Selasa, 15 Oktober 2024

Sekolah Moderasi Beragama, Jalan Menjadi Indonesia yang Bineka

Baca Juga

Oleh: Abdullah Fikri Ashri

Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Perempuan Nahdlatul Ulama Kabupaten Cirebon dan Fahmina Institute menggelar Sekolah Moderasi Beragama via daring, Minggu-Jumat (5-10/9/2021). Turut serta 30 orang dari beragam keyakinan.

”Kebinekaan milik Indonesia. Meniadakannya adalah meniadakan Indonesia. Menjadi Indonesia adalah menjadi bineka.”

Ungkapan itu disampaikan KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, saat menjadi pembicara kunci dalam pembukaan Sekolah Moderasi Beragama via daring, Minggu (5/9/2021) sore. Sebanyak 30 partisipan dari 15 komunitas beragam keyakinan turut serta.

Kegiatan itu digelar Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Perempuan Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Cirebon dan Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang bergerak pada isu keindonesiaan, kemanusiaan, dan keadilan. Sekolah berlangsung hingga Jumat (10/9/2021).

Menurut Buya Husein, sapaannya, sudah berabad-abad masyarakat di Indonesia hidup dalam kebinekaan. Perbedaan suku, agama, bahasa, dan latar belakang lainnya tidak menjadi persoalan. Bahkan, semboyan negeri ini adalah Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Meski demikian, lanjutnya, tantangan keberagaman saat ini juga kian kompleks. Mulai dari ujaran kebencian, radikalisme, hingga terorisme. Kasus teranyar, Masjid Jemaah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, dirusak dan dibakar sejumlah orang, Jumat (3/9).

”Rasa duka mendalam terhadap teman-teman Ahmadiyah. Peristiwa itu tidak memiliki adab. Saya atas nama Fahmina mengecam penyerbuan Masjid Ahmadiyah di Sintang,” kata Buya Husein, juga Ketua Yayasan Fahmina Institute.

Kejadian itu menunjukkan belum semua orang paham agama. ”Agama itu cahaya yang menerangi kegelapan hati dan menenangkan pikiran. Agama bukan membikin hati jadi gelap dan pikiran jadi beku,” ungkap Doktor Kehormatan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo ini.

Keberagaman dan kebinekaan itu kehendak Tuhan. Melawan itu berarti melawan kehendak Tuhan.

Menurut Buya Husein, tidak ada agama atau kepercayaan yang mengajarkan diskriminasi, kekerasan, teror, dan penindasan kepada siapa pun. Justru, katanya, Tuhan menciptakan manusia dengan beragam latar belakang agar mereka menghargai perbedaan.

Padahal, Tuhan bisa saja menciptakan manusia dengan kesamaan agama, suku, dan lainnya.  ”Keberagaman dan kebinekaan itu kehendak Tuhan. Melawan itu berarti melawan kehendak Tuhan,” ucap mantan Komisioner Komnas Perempuan tersebut.

Nalar moderat

Buya Husein memaparkan, terdapat tujuh nalar moderat yang perlu dimiliki warga Indonesia. Pertama, nalar yang memberikan ruang bagi yang berbeda pandangan. Kedua, menghargai pilihan dan pandangan hidup seseorang.

Selanjutnya, tidak mengabsolutkan kebenaran sendiri lalu menyalahkan pendapat yang lain. Keempat, tidak membenarkan tindak kekerasan atas nama apa pun, apalagi agama. Kelima, menolak pemaknaan tunggal atas teks.

”Teks Tuhan tidak bisa dibatasi hanya satu makna,” ucapnya.

Keenam, nalar moderat terbuka atas kritik konstruktif. Terakhir, berpikir moderat pasti mencari pandangan yang adil untuk kemaslahatan bersama. Pancasila, lanjutnya, telah menyerukan hal itu dengan jalan musyawarah.

Direktur Fahmina Institute Rosidin menambahkan, ada tiga pendekatan melihat keberagaman. Pertama, pendekatan yang memandang keberagaman hanya sebagai eksistensi agama atau suku yang berbeda. Pendekatan ini dinilai belum cukup menumbuhkan kehidupan yang saling menghargai.

”Perlu pendekatan kedua, yakni bagaimana entitas yang berbeda ini menyampaikan aspirasi atau pandangannya sehingga bisa dipahami entitas lain,” katanya.

Akan tetapi, masih diperlukan upaya lebih agar kehidupan antarumat lebih harmonis. ”Kita harus mendorong pendekatan kerja sama di antara entitas berbeda, seperti yang dilakukan saat ini melalui Sekolah Moderasi Beragama,” ungkapnya.

Bagi Fahmina Institute, ini kali kedua digelar sekolah moderasi. Sebelumnya, acara serupa dilaksanakan di Kuningan, tetangga Cirebon. Fahmina juga berusaha membangun kader moderasi di lima kecamatan di Cirebon, yakni Jamblang, Weru, Arjawinangun, Gebang, dan Losari.

Adapun untuk PC IPPNU Kabupaten Cirebon, sekolah tersebut merupakan yang pertama. ”Sekolah ini untuk menguatkan cara pandang yang moderat dan menanamkan nilai-nilai toleransi beragama,” kata Ketua PC IPPNU Cirebon Devi Farida (21).

Apalagi, jejak intoleransi di Cirebon masih membekas. Pada 15 April 2011, masjid Kepolisian Resor Cirebon Kota dibom. Sedikitnya 28 orang terluka, polisi jadi korban paling banyak. Puluhan warga di Cirebon dan sekitarnya juga pernah ditangkap Densus Antiteror 88.

Sekolah Moderasi Beragama diharapkan menjadi jalan bagi anak muda seperti Devi merawat kebinekaan di Cirebon dan Indonesia. Seperti diungkapkan Buya Husein, menjadi Indonesia adalah menjadi bineka.

Tulisan ini pertamakali dimuat di kompas.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya