Selasa, 15 Oktober 2024

Siapa Butuh Perda Perenggut Nyawa?

Baca Juga

Hentikan Diskriminasi Perempuan Atas Nama Agama dan Kesusilaan!!!

Apa jadinya jika seseorang dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Dipaksa mengaku melakukan sesuatu seperti yang ditafsirkan dalam sebuah aturan. Lalu dihukum sesuai aturan tertentu. Belum lagi hukuman moral dari masyarakat berupa cibiran dan lain sebagainya. Padahal dia adalah korban dari aturan-aturan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan namun tidak bijak, tidak memiliki keberpihakan dan perspektif HAM maupun Gender. Bahkan seakan tak mau belajar dari sejarah bagaimana peraturan-peraturan serupa telah memakan korban yang tak bersalah. Sayangnya, korban itu selalu menimpa pihak yang lemah dan terpinggirkan, salah satunya adalah perempuan.

Perlu disebutkan siapa perempuan-perempuan itu? Mari kami ingatkan bagaimana para perempuan ini terganggu jiwanya hingga memilih mengakhiri hidupnya, hanya untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa ia tidak seperti yang dituduhkan peraturan daerah (Perda).

2012: Putri Erlina (16Th), Bunuh Diri Karena Dituduh Pelacur Berdasarkan Perda Syariah

”Ayah…Maafin putri ya yah, Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani bersumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu putri cuma mau nonton kibot di Langsa, terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri.” 

Kalimat di atas adalah bunyi sepucuk surat yang ditulis oleh Putri Erlina atau biasa disapa Putri. Surat tersebut sempat ditulisnya untuk Ayahnya tercinta. Putri adalah seorang gadis nan belia, putus sekolah kelas 2 SMP, gadis belia asal Dusun Aramiah, Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur dia tidak tahu lagi bagaimana harus membela diri. Putri malu dan terhina dengan tuduhan semena-mena terhadap dirinya. Harga dirinya diremuk paksa. Tidak tahan menanggung derita hingga memilih mengakhiri hidupnya. Jasadnya ditemukan saat pagi buta di sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu beratap daun nipah. 

Nampak sekali bahwa isi surat tersebut adalah bentuk pengaduan sang putri kepada ayahnya dan merupakan klarifikasi terhadap pemberitaan atas dirinya bahwa Putri bukan seorang pelacur. Tentu kita akan membayangkan bagaimana detik-detik seorang putri ketika akan mengakhiri hidupnya, membayangkan wajah orangtua dan kedua saudaranya. Membayangkan denting organ tunggal, keceriaan terakhir yang disesap dalam hidupnya. Putri menuliskan kepedihan hatinya pada sang ayah, Putri tidak ingin melihat ayahnya kalang kabut menghadapi fitnah dan gunjingan setiap orang akibat pemberitaan media lokal yang terlalu menyudutkannya tanpa klarifikasi terlebih dahulu. 

Kasus kematian Putri Erlina, yang ditemukan dalam posisi serupa orang bunuh diri pada 5 September 2012. Putri memutuskan mengakhiri hidupnya setelah sempat ditangkap dan dituduh sebagai pelacur oleh polisi syariah di Langsa. Semua berawal dari tiga hari sebelumnya, 3 September 2012 menjadi tanggal hitam awal petaka ini dimulai. Putri Erlina bersama teman perempuannya, sedang asyik menonton pertunjukan organ tunggal. Malam itu ramai sekali. Ratusan anak muda memadati Lapangan Merdeka, lapangan terbesar di Kota Langsa. 

Naas bagi Putri, selepas larut dalam keramaian, ketika dia pulang petugas Wilaytul Hisbah (polisi Syariah) melakukan razia. Putri pun digelandang ke Kantor Dinas Syariat Islam Kota Langsa. Tuduhannya sangat berat. Melanggar Peraturan Daerah (Perda) Syariah, Putri dituduh menjadi pelacur. 

Esok harinya sebuah koran memuat berita: “dua orang pelacur di bawah umur ditangkap di Lapangan Merdeka”. Bahkan, kepada penyidik, mereka secara gamblang menyatakan, selama ini kerap beraktivitas melayani lelaki hidung belang? Koran tersebut tidak pernah bertanya kepada Putri untuk klarifikasi yang sebenarnya. Suara putri diabaikan hingga akhir hayatnya, ia hanya mampu bersuara pada sepucuk surat.

Tentu saja berita di koran ini segera menyebar ke seluruh pelosok Birem Bayeun, di mana-mana orang ramai membicarakan dan mempergunjingkan tertangkapnya dua orang pelacur di bawah umur, apalagi kita semua tentu tahu bahwa cap sebagai pelacur adalah sebuah petaka dan aib yang paling dahsyat di bumi serambi mekah Aceh. 

Begitu kejam kah aturan-aturan daerah yang dibangun atas nama Peraturan Daerah (Perda) Syariah? Sebuah peraturan yang dibuat oleh pemangku kebijakan serta polisi-polisi moral yang bekerja berdasar selembar aturan ini. Tidak kah mereka memahami apa rasanya terhina dan dipermalukan? apa rasanya dituduh sembarangan? Mereka, para penentu ukuran moral manusia ini, tak pernah kah sebentar saja melongok relung kehidupan Putri, gadis belia yang ingin menyesap keceriaan masa muda, menonton pertunjukan bersama teman-temannya? Peraturan Daerah tersebut telah menjadi “Pencabut Nyawa” bagi seorang putri yang tidak merasa menjadi seorang pelacur. 

2008: Lilis, Meninggal Dunia Karena Dituduh Pelacur Berdasarkan Perda Tangerang

Putri memang tidak sendirian, kasus serupa juga pernah terjadi terhadap Lilis Lisdawati Mahmudah di Kota Tangerang. Lilis merupakan korban salah tangkap dan dituduh sebagai seorang pelacur. Lilis sudah bersuami dan suaminya, Kustoyo, adalah seorang guru. Dampak dari tuduhan terhadap Lilis beserta pemberitaan media, membuat Kustoyo terpaksa berhenti dari pekerjaannya. Ya, pihak sekolah tempatnya mengajar tidak ingin sekolahnya mendapatkan cap buruk dari masyarakat, hanya karena salah satu pengajarnya memiliki isteri seorang Pelacur. 

Akibat kasus itu, kehidupan Lilis dan keluarganya berubah 180 derajat. Mereka juga harus berpindah tempat tinggal beberapa kali karena cap sebagai Pelacur telanjur tersemat pada dirinya. Lilis pun sering mendapat perlakuan tidak baik dari para tetangganya. Akibat tekanan tersebut, Lilis mengalami tekanan psikologis dan sakit-sakitan, sampai akhirnya ia meninggal dunia pada Agustus 2008. 

2009: Fifi Aryani, Meninggal Dunia Karena Dampak Perda Tangerang

Tetapi cerita belum usai, akibat Peraturan Daerah (Perda) yang sama, juga telah merenggut nyawa Fifi Aryani. Peristiwa itu terjadi pada malam di bulan Mei 2009, ketika Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sedang melakukan razia. Fifi ketakutan dan berlari sekencang-kencangnya. Satpol PP tak berhenti mengejarnya. Terdesak, nekat ia menceburkan diri ke Sungai Cisadane, lantaran menghindari razia satuan polisi pamong praja Kota Tangerang. 

Korban diduga kuat meregang nyawa akibat dilempari batu dan ditakut-takuti saat petugas menggelar razia PSK, hingga akhirnya korban tewas karena tenggelam. Akibat meninggalnya Fifi, Empat Anggota Satpol PP Kota Tangerang menjadi tersangka.

Putri, Lilis, dan Fifi, telah tiada, mereka bertiga telah menjadi korban sebuah Peraturan Daerah (Perda) yang lebih cenderung Diskriminatif dan berpotensi merugikan kaum perempuan. Aturan-aturan hukum dan moralitas tersebut telah meringkus usia ranumnya seorang Putri. Aturan-aturan itu tak mempertanyakan kenapa putri putus sekolah? Aturan-aturan itu tidak mempertimbangkan seorang wanita yang sedang hamil dua bulan berjalan di malam hari lalu ditangkap, padahal lilis sudah mengaku bekerja sebagai pelayan restoran? 

Aturan-aturan itu tak pergi bertanya, kenapa Aceh yang kaya raya tapi rumahnya Putri berdinding anyaman bambu dan beratap daun nipah? Kenapa angka kemiskinan di dusunnya begitu tinggi? Aturan-aturan itu tak bertanya mengapa seorang Fifi menjadi PSK? Aturan-aturan itu hanya peduli pada perilaku dan cara berpakaian saja, tanpa mengabaikan unsur lain yang menjadi faktor penyebabnya. 

Aturan-aturan itu kerap membuat perempuan menjadi sasarannya, yang tak berbusana muslim diciduk, celana atau rok yang dianggap ketat digunting. Serta banyaknya kasus salah tangkap serta Perempuan tersebut dipermalukan di depan umum dan pernah juga terjadi Tiga Polisi Syariat Memperkosa Wanita di Tahanan.

Putri, seorang remaja asal dusun di Birem Bayeun, Aceh Timur adalah satu lagi korban dari penerapan peraturan daerah yang mengatasnamakan agama dan moral. Seorang remaja yang hanya ingin menikmati masa mudanya dengan menonton pertunjukan organ tunggal harus ditangkap oleh Wilayatul Hisbah (polisi yang dibentuk untuk “menjaga moral dan agama” masyarakat aceh) dan digelandang ke Kantor Dinas Syariat Islam Kota Langsa dengan tuduhan menjadi Pelacur. Tuduhan yang sangat berat untuk gadis sebelia Putri.

Hal serupa pernah dihadapi Lilis dari Tanggerang pada tahun 2006, dia juga di tuduh menjadi pelacur karena masih berada di luar rumah pada saat malam hari. Lilis ditangkap berdasarkan penerapan Perda No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang. Lilis dan Putri, mereka mengalami depresi karena banyak orang mempergunjingkan dan mempertanyakan moral mereka. Lilis menjemput nyawa karena sakit yang berkepanjangan, dan Putri mengakhiri nyawanya sendiri.

Putri dan Lilis merupakan dua dari sekian banyak korban dari penerapan peraturan yang anti terhadap perempuan. Peraturan yang dibentuk dengan alasan untuk melindungi perempuan tetapi ketika melihat materi-materinya, sama sekali tidak ada yang bermaksud melindungi perempuan. Bahkan membatasi dan mengabaikan hak-hak perempuan untuk berekspresi dan mempunyai potensi besar untuk mengkriminalkan perempuan.

Multi Tafsir Aturan tentang Pacaran atau Khalwat

Menurut data yang dihimpun Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Indonesia Tahun 2013, saat ini terdapat 207 Perda yang langsung mendiskriminasi perempuan. salah satunya adalah Perda Propinsi Daerah (Qanun) Istimewa Aceh No.14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum) yang didefinisikan “perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”.

Membaca isi Perda tersebut, mungkin kita masih ingat bagaimana pemerintah kota kita, Kota Cirebon, tengah menggodok rancangan peraturan daerah (Raperda) Ketertiban Umum (Tibum) Kota Cirebon. Selain persoalan minuman keras (Miras) dan pelacuran, dalam raperda Tibum juga mengatur masalah pacaran dengan bunyi yang nyaris sama seperti Perda Propinsi Daerah (Qanun) Istimewa Aceh No. 14. Keduanya sama-sama mengatur moral, dalam Raperda Tibum Kota Cirebon terdapat pada bagian kedua tertib fasilitas umum pasal 12 (g), yang berbunyi “Dalam rangka mewujudkan tertib dan fasilitas umum, maka setiap orang atau badan dilarang:

Melakukan perbuatan asusila, pacaran yang dapat melanggar norma kesopanan, norma adat dan/atau norma agama”.

Tidak hanya Qanun yang kemudian memunculkan pro dan kontra. Rumusan hukum tentang khalwat ini sangat multitafsir dan seolah-olah relasi sosial antara laki-laki dan perempuan dipersepsikan selalu sebagai hubungan seksual. Akibatnya penegakan hukum yang disertai kekerasan serta kriminalisasi terhadap interaksi sosial yang bukan tindak pidana menyebabkan perempuan Aceh kehilangan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.

Hal serupa juga dialami Raperda Tibum Kota Cirebon. Isi pasal tersebut dinilai sejumlah pihak sangat multi tafsir. Seperti diungkapkan Rosidin, aktivis LSM peduli persoalan perempuan dan peneliti senior Yayasan Fahmina, menurutnya definisi pacaran dalam pasal tersebut sangat multi tafsir, sehingga perlu dihapus. Namun Rosidin juga menawarkan redaksi baru, yaitu “melakukan perbuatan yang dapat melanggar norma kesopanan, norma adat, dan atau norma agama.” Rosidin menambahkan, dalam pasal tersebut juga perlu memasukkan tentang pelarangan atas kekerasan di tempat umum.

Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap menjadi otoritas pemerintah daerah, dengan anggapan mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pemerintah di tingkat pusat. Seolah terlepas dari tanggung jawab atas tindakan-tindakan diskriminatif yang dialami kelompok-kelompok tertentu, terutama paling banyak dialami perempuan. Padahal tidak bisa dipungkiri pemerintah pusat justru mengokohkan Undang-Undang yang sangat diskriminatif terhadap perempuan. Seperti UU Anti Pornografi, yang justru semakin menguatkan pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut. Hal ini semakin menunjukan Negara telah melakukan intervensi terhadap agama dan moralitas, bahkan bukan mencoba mengikis tetapi justru menguatkan perspektif patriarkis yang kuat dalam masyarakat.

Inovatif atau Meminggirkan?

Menurut Rosidin, tidak semua inovatif dan kreatifitas perlu diapresiasi, jika latar belakang dan tujuannya meminggirkan kelompok tertentu. Termasuk kreatifitas untuk memunculkan hal yang bersifat lokalitas. Akhir-akhir ini, inovasi dan kreatifitas para kepala daerah dan unsur parlemen lokal, dalam menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya atau tradisi lokal meningkat. Inisatif itu berupa pembuatan aturan-aturan yang menyangkut kedaerahan. Mulai dari pembuatan Perda retribusi daerah hingga Perda ketertiban umum, yang berbasis pada “karakter kedaerahan/lokalitas hingga syariat agama yang berlaku secara mayoritas”. Namun kemudian sangat sering ditemukan bahwa problem “kedaerahan/lokalitas” selalu terletak pada penafsiran, pengelolaan dan penerapannya yang banyak dilakukan birokrasi pemerintahan daerah pada akhirnya mengerucut pada Perda yang “asal meningkatkan ada aturan secara instan, bias jender, diskriminatif hingga melanggar aturan/UU di atasnya”.

Perda-perda itu lahir bertolak dari paradigma asal menghasilkan aturan tentang daerahnya, sehingga segala hal bisa dijadikan obyek aturan dan akhirnya dianggap mengada-adakan bagi persoalan publik. Perda ketertiban umum berbasis syariat misalnya, diterbitkan, lalu diterapkan pada masyarakat yang penuh keberagaman dan majemuk sehingga kemudian memunculkan persoalan pasca implementasi, mulai dari memunculkan diskriminatif bagi sekelompok masyarakat atau bias jender.

Saat ini legislatif kabupaten Cirebon sedang membahas rancangan peraturan daerah (Raperda) ketertiban umum. Raperda tersebut sendiri, memang kental nuansa diskriminasinya, karena yang menjadi objek dibenturkannya Perda ini adalah masyarakat lemah, dan kelompok perempuan. Memang tidak secara eksplisit perempuan menjadi objek, tapi berdasarkan pengalaman daerah lain, misalnya di Tanggerang seorang karyawan ditangkap karena diduga oleh petugas Satpol PP sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK). Tentu masih banyak lagi di daerah lain yang daerahnya mengeluarkan peraturan daerah tentang ketertiban umum.

Di saat angka pengangguran yang besar dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah di Cirebon, maka kondisinya akan semakin runyam, karena bisa menstimulasi timbulnya penyakit sosial lainnya, yang mengancam stabilitas politik, ekonomi, hukum, kesehatan, pertanahan, sosial dan budaya di Cirebon. Di saat sawah dan laut tidak mampu menghidupi masyarakat, maka ikhtiar apa lagi yang harus dilakukan untuk mempertahankan hidup, jika tidak pergi mencari penghidupan seperti menjadi pedagang kaki lima (PKL) yang terkadang harus melanggar di mana tempat jualan dilarang. Oleh karena itu perlu disiapkan langkah-langkah antisipatif, dalam upaya memulihkan keberfungsian sosial mereka. Namun langkah tersebut bukan dengan Perda tentang ketertiban umum (Tibum), tapi Perda yang menjamin keberlangsungan hidup semua warga. Juga, sejauhmana Pemda Cirebon mempersiapkan diri mengantisipasi munculnya masalah ini. Nampaknya sebelum ada inisiatif selain melanjutkan kebijakan dari pemerintah pusat soal penanganan sosial, misalnya memanfaatkan kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Yang seharusnya Pemda Cirebon melakukan kajian dan mempersiapkan instrumen yang memberikan jaminan keberlangsungan hidup warganya.

Pada konteks ini, Cirebon belum butuh Perda ketertiban umum, karena relatif hubungan antar warga tidak menjadi bara dalam sekam yang mengancam keamanan secara umum. Kenapa belum dibutuhkan terutama draf yang sekarang dibahas oleh legislatif kabupaten Cirebon, karena memang dalam isinya bisa mengancam hak atas rumah, hak atas pekerjaan dan hak atas kebebasan bergerak. Seharusnya hak-hak ini dijamin oleh negara sebagai pemangku kewajiban bagi pemenuhannya.

Kebijakan Diskriminatif terhadap Perempuan Terus Meningkat

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam pers rilisnya, saat ini ada 342 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan. 265 di antaranya mengatasnamakan agama dan moralitas, dengan rincian 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan dan 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam. Daerah yang banyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif adalah Jawa Barat, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan dan Jawa timur.

Menurutnya, banyak pimpinan daerah baik eksekutif maupun legislatif yang memiliki pengetahuan yang sangat terbatas terkait hak-hak perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan masih banyak Peraturan Daerah yang mendiskreditkan kaum hawa. Perda-perda itu bahkan dinilai menyebabkan terenggutnya nyawa kaum perempuan. Pada 2012 tambah Andy, Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari 4000 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Banyak pemerintah daerah dan aparat hukum di daerah yang melihat isu kekerasan seksual lebih pada kesalahan moralitas dari si perempuan yang menjadi korban.

Sementara beberapa minggu lalu, puluhan aktivis pegiat hak-hak perempuan dari berbagai organisasi yang mengatasnamakan Komite Aksi Perempuan melakukan aksi unjuk rasa menolak kebijakan diskriminatif berupa Peraturan Daerah (Perda) terhadap perempuan di depan Istana Merdeka Jakarta Senin (25/11).

Kepada sejumlah media, juru bicara Komite Aksi Perempuan, Estu Fanani mengatakan Komite Aksi Perempuan menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap kondisi perempuan yang semakin terpinggirkan di beberapa daerah.

Mereka menuntut kepada pejabat public, baik itu di tingkat eksekutif maupun legislatif, nasional maupun lokal, untuk menghentikan pembahasan atau pun rencana pembuatan sejumlah Perda diskriminatif terhadap perempuan yang dibuat berdasarkan pada pengaturan terhadap tubuh perempuan maupun perilaku perempuan.

Komite Aksi Perempuan juga meminta Presiden menyikapi perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dengan Kementrian Dalam Negeri dalam menyikapi perda-perda diskriminatif terhadap perempuan, semisal perda Tangerang dan Bantul.

Bahkan menurut Estu, Komite Aksi Perempuan juga pernah mengajukan judicial review Perda Tangerang dan Perda Bantul serta Perda Ketertiban Umum Jakarta di Mahkamah Agung (MA). Judicial review itu ditolak MA dengan alasan antara lain sudah melewati tenggat waktu pengaduan. Lalu tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya. Jadi MA sendiri melihat Perda-Perda tersebut tidak melanggar.

Ironi Syariat Islam

Komnas Perempuan juga menyebut terdapat 46 kasus kekerasan akibat penerapan Syariat Islam di Aceh yang diperoleh dari KontraS Aceh. Akibat penerapan Syariat Islam itu, telah terjadi 17 kasus pemukulan; 25 kasus dimandikan dengan air comberan maupun air got, air irigasi dan air kuburan; 2 kasus perempuan dipermalukan dengan diarak keliling kampung; dan 2 kasus dinikahkan meskipun usianya masih dibawah umur. Bahkan, ada juga yang disusir dari kampungnya.

Putri adalah salah satu korbannya. Remaja Aceh ini bunuh diri diduga akibat malu setelah ditangkap Polisi Syariat Islam Aceh, Waliyatul Hisbah, 3 September 2012 lalu.

Selain di Aceh dan Tangerang juga terjadi di Palembang, di mana Pasal 8 Perda No 2 Tahun 2004 tentang Pelacuran, dianggap telah mendiskriminasi kaum perempuan. Sebab, pada Perda itu tidak ada penjelasan terperinci sehingga kata pelacuran nyaris diidentikkan dengan perempuan.

kata pelacuran jadi identik dengan perempuan; Sedangkan dari segi bahasa, pelacuran berasal dari kata lacur yang artinya perbuatan sembrono atau asal-asalan. Dari hal tersebut, dia menarik kesimpulan, perda tersebut tidak dikaji secara mendalam serta tidak melibatkan elemen masyarakat dan instansi terkait.

Pembahasan Perda tersebut juga dinilai dilakukan secara tidak serius dan tanpa sumber serta kajian yang jelas. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dan pembahasan ulang terhadap dengan memasukkan unsur yang sifatnya sebagai penyeimbang peraturan tersebut. Misalnya memasukkan juga penjelasan pelacuran yang dilakukan oleh laki-laki.

Ketua Arus Pelangi Jakarta Rido Triawan, menyikapi perda tersebut bila dihubungkan dengan UU yang berada di atasnya, seperti UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Perundang-undangan, mengatakan, perda yang berlaku di berbagai daerah, banyak yang cenderung diskriminatif, terutama untuk kelompok masyarakat rentan.

“Hal tersebut melanggar ketentuan UUdi atasnya. Seperti Pasal 1 UU No 39 yang menjelaskan diskriminasi dapat dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah, baik berupa tindakan maupun pembatasan hak-hak warga negara,” ujar Rido. Menurut dia, kelompok masyarakat rentan harus dilebihkan pemenuhan haknya oleh pemerintah, dibandingkan kelompok mayoritas.

Karena dari segi jumlah, kelompok minoritas lebih sedikit, sehingga sangat rentan terhadap serangan-serangan secara fisik, psikis, maupun ideologi. Salah satu contohnya melebihkan hak misal dengan affirmative action. “Selama ini yang terjadi, pemerintah tidak mengindahkan pentingnya affirmative action bagi masyarakat rentan.

Meng(adil)i Perda-Perda Diskriminatif terhadap Perempuan

Banyaknya perempuan yang menjadi korban Perda diskriminatif, mengundang banyak pro dan kontra, yang seharusnya secara tidak langsung menjadi pelajaran bagi para pembuat kebijakan. Alih-alih menjawab problematika seputar moralitas (sebagaimana yang selalu digembor-gemborkan oleh pihak yang pro perda syariah), nyatanya Pini justru merenggut nyawa perempuan yang tidak bersalah. Dari sini dapat dilihat adanya tendensi bahwa Perda-perda yang berlabelkan syariah, justru berakibat pada diskriminasi terhadap perempuan.

Kemunculan Perda syariah sendiri pada awalnya merupakan konsekuensi langsung dari kebijakan otonomi daerah yang mulai muncul pasca bergulirnya reformasi. Sejak pertama kali muncul pada tahun 1999, hingga saat ini total terdapat sekitar 151 perda syariah di seluruh Indonesia. Dalam implementasinya, beberapa Perda berlabelkan syariah berdampak pada pembatasan peran perempuan di ruang publik serta berpotensi untuk memiskinkan perempuan. Sebagai contoh, yaitu adanya perda yang mensyaratkan bahwa perempuan dilarang untuk keluar di malam hari tanpa ditemani muhrimnya. Perda ini tentu saja dirancang tanpa memperhatikan prakondisi-prakondisi khusus.

Bagaimana bila perempuan tersebut memang harus bekerja hingga malam hari? Bagaimana bila perempuan tersebut adalah seorang janda yang harus menghidupi anak-anaknya? Adanya pelarangan semacam itu tentu saja berpotensi untuk melemahkan ekonomi rumah tangga perempuan, terlebih yang menyandang status sebagai janda atau orangtua tunggal.

Selain itu, beberapa Perda syariah juga tidak memiliki ketetapan hukum yang pasti dengan adanya pasal-pasal karet. Sebagai contoh yaitu Perda kota Tangerang No.8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Dalam implementasinya, Perda ini menuai protes luas di masyarakat lantaran adanya ambiguitas, di mana Perda tersebut mengisyaratkan bahwa siapapun yang dicurigai sebagai pelacur, harus ditangkap. Hal ini tentu saja tidak adil, karena berakibat pada penangkapan perempuan-perempuan yang diduga sebagai penjaja seks. Sementara Perda ini sama sekali tidak menyentuh pihak laki-laki hidung belang yang juga berperan dalam industri prostitusi.

Pakar hukum Denny Indrayana dalam responnya terkait dengan implementasi Perda syariah mengatakan bahwa, Hukum harus berlaku sama. Jadi sangat diskriminatif ketika hukum hanya diberlakukan bagi perempuan, sementara tidak untuk laki-laki. Sementara itu, Dawam Rahardjo dalam tulisannya yang berjudul Masalah seputar Perda Syariat, menjelaskan bahwa perda syariah berdampak diskriminatif dan menimbulkan segregasi. Sebagai contoh misalnya dalam kasus pemisahan antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Selain itu, perda-perda syariah juga banyak mengatur mengenai cara berpakaian perempuan. Lebih jauh Dawam menjelaskan bahwa pakaian adalah wilayah privat, mengapa harus di-perda-kan ? Apabila seorang perempuan berpakaian dengan mengacu pada perda, bisa saja dilakukan akibat paksaan, bukan lagi merupakan ibadah.

Dikaji Ulang

Berkaca kembali pada peristiwa yang dialami Putri Erlina, berikut serangkaian kasus salah tangkap terhadap perempuan di berbagai wilayah, sudah selayaknya perda-perda yang mendiskriminasikan perempuan ini dikaji ulang. Apakah tepat apabila kemudian perempuan diposisikan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab lantaran krisis moralitas di masyarakat. Apakah tepat apabila kemudian solusi yang digagas oleh pemerintah daerah yaitu dengan menjadikan syariah sebagai landasan hukum, padahal yang sebenarnya terjadi adalah serangkaian praktek diskriminasi terhadap perempuan. Dari sini perlu adanya upaya untuk membenahi regulasi di daerah, karena sama sekali tidak menjawab mengenai isu moralitas.

Melihat kembali pada realita, Perda-Perda tersebut justru berimplikasi pada semakin meluasnya tindak kekerasan terhadap perempuan. Negara sudah seharusnya turun tangan dalam hal ini. Bagaimanapun, perempuan menjadi pihak yang paling rentan didiskriminasikan dan mengalami tindak kekerasan karena pemaksaan penerapan perda-perda yang bias gender.

Sejumlah pro kontra yang bermula dari rencana pemberlakuan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) di Aceh, ini mau tidak mau mengingatkan kita pada sejumlah kebijakan yang juga tak kalah ramai menuai pro kontra. Mungkin kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini, salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan. Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Aturan Perda tersebut memang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.”

Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda tersebut.

Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut. Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008 dalam kondisi depresi.

Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media. Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.

Selain korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai diberitakan adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah. Meskipun pada akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan untuk kemudian dilakukan revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah hukum Islam kaffah atas desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam sejumlah pemberitaan, Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil dalam Hukum Islam. Ulama Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan komponen masyarakat agar turut berpartisipasi member masukan kepada ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada pertengahan September 2009.

Menurut Musda Mulia (2009), tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayat) yang sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali, ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004. Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memiliki pengalaman di bidang hukum Islam Qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara beradab, melalui jalur perundang-undangan.

Lalu tahun 2000-an mulai marak kemunculan Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa tahun terakhir sejumlah hasil penelitian mengungkap Perda-perda diskriminatif di Indonesia semakin meningkat. Dimulai dari munculnya sejumlah pemberitaan tentang deretan persoalan dalam menyikapi proses eksekusi atas seorang terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi perundang-undangan yang dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi, tidak efektif dan lan sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Jender, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.

Dalam kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207 kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.

Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Di sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung akan menyebabkan suara perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat. Lebih jauh, masih berdasarkan rilis yang pernah dikeluarkan Komnas Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.

Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya