, KH Fuad Hasyim, KH Yahya Masduki, KH Syarif Usman Yahya, KH Maman Imanul Haq, Ny. Hj. Masriyah Amin, Ny. Hj. Afwah Mumtazah, Faqihuddin Abdul Kodir, Marzuki Wahid, Nuruzzaman, Baiquni, dan sejumlah tulisan lain baik artikel, makalah, khutbah, ceramah, atau gerakan sosial dan pengorganisasian masyarakat yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang dilakukan komunitas pesantren. Demikianlah cara kami membuat wadah dan inilah pemahaman kami. Fahmina.
Memperkuat Otonomi Komunitas
Pada proses mewujudkan keadilan dalam tatanan kehidupan sehari-hari, seringkali kelompok yang dominan akan memperoleh hak-haknya terlebih dahulu dibanding mereka yang dipinggirkan. Karena itu dalam pandangan kami, setiap komunitas harus memiliki kekuatan yang otonom agar mampu melakukan negoisasi untuk memperoleh keadilan hak-hak mereka. Kekuatan yang memungkinkan mereka mengenali persoalan yang dihadapi, menemukan cara untuk melepaskan diri dari persoalan, dan memperkuat kemampuan berorganisasi secara baik untuk kepentingan seluruh anggota komunitas. Dengan otonomi komunitas ini, diharapkan agar program-program pembangunan untuk rakyat dilakukan benar-benar untuk mereka; tidak sekedar sebagai rutinitas birokrasi, untuk menghabiskan anggaran, atau untuk memoles citra dan mendulang suara.
Pada tahun 2001, fahmina memfasilitasi pendirian woman crisis center berbasis komunitas pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun. Saat ini, dengan nama Mawar Balqis, wcc tersebut dengan dukungan berbagai pihak telah menjadi kekuatan komunitas yang cukup besar di wilayah Cirebon dalam mendampingi dan menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Laporan Balqis tahun 2007, sejak tahun 2001 telah menerima dan mendampingi 643 kasus kekerasan terhadap perempuan, 58 % darinya merupakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sepanjang tahun 2002, fahmina mengupayakan keberdayaan komunitas korban tragedi politik 65-66, paling tidak untuk memperoleh pengakuan dan pemaafan antar sesama, sebagai tonggak perjalanan kemanusiaan ke depan. Upaya ini membuka lebar pintu rekonsiliasi komunitas, sekalipun bagi banyak orang masih cukup sulit. Tetapi paling tidak, sudah pernah ada pertemuan antara mereka dengan tokoh NU dan kyai-kyai pesantren.
Karena sekretariat fahmina berada di Kota, persentuhan fahmina lebih banyak dengan komunitas marjinal masyarakat kota, terutama nelayan dan pebecak. Tetapi sepanjang 2001-2003 persentuhan kami lebih banyak untuk mengidentifikasi bersama persoalan-persoalan komunitas, pencarian solusi secara swadaya, dan sekali-dua kali pelatihan wira usaha, pendidikan komputer dan penyaluran bantuan yang bersifat karitatif.
Tahun 2003-2005, persinggungan dengan komunitas lebih banyak difokuskan pada pengorganisasian diri dan kemampuan bernegoisasi dalam memperoleh hak-hak komunitas di Kota Cirebon. Fahmina memfasilitasi penguatan komunitas LPM di setiap kelurahan Kota Cirebon, pedagang kaki lima, nelayan, pebecak, seniman jalanan, tukang ojek, buruh dan sebagian ibu-ibu rumah tangga. Penguatan komunitas ini dalam konteks pengembangan partisipasi warga terhadap pembangunan kota, sebagai wujud ‘pemerintahan yang baik’. Dari fasilitasi ini, yang relatif telah mampu mengorganisasikan diri dan bernegosiasi dengan institusi lain dengan baik adalah LPM, Forum PKL dan Paguyuban Seniman Harjamukti Cirebon (PSHC). Baik LPM maupun FPKL memiliki posisi yang signifikan dalam perumusan pembangunan kota dan memperoleh APBD yang lumayan. Untuk tahun 2006-2007, FPKL dipercaya mengelola dana 1 milyar rupiah oleh pemerintah kota dari anggaran pemerintah propinsi. Tetapi di akhir tahun, kepercayaan ini dicederai oleh tindakan beberapa orang pengurus koperasi Maju bareng yang bertindak tidak sesuai prosedur terkait pemanfaatan dan pengembalian dana. Saat ini seluruh anggota komunitas sepakat untuk tidak meneruskan program ini, sampai pengurus koperasi mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Ini dinamika organisasi yang menarik dan menantang bagi upaya penguatan komunitas.
Dengan intensitas yang relatif lebih kecil, fahmina juga melakukan upaya penguatan komunitas imam dan khatib Kabupaten Indramayu dalam hal identifikasi diri dan organisasi, komunitas pesantren, komunitas mahasiswa, komunitas sopir daerah Cirebon timur akibat maraknya penyimpangan trayek, komunitas Bannati Palimanan dalam hal penulisan, dan melakukan kerja sama dengan beberapa komunitas yang relatif lebih kuat; seperti Forum Warga Buruh Migran (FWBMI) Cirebon dan Forum Keluarga Buruh Migran (FKBMI) Indramayu. Penguatan komunitas ini ada yang berbasis profesi atau kelompok kepentingan, dan ada yang berbasis daerah, dengan tetap memerhatikan kelompok kepentingan orang-orang yang dimarjinalkan.
Saat ini, sejak Januari 2007, fahmina memfasilitasi penguatan komunitas berbasis desa dan kelurahan di wilayah Cirebon. Penguatan ini dilakukan melalui pengembangan radio komunitas, sebagai wadah komunikasi antar anggota komunitas dalam mengidentifikasi persoalan, mencari solusi dan mengorganisasikan diri untuk menumbuhkan keberdayaan mereka. Pengembangan ini baru dilakukan di enam desa/kelurahan di Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Penguatan komunitas ini, dalam pandangan kami, yang justru akan menjadi sebuah kekuatan strategis yang bisa mengisi ruang-ruang pengambilan kebijakan publik, sehingga bisa memastikan kebijakan publik yang tercipta bernafaskan keadilan, dengan keberpihakan pada yang dilemahkan.
Kerja-kerja penguatan komunitas seperti ini, yang menahan laju praktek mobilisasi masa yang dilakukan organisasi politik dan organisasi massa selama ini. Mobilisasi massa hanya akan menumbuhkan pola politik yang emosional, pragmatis, tidak rasional, tidak jangka panjang dan tidak melahirkan keberpihakan nyata pada kelompok miskin. Mereka, yang di Jumlah Kepala Keluarga miskin sudah mencapai 15.000 KK dari 290.000 penduduk Kota Cirebon, sudah mencapai 15.000 kepala keluarga dari jumlah penduduk 290.000 jiwa –di kabupaten sekitar pasti lebih- hanya akan menerima amplop atau kaos saat pemilihan parlemen atau kepala daerah. Ini akan mengancam proyek penciptaan pemerintahan yang baik dan menafikan cita-cita keadilan sosial.
Mempromosikan Pemerintahan yang Baikemerintah yang baik dalam pandangan kami, adalah yang secara secara serius membuka keterlibatan seluruh komponen rakyat dalam merancang agenda pembangungan, mengontrol dan mengevaluasi, agar bisa dipastikan dapat sampai pada cita-cita keadilan untuk semua, terutama yang lemah dan dilemahkan. Pada tahun 2002, kami pernah mengumpulkan berbagai kelompok masyarakat Kota Cirebon untuk membaca harapan masyarakat mengenai ‘pemerintah yang baik’. Tokoh dan orang-orang kunci di kota Cirebon, berkali-kali melakukan pertemuan untuk merumuskan harapan tersebut. Mulai dari Agus Prayoga, Agus al-Wafier, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Sri Maryati, Nurdin M. Noor, Ipah Jahrotunnasipah, Dewi Laily Purnamasari, Ade Asep Sarifuddin, Agung Sedijono, Akbarudin Sucipto, Amran Jaenuddin, Pra. Arief Natadiningrat, Cawita, Dadang Kusnandar, Dalis, Djarot Surodjo, Eman Sulaeman Syahri, Enang Iman Gana, Eti Nurhayati, Djayadi, Khoiruddin Imawan, Kholifah Mudeni, M. Fahrozi, Mamat Soedia, Mumun Munyati, Nani Rusnaeni, Nurdin M Noer, Setyo Hajar Dewantoro, S.Silalahi, Suketi, Supriatno, Suryapranata, Tari, Yasin dan Lies Zakiyah.
Pertemuan-pertemuan ini, yang kemudian pada tahun 2004 melahirkan satu keputusan pembentukan kekuatan penyeimbang yang disebut sebagai ‘Dewan Kota’. Ini bukan lembaga informal dari DPRD Kota. Tetapi forum yang beranggotakan perwakilan dan kelompok kepentingan dan komunitas, sebagai penyeimbang kerja-kerja legislatif maupun eksekutif dalam memberikan pelayanan publik. Kerja-kerja para anggota Dewan Kota ini kemudian diakomodasi pihak Bapeda untuk memperkuat partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan, selain kelembagaan musyawarah pembangunan tingkat kelurahan, tingkat kecamatan dan tingkat kota yang dulu biasanya bersifat seremonial. Ada kelompok 21 pada penyusunan anggaran tahun 2005-2006, beranggotakan berbagai kelompok profesi, wakil komunitas, LSM, anggota DPRD dan eksekutif, yang berwenang menguji kelayakan usulan anggaran pembangunan dari dinas-dinas terkait, sebagai tahapan terakhir sebelum diputuskan dalam sidang RAPBD oleh DPRD. Ini pencapain yang signifikan, yang belum terjadi di pemda lain di sekitar Kota Cirebon. Sekalipun pada akhirnya yang memberi kata putus tetap sidang DPRD Kota, yang oleh beberapa kalangan dicurigai adanya praktek negoisasi berbagi proyek antara legislatif dan eksekutif.
Forum Dewan Kota ini, telah melakukan kajian APBD Kota tahun 2004 dan 2005 untuk memastikan adanya agenda pro-poor dan pro-gender, yang kemudian merekomendasikan untuk mengadvokasi gerakan masyarakat untuk penuntutan kasus APBD Gate yang kontroversial itu. Di samping advokasi persoalan hak pendidikan dan kesehatan rakyat miskin, pembangunan ruang-ruang publik, pelestarian cagar budaya dan pemenuhan hak-hak minoritas. Tetapi isu-isu ini tidak sempat menggerakkan Forum Dewan Kota sebagaimana terjadi pada persoalan APBD Gate dan partisipasi dalam penyusunan anggaran. Kerja-kerja Forum ini sekarang tidak pernah lagi terlihat, termasuk ketika hajatan Pilkada yang digelar pada 6 Januari 2008. Beberapa orang lalu menilai, Fahmina hanya bisa melahirkan tetapi tidak mampu melestarikan.
Partisipasi publik sebagai pilar pemerintahan yang baik, juga dilakukan fahmina untuk kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Tahun 2005 dengan berbagai kelompok dan komunitas melakukan evaluasi dan pengawasan kebijakan pendidikan dan kesehatan di Indramayu, serta melibatkan komunitas untuk aktif memberi masukan pada perda anti trafiking tahun 2005, melalu jaringan SANTRI (Satuan Tugas Anti Trafiking) Indramayu. Begitu juga di Kabupaten Cirebon untuk Raperda Anti Trafiking, perlindungan buruh migran dan Pusat Pelayanan Terpadu, dengan menggerakkan komponen yang ada pada JIMAT (Jaringan Masyarakat Anti Trafiking) Cirebon 2005-2007. Menariknya, keterlibatan komunitas pesantren dengan ormas-ormasnya yang terkait cukup signifikan di dua Kabupaten ini. Berbeda dengan Kota Cirebon yang hampir tidak memperlihatkan keterlibatan ormas Islam dan pesantren dalam kerja-kerja partisipasi publik untuk kebijakan yang memihak orang miskin, anak dan perempuan. Pada tahun 2007, fahmina bekerja sama dengan PC Nahdlatul Ulama Kabupaten Cirebon telah mempertemukan wakil dari seluruh kepolisian sektor (tingkat kecamatan) di Kabupaten Cirebon, dengan wakil dari seluruh Majlis Wakil Cabang (tingkat kecamatan) NU Kabupaten Cirebon, untuk menindaklanjuti kemungkinan kerjasama melakukan perlindungan masyarakat dari kejahatan trafiking dan narkoba.
Dalam keadaan demokrasi yang masih prosedural, partisipasi publik tidak cukup hanya dengan memilih wakil rakyat, bupati/walikota, gubernur dan presiden saja. Lalu kemudian diserahkan sepenuhnya kepada mereka untuk mengelola negeri ini. Publik Indonesia misalnya, masih belum melihat kerja-kerja anggota dewan nyata memastikan kebijakan pemerintah berjalan sesuai dengan rencana, anggaran, mekanisme dan tujuan kerakyatan yang dibangun. Masa reses setiap tahun, masih digunakan hanya sebagai ritual pertemuan dengan rakyat, yang masih primordial dan partisan, tanpa agenda kontrol terhadap eksekutif yang nyata. Terkadang beberapa anggota dewan justru memanfaatkan masa reses untuk jalan-jalan, dengan bahasa keren studi banding. Pada konteks ini, partisipasi langsung dari rakyat, sebagai pra-syarat mewujudkan pemerintahan yang baik, menjadi niscaya. Peningkatan partisipasi publik, setidaknya akan memperkuat keberdayaan mereka dalam menangani persoalan-persoalan sosial yang mereka hadapi, seperti persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Memihak Keberdayaan Perempuan
Pilihan fahmina pada awalnya adalah kerja-kerja strategis. Menyangkut pengembangan kultur dan budaya, terutama yang mewujud dalam pemahaman agama, agar menjadi landasan penciptaan cita-cita keadilan dan keberpihakan terhadap mereka yang lemah. Perempuan, sekalipun jumlahnya cukup banyak, tetapi sistim sosial yang patriarkhi menjadikan mereka sebagai obyek, dilemahkan dan rentan terhadap segala bentuk kekerasan. Tetapi kedekatan fahmina secara fisik dengan komunitas, menyulitkan fahmina untuk membuat pilihan ini secara tegas sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar. Sejak tahun 2001, baik perempuan korban, keluarga korban atau kelompok-kelompok pendamping menuntut fahmina untuk aksi, terjun langsung dan nyata dalam mengadvokasi perempuan korban kekerasan. Sekalipun yang ditangani fahmina, tidak seefektif dan sebanyak yang ditangani kelompok-kelompok pendamping; seperti WCC Balqis, FWBMI, Bannati, Puspita ass-Sakinah. Karena fahmina dalam banyak kesempatan, menekankan pentingnya berbagi tugas dengan melihat kemampuan dan keterbatasan lembaga masing-masing.
Pada tiga bulan terakhir ini, fahmina melakukan penjemputan tiga orang perempuan yang masih memiliki hubungan saudara dari Cirebon yang dijual sebagai PSK di Lubuk Linggau Sumatra Selatan, penuntutan keluarga perempuan (Mundu Cirebon) yang meninggal akibat dibakar suami, pendampingan kasus KDRT di kota Cirebon akibat korban PHK perusahaan swasta di Cirebon, pendampingan dan pemulangan perempuan Aceh yang menjadi korban KDRT oknum Brimob Cirebon, penuntutan hak perempuan atas ingkar janji pegawai LP Gintung lor, pendampingan kasus buruh migran dan kasus KDRT di majalengka, dan juga pendampingan 8 kasus buruh migran dari kabupaten Cirebon dan Indramayu. Kasus-kasus ini tetap hadir dibawa oleh keluarga korban atau korban itu sendiri, dan meminta dampingan dari fahmina, sekalipun pilihan yang ditetapkan sebenarnya adalah pengembangan kultur dan penciptaan budaya.
Pendampingan kasus seperti ini, dan pembelajaran dari kasus-kasus yang dihadirkan kelompok-kelompok pendamping komunitas, memperkuat kerja-kerja strategis kami dalam mewacanakan Islam yang ramah perempuan dan adil gender. Kerja ini kami lakukan dalam berbagai bentuk, baik sebagai isu utama maupun cross cutting issue. Mulai dari kursus, pelatihan, belajar bersama, pengajian kitab, penciptaan lagu shalawat, penerbitan buku, media al-Basyar dan Blakasuta, maupun penulisan di koran lokal dan nasional. Pendidikan ini ditujukan kepada dua kelompok sasaran; kelompok aktivis perempuan dan kelompok pendakwah agama, khususnya dari pesantren. Untuk kelompok pertama, tujuan kami adalah agar mereka memahami dan menggunakan Islam sebagai kekuatan teologis kerja-kerja pemberdayaan mereka. Di samping kami juga memperoleh manfaat besar dari pengalaman-pengalaman riil yang dihadapi perempuan, sebagai basis re-interpretasi kami terhadap tradisi intelektual pesantren. Sementara kelompok kedua, tujuan kami adalah agar mereka mengenali perspektif gender sebagai pemaknaan dan da’wah Islam yang ramah perempuan dan adil gender. Tentu saja, kami pun memperoleh manfaat besar dari kelompok kedua ini dengan kekayaan tradisi intelektual yang mereka hadirkan ke hadapan kami.
Untuk kelompok pertama, pada tahun 2004 kami menyelenggarakan kursus Islam dan Gender (Dawrah Fiqh Perempuan) yang dihadiri 28 orang aktivis dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk para aktivis dari generasi pertama seperti Ibu Saparinah Sadli, Debra Yatim, Kamala Candrakirana dan yang lain. Dari pengalaman ini, kami terbitkan buku. Dengan buku ini, kami memfasilitasi para pelatih dari kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam, aktivis perempuan Aceh, aktivis laki-laki Aceh, aktivis NGO dan kelompok pendamping komunitas Bangkalan Madura, dan terakhir kami memperoleh kehormatan untuk memfasilitasi aktivis perempuan muslim Moro di Davao City Philipina pada bulan Desember 2007. Buku itu ‘Dawrah Fiqh Perempuan; Kursus Islam dan Gender’ sudah dicetak 2000 eksemplar, beredar di antara para aktivis dan lembaga-lembaga gerakan perempuan. Dan sudah diterbitkan ke dalam bahasa Inggris, juga dalam 2000 eksemplar beredar di antara berbagai NGO baik nasional, regional maupun internasional.
Untuk kelompok kedua, kami melakukan berbagai kursus, pelatihan, belajar bersama, pengajian kitab, ihtisab ramadhan, penulisan di media dan penerbitan buku, dan yang lebih khusus adalah penerbitan kaset dan buku shalawat keadilan. Sekalipun upaya yang kedua ini sedikit banyak lebih sulit dan menghadapi berbagai tantangan, tetapi persinggungan dengan berbagai aktor pesantren yang memiliki kekayaan khazanah dan tradisi intelektual, lebih banyak mengasah kemampuan dan keyakinan kami. Bahwa Islam mendasarkan pada prinsip keadilan dalam segala hal, termasuk relasi laki-laki dan perempuan, tidak memperlakukan salah satu dengan zalim dan tidak menjadikannya sebagai obyek kekerasan. Karena itu, segala sikap dan tindakan yang mengakibatkan kezaliman dan kekerasan terhadap perempuan, adalah berlawanan dengan Islam. Karena itu, kami dengan berbagai kelompok perempuan lokal maupun nasional, begerak mengupayakan terwujudnya tatanan sosial yang berkeadilan gender, tanpa ada kekerasan satu jenis kelamin terhadap yang lain, penindasan, diskriminiasi, atau bentuk-bentuk kezaliman apapun.
Menda’wahkan Pluralisme
Pluralisme dalam pandangan kami, bukanlah wahdatul wujud, bukan menyamakan agama. Plural sendiri berarti beragam. Pluralisme adalah penerimaan terhadap perbedaan sebagai basis dialog peradaban dan pembangunan. Sejak pertama didirikan, para penggiat Fahmina telah melakukan upaya sosialisasi perspektif pluralisme agama ke masyarakat luas, terutama di komunitas pesantren. Atau komunitas yang basisnya adalah tradisi keagamaan klasik. Pluralisme, pada tingkat paling awal, diartikan sebagai kesediaan untuk bertemu, bertatap muka dan berdialog antar berbagai pemeluk agama yang ada di wilayah Cirebon. Pada tingkat ini, beberapa sesepuh pesantren bisa menerima, dan beberapa orang dari mereka bersedia datang pada pertemuan yang dihadiri berbagai tokoh agama. Tetapi pada tingkat wacana dan aksi, pluralisme masih mengalami hambatan yang cukup serius, apalagi pada tingkat pembelaan terhadap hak keberagamaan minoritas, terutama mereka yang dianggap menyimpang dari Islam; seperti LDII, Ahmadiyah, HDH dan kelompok New Age ‘Dayak Bumi Segandu’.
Pertemuan antar kelompok agama sangat penting untuk kehidupan bangsa yang beragam agama dan aliran. Agar keberagaman tidak menjadi potensi yang merusak dan menghancurkan komponen-komponen yang ada. Pelajaran dari berbagai konflik yang terjadi di belahan bumi Indonesia, seringkali menggunakan basis-basis primordial terutama agama dan aliran. Beberapa kyai pesantren Cirebon menyampaikan pesan, bahwa keragaman (caruban) yang hidup dan dilestarikan Sunan Gunung Jati di Cirebon, tidak seharusnya dirusak kepentingan pragmatis atau golongan. Dalam bahasa K.H. Syarif Usman Yahya: “Tolong, jangan sampai Cirebon dijadikan seperti Poso”. Pesan-pesan seperti ini yang kami da’wahkan ke berbagai kalangan, melalui media al-Basyar, media lokal atau buku-buku yang kami terbitkan. Kami mendasarkan pada peradaban Nabi Saw dalam Piagam Madinah, peradaban Abbasiyah, Islam Cordova, Turki Usmani dan peradaban-peradaban lain yang menjadikan perbedaan kelompok agama tidak sebagai pemecah kebersamaan dan perusak peradaban. Sebaliknya sebagai kekuatan untuk membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik dan mensejahterakan semua pihak.
Da’wah pluralisme yang kami lakukan, mementingkan adanya pertemuan, negoisasi dan pencarian solusi tanpa kekerasan untuk setiap persoalan relasi antar kelompok agama. Sejak tahun 2001, kami ikut melahirkan, memperkuat dan melestarikan Forum Sabtuan Cirebon, sebuah forum yang mempertemukan antar kelompok agama dengan ketulusan dan penghargaan terhadap eksistensi masing-masing. Sebelum ada Forum Komunikasi antar Umar Beragama (FKUB) yang digagas pemerintah daerah, Forum Sabtuan memiliki tempat utama bagi banyak kalangan sebagai ruang dialog dan media negoisasi. Saat ini, kebanyakan orang dari kelompok minoritas justru menjadi apatis ketika FKUB tidak lebih dari kepanjangan kepentingan mayoritas atau kelompok-kelompok penekan yang utama. Pada konteks ini, fahmina sering dituntut untuk melakukan aksi nyata dan pendampingan riil bagi kelompok minoritas agama yang mengalami persoalan vertikal dengan kekuasaan pemerintah, atau horizontal dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Di samping ada juga kasus yang dilaporkan, mengenai mayoritas yang merasa terancam oleh keberadaan minoritas.
Sejak tahun 2001, beberapa kasus yang fahmina dilibatkan dalam penanganannya adalah; tanah pemakaman kristen Kedung Menjangan, tanah bong cina di Kalitanjung, kelompok ‘Dayak Bumi Segandu’, masyarakat sekitar Rumah Sakit Sumber Waras Ciwaringin, radio Gratia, pengembangan rumah duka orang-orang Tionghoa, aktvitas kelompok Gratia, Jama’ah Ahmadiyah dan majlis ta’lim HDH. Selain pendampingan, Fahmina mulai tahun 2006 berkomitmen dengan beberapa lembaga lain di Jawa Barat yang tergabung dalam Jaringan Kerja untuk kerja-kerja pemantauan dan advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa barat dengan instrumen Hak Asasi Manusia. Wilayah Cirebon memiliki beragam agama dan kelompok-kelompok agama, serta ada banyak praktik tradisi yang tidak menutup kemungkinan rentan terhadap upaya ‘penyesatan’ dari kelompok-kelompok penekan. Karena itu, da’wah pluralisme dengan maknanya di atas adalah penting untuk meneruskan pengembangan peradaban kemanusiaan yang toleran dan berkeadilan.[]