Oleh: Abdul Rosyidi
Saat kamu melihat ada orang yang menjawab semua pertanyaan, menggambarkan setiap yang dia lihat, dan menceritakan setiap yang dia ketahui, maka semua itu menunjukkan kebodohannya.
[Syekh Ibnu Ajibah]
Ada seorang kiai besar di negeri ini ditanya lewat Twitter. Orang itu bertanya singkat, “apakah amal ibadah saya selama ini diterima oleh Allah?” Lewat akunnya, kiai tadi bilang: “saya tidak tahu.” Sang penanya terlihat kecewa, dia mendesak. Tapi sang guru tetap pada jawabannya bahwa dia tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Barangkali jawaban dan reaksi kiai ini tidak umum. Karena biasanya, seorang muballigh, kiai, atau ustadz, yang mewakafkan dirinya di televisi dan media sosial siap untuk menerima segala pertanyaan dan memberikan semua jawabannya. Tidak ada pertanyaan yang tidak ada jawaban. Tak ada soal yang tidak ada solusinya. Demikian kira-kira prinsipnya.
Kiai di atas tadi mungkin sejumput anomali. Dia membuka akun di Twitter, aktif memberikan petuah di media sosial itu, tapi kemudian membatasi diri dari sesuatu yang memang dia tidak tahu. Dia menghindari diplomasi dan berakrobat dengan kata-kata yang biasanya dilakukan ustadz seleb demi melayani netizen dan para pemirsa.
Misal, bisa saja dia jawab pertanyaan itu dengan gaya berandai-andai dan berkalau-kalau, “kalau anda beribadah dengan khusyuk maka pasti akan diterima Allah”, “andai anda ikhlas tentu akan diterima”, “jikalau Allah ridho pasti akan diterima,” dan sebagainya. Tapi kiai itu tidak melakukannya. Dia lebih memilih menjawab apa adanya meskipun membuat kecewa pemirsa, “saya tidak tahu.”
Bayangkan ada seorang ustadz seleb ceramah live di televisi. Penggemarnya jutaan orang. Kemudian seorang ibu dari majelis taklim A bertanya sesuatu terkait agama kepadanya. Ustadz harus menjawab pertanyaan itu, tapi lalu dia berkata: “saya tidak tahu.” Betapa kacaunya dunia persilatan. Bisa jadi dia tak akan pernah dipanggil ustadz lagi dan tak akan diundang ceramah lagi. Bagaimana mau ceramah, menjawab satu pertanyaan saja tidak bisa.
Setitik pencerahan terkait masalah ini saya dapatkan dari Iqhodz al-Himam, syarah kitab al-Hikam. Dalam kitab tersebut, Syekh Ibnu Ajibah menyebutkan bahwa Ibnu Athoillah as-Sakandari mengatakan:
مَنْ رَأَيْتَهُ مُجِيْبًا عَنْ كُلِّ مَا يُسْأَلُ وَمُعْبِرًاعَنْ كُلِّ مَا شَهِدَ وَذَاكِرًا لِكُلِّ مَا عَلِمَ فَاسْتَدَلَّ بِذَالِكَ عَلَى وَجُوْهِ جَهْلِهِ
“Saat kamu melihat ada orang yang menjawab semua pertanyaan, menggambarkan setiap yang dia lihat, dan menceritakan setiap yang dia ketahui, maka semua itu menunjukkan kebodohannya.”
Imam Malik, satu dari empat imam madzhab, pernah diberikan sebanyak tiga puluh dua pertanyaan oleh orang yang menginginkan petunjuk dari beliau. Tapi kemudian beliau menjawab hanya tiga pertanyaan saja. Orang-orang yang mengetahui hal itu pun bertanya-tanya. Kemudian Imam Malik berkata dengan lugas: “saya tidak tahu.”
Tetapi orang-orang pun tetap tak bisa mengerti. Masa iya Imam Malik tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Akhirnya Imam Malik berkata: “menjawab semua pertanyaan adalah tindakan bodoh dan berbahaya.” Lagian, tidak semua jawaban dan penjelasan akan sesuai dengan pemahaman orang yang bertanya.
Ulama bukan orang yang tahu segalanya. Tapi dia adalah orang yang mengetahui batas kemampuannya dan mengerti kebutuhan umatnya. Dia tidak melewati batas dan menghalalkan segala cara. Dia bukan orang yang sanggup berakrobat kata-kata, memaksa, dan merayu-rayu agar orang-orang ikut padanya.
Oalah, ternyata kiai yang saya sebutkan di paragraf awal mengatakan kalimat yang sama yang dengan Imam Malik. Mereka sama-sama tidak tahu, tidak merasa tahu, dan tidak memaksakan pengetahuannya kepada orang lain. Menurutku, merekalah sejatinya para ulama itu. Karena orang yang berilmu, orang ‘alim, atau yang kita sebut sebagai “ulama” tidak akan pernah memaksakan apapun bahkan atas apa yang dia yakini kebenarannya.
Nabi pernah berkata bahwa dia dan umatnya yang paling bertakwa tidak pernah melakukan pemaksaan. Kalau ulama adalah pewaris para Nabi, maka para ulama tidak akan melakukan pemaksaan sebagaimana Nabi tidak pernah melakukannya.
Ulama bukan orang yang tahu segalanya. Tapi dia adalah orang yang mengetahui batas kemampuannya dan mengerti kebutuhan umatnya. Dia tidak melewati batas dan menghalalkan segala cara. Dia bukan orang yang sanggup berakrobat kata-kata, memaksa, dan merayu-rayu agar orang-orang ikut padanya. Karena orang yang memaksa biasanya memiliki motif tertentu. Dia manipulatif dan ahli rekayasa.
Anda tahu, siapa nama kiai yang saya ceritakan di paragraf-paragraf awal? Iya, beliau adalah K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab dipanggil Gus Mus.
Entah kebetulan entah tidak, dalam videonya di salah satu acara, beliau mengatakan zaman sekarang sudah macam-macam jenis ulama. Ada yang menjadi ulama karena memang diakui kiprahnya di tengah masyarakat. Ada yang merasa menjadi ulama karena masuk ke dalam kepengurusan majelis ulama. Ada yang karena keinginan pribadi lalu kemudian berdandan seperti ulama. Ada pula yang mengaku-ngaku ulama karena tujuan-tujuan politik di belakangnya.
Menurut saya, kalau kita masih bingung untuk membedakan mana yang sungguhan dan mana yang buat-buatan, cukup perhatikan apakah yang mengaku ulama itu suka berakrobat kata-kata? Kalau iya, mungkin saja dia bukan ulama.[]