Oleh: Aspiyah Kasdini. R. A ( Kader Ulama Perempuan Jawa Barat)
Jika Buya Hussein memiliki tanggung-jawab untuk memberikan materi tentang metode tafsir yang rahmatan lil alamin, maka Bapak Mubadalah, yakni Yai Faqih, menjadi pembicara inti yang akan memberikan pemahaman kepada para peserta tentang studi hadis perspektif keadilan gender. Yai Faqih memulai kelas dengan membagikan kertas berwarna kuning dan spidol. Para peserta diminta untuk menulis nama panggilan kesukaan, nama lembaga yang berkesan selama hidup, dan peran yang paling ingin dikenal tentang diri pribadi.
Di sisi yang lain, Yai Faqih meminta peserta untuk menuliskan terjemah dan kesimpulan tentang teks al-Rijalu qawwamuna ala al-Nisa. Jawaban dari para peserta sangat beragam dan spektakuler dari segi tafsir, kebahasaan, maupun secara historis. Atas teks ini, pada akhirnya Yai Faqih memberi kesimpulan dengan pernyataan bahwasanya kita memiliki modal yang berupa teks yang dapat dikelola oleh orang lain, yakni berupa terjemahan. Kita sendiri pun diberikan modal berupa akal dan pengetahuan untuk mengelola data tersebut, hingga menjadi sebuah makna. Dalam pengetahuan juga ada yang namanya negosiasi, dimana antara pengetahuan dan realita yang dimiliki seseorang tidak selamanya sejalan.
Dalam negosiasi teks ini diperlukan kemampuan melihat konteks situasi dimana kita berada, rujukan pilihan yang digunakan, audiens, dan lain sebagainya agar kita dapat mempertanggung-jawabkan apa yang kita pilih. Tentang hidup adalah tentang pilihan, kita mau tidak mau, tidur sekalipun, kita dituntut untuk melakukan pemilihan atas apa yang telah tersedia. Sehingga kita harus memaknai teks berdasarkan apa yang telah dipelajari dengan melihat konteks yang kita hadapi. Lagi-lagi, sejauh mana kita dapat mempertanggung-jawabkan hal tersebut?
Dalam forum ini, Yai Faqih ingin menguatkan dan membantu para peserta untuk memilih dan memikirkan tentang tanggung-jawab ketika harus memilih atas pilihan yang dipilih. Tanggung-jawab ini tidak lain merupakan visi besar Islam, yakni rahmatan lil alamin. Apakah pertanggung-jawaban ini hanya berupa rahmah yang hanya untuk diri kita sendiri, atau justru musibah untuk orang lain?
Tanggung-jawab yang dimaksud juga untuk misi penyempurnaan akhlak al-karimah. Karena dalam hidup, kita hanya bisa memilih antara yang baik atau buruk, dan serupanya, sehingga yang membuat kita tetap menjadi orang yang sadar sebagai hamba Allah Swt dan memiliki mitra yang harus dibagusi relasinya adalah pilihan yang ahsan.
Menginjak tentang kajian hadis, menurut Yai Faqih, Hadis sebagai ilmu merupakan sesuatu yang kompleks. Hadis sendiri merupakan apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhamamd Saw. entah itu berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan. Kedudukan Hadis dalam pertanggung-jawaban adalah sebagai modal, alat, atau inspirasi dalam mewujudkan visi dan misi Islam.
Dalam penyandarannya saja, hadis memiliki banyak perdebatan dengan tingkatan-tingkatan yang bisa diteliti dan dikaji, namun umumnya manusia kerap abai untuk melakukan hal ini saat merujuk sebuah hadis. Lagi-lagi kita memiliki pertanggung-jawaban atas inspirasi-inspirasi yang kita miliki atas teks syara’ (baik Alquran maupun Hadis).
Bagi yai Faqih, menurut Ibnu Arabi, apa yang kita bagikan, beserta rujukannya, itulah yang menjadi pertanggung-jawaban pribadi, bukan tanggung-jawab orang-orang yang kita jadikan sebagai rujukan. Dalam realitanya, penggunaan modal berikut inspirasinya banyak didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga peran-peran tokoh perempuan tenggelam, padahal fakta sejarah dan modal yang ada dengan apik menuliskan tentang tokoh-tokoh yang hebat, baik laki-laki maupun perempuan, hanya saja jarang menjadi modal rujukan dan inspirasi yang berimbang dalam dunia intelektual Muslim.
Seperti modal hadis tentang mencium tangan suami oleh istri yang dapat menggugurkan dosa, dapat juga dimaknai/inspirasi sebagai mengingatkan kepada kebenaran, menganalogikannya adalah tanggung-jawab dari sang pemakna. Bagi Yai Faqih, dengan mencium tangan suami, suami lebih rida dan senang, sehingga tercatatlah amal baik dan pengurangan dosa yang dicatat oleh para malaikat.
Modal ini memberikan banyak inspirasi dari para peserta, dan semuanya didasari atas pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Seperti jika dibaca dari kaca-mata psikologi, umumnya jika sentuhan romantis didahului oleh istri, berarti istri tidak keberatan untuk melakukan sentuhan, tanpa ada paksaan, sehingga keduanya saling rida, bahagia, dan memberi. Adapun dari perspektif Tafsir, menurut Nyai Balqis, karena perempuan memiliki sifat feminis Rahman dan Rahim, sehingga demikianlah bunyi teks tersebut.
Kendati Hadis ini merupakan Hadis yang pendek, pemaknaannya sangatlah beragam, baik berupa pernyataan maupun pertanyaan. Tidak semua Hadis memiliki asbabun nuzul, sehingga diri pribadi harus mampu menginterpretasikannya sesuai dengan visi-misi Islam. Untuk dapat memiliki makna-makna yang rahmah, maka salah satu caranya adalah mencari makna yang dekat.
Seperti redaksi mencium, disamakan dengan menghormati, membahagiakan, bertindak dengan izin, dan makna-makna serupanya. Oleh karena ini, makna-makna demikian haruslah disebarkan, agar dunia tidak dipenuhi oleh makna-makna yang jauh dari modal semula. Sebagaimana pernyataan Buya Hussein, “Jangan mengutuk kegelapan saat kau tidak menyalakan lilin.”
Dalam praktiknya, usaha menghidupkan lilin ini ternyata telah dilakukan Nyai-Nyai yang mengikuti DKUP ini, seperti Nyai Royani yang dianggap menantang Yai Besar di sebuah Kecamatan X, dan Nyai Tazkiya yang justru dianggap liberal, bahkan oleh kalangan yang seharusnya menguatkannya. Bagi Yai Faqih, itu tentang pilihan, kita harus dihadapi dengan banyak pilihan agar tidak mati kutu. Pilihan ini adalah berbentuk strategi, yakni tentang bagaimana makna yang ingin kita sampaikan dapat sampai kepada mereka untuk difahami.
Bukan justru melanjutnkan dengan berdebat, karena perdebatan berbeda dengan diskusi, tidak ada yang dapat dihasilkan dari perdebatan, tentunya tidak ada gunya dalam konteks pengetahuan. Kalaupun tidak langsung melalui kita, makna itu tetap bisa sampai melalui siapa saja, dan di sinilah strategi yang harus difikirkan.
Bagi Yai Faqih, untuk memotivasi para peserta agar tidak mundur atas perjuangan yang ada, beliau mengatakan, ”Ada tidak adanya kita, bumi tetap akan berputar, tidak perlu mengahabiskan energi untuk mereka yang tidak melirik pada kita, melainkan fikirkan tentang diri sendiri, dan orang-orang yang masih akan menerima kita, bukan mereka yang menolak kita. Ini disebut pula sebagai ketaqwaan, yakni kesadaran dan respon diri bahwa kekuatan dan segala-galanya hanya milik-Nya.
Setelah istirahat selama 1, 5 jam, kelas Yai Faqih kembali dilanjutkan dengan pemanasan terlebih dahulu. Nyai Roziqoh memimpin ice breaking dengan permainan senam otak Gajah gajah Semut semut Ular ular Cacing cacing, yang mengakibatkan beberapa peserta harus mundur karena kalah. Hukuman yang diterima adalah memimpin Salawat Musawa yang diciptakan oleh Yai Faqih sendiri.
Setelah peserta berkumpul dan siap, Yai Faqih membuka kelas dengan menampilkan bahwasanya peredebatan tentang penggunaan istilah Hadis dan Sunnah yang terus menjadi perdebatan sejatinya bisa menjadi bahan inspirasi. Seperti contoh tentang perbedaan status Bismillah yang kerap dibacakan Rasulullah Saw. saat membaca surah Al-Fatihah dalam salat, apakah menjadi bagian surah Al-Fatihah atau tidaknya.
Sebenarnya banyak pandangan-pandangan tokoh yang sesuai dengan Alquran, seperti Muwafaqatul Umar. Apakah tidak ada pandangan-pandangan perempuan yang sesuai dengan Alquran? Tentu banyak sekali modal-modal teks yang terdapat di zaman Nabi yang hingga saat ini belum menjadi sumber inspirasi yang mumpuni.
Sebut saja peran Khadijah pada saat momen penerimaan wahyu pertama oleh Rasulullah, dan juga peran Siti Fatimah yang memberikan kekuatan saat masyarakat Makkah memperolok Kanjeng Nabi dengan perbuatan-perbuatan yang hina. Bahkan, sejarah juga mencatat bahwasanya Sumayyah (ibu dari Ibnu al-Amar bin Asyir) adalah salah satu syahidah ula yang jarang diangkat kisahnya pada tradisi intelektual Muslim.
Dari suatu modal, para tokoh bisa memilih kategorisasi pembaban, bahkan judul kitab tersendiri yang dapat menjadi inspirasi atas karya-karya fenomenalnya yang kemudian mempermudah masyarakat untuk memperdalam suatu ilmu, seperti kitab-kitab Hadis maupun Tafsir yang kerap menjadi rujukan sumber.
Khusus dalam ranah ilmu Hadis, ada sebuah ilmu yang sangat penting, yakni ilmu Sanad, atau ilmu tentang rangkaian isi Hadis yang dapat ditelusuri sejak zaman Nabi Muhamamd Saw. hingga 15 abad setelahnya (masa kini). Dalam bidang ini, dari satu generasi sanad ke generasi sebelum atau setelahnya juga menjadi suatu hal yang kompleks, karena adanya klasifikasi sanad yang terus diperdebatkan kualitasnya. Di ruang inilah yang umumnya menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam ranah Fikih.
Ibnu Jawzi, adalah seorang ulama yang menulis khusus permpuan di era awal, cuma sayang, tulisan-tulisannya justru disinyalir memojokkan perempuan. Hal ini tentu menyebabkan bangunan Fikih untuk era selanjutnya menjadikan perempuan sebagai sumber fitnah. Maka tidak aneh sekali mengapa kitab-kitab rujukan Islam sangat bias gender. Kemudian terjadi lompatan besar pada Al-Qanuji, Husnul Uswah, ini merupkn suatu gebrakan yang bertentangan dengan karya di masanya. Untuk hadis-hadis yang diperdebatkn, maka digunakanlh hadis-hadis yang mengedepankan akhlak dan moral, demkian kata Abu Syuqoh.
Meneladani Ummu Syuraiq, perempuan kaya raya yang dermawan, yang rumahnya menjadi tempat berkumpulnya para sahabat. Dari hadis Bukhori ini tmpak banyak inspirasi yang dilihat dari peran perempuan. Juga tentang bayi Umamah yang digendong saat salat Rasul menjadi imam. Menurut Yai Faqih, laki-laki yang menggendong anak bukanlah laki-laki yang lemah, melainkan laki-laki yang meneladani Nabi.
Paradigma mubadalah digunakan dalam membaca teks hadis. Itu bagaimana? Mubadalah berangkat dari keterimaan dulu, dan kemudian baru dimaknai. Intinya bagaimana kita menemukan kebaikan dalam teks. []