Dunia politik masih dianggap tabu oleh sebagian kaum hawa di negeri ini. Politik masih dianggap keras, kotor, licik dan menakutkan. Meskipun dalam pemilu 2004, sudah ada aturan quota 30% sebagai affirmative action, akan tetapi realitasnya masih jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini terlihat dari komposisi gender baik di DPR, DPD, DPRD maupun kepala daerah masih timpang. Menurut Syaefullah Ma’shum (Anggota Komisi II DPR RI) dalam seminar tentang ’Paket UU Politik Menuju Penguatan Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu 2009’ di Hotel Zamrud Cirebon, Selasa 11 September 2007 mengatakan, bahwa problem yang dihadapi dalam perjuangan pengarusutamaan gender ada tiga unsur; pertama, sebagian kaum lelaki yang memegang kekuasaan politik belum memahami pemahaman dan visi yang pro terhadap pengarusutamaan gender.
Kedua, inkonsistensi perjuangan pengarusutamaan gender dari kaum perempuan. Ketiga, strategi gerakan yang terkesan monoton dan eksklusif dan keempat, akibat dari ketiga problem tersebut adalah perjuangan pengarusutamaan gender dalam program legislasi dan kegiatan politik tampak lebih merupakan komoditas politik dari kekuatan politik belaka. Pernyataan tersebut kesannya terlalu pesimis dengan perjuangan gerakan perempuan selama ini. Seharusnya yang perlu dipertajam lagi adalah apakah affirmative action ini hanya sebuah tuntutan yang terlalu dipaksakan tanpa melihat kwalitas perempuan itu sendiri atau memang sudah menjadi keharusan yang perlu didukung oleh berbagai pihak? Karena quota 30 % itu sendiri masih menjadi perdebatan. Padahal angka 30 itu sendiri merupakan angka yang cukup signifikan dalam mengambil keputusan. Kalau secara demografis, memang jumlah penduduk Indonesia lebih banyak perempuan. Jadi kalau kita mau menuntut sebenarnya bisa lebih dari 50%, tapi perempuan tidak egois cukup 30% saja.
Harapan ke depan agar quota 30% ini benar-benar terwujud adalah dengan revisi UU Politik yang sedang digodog oleh DPR RI. Ida Fauziyah (Anggota Pansus RUU Politik) mengatakan bahwa kehadiran perempuan secara fisik sudah menjadi keharusan dalam pengambilan kebijakan untuk merefleksikan aspirasi perempuan, jadi tidak harus diwakilkan kepada laki-laki. Dalam revisi UU Politik juga akan dipertegas sanksi bagi Parpol yang tidak memberlakukan keterwakilan perempuan minimal 30% baik dalam kepengurusan ataupun caleg yang akan diusung dalam pemilu 2009. Kalau dalam UU Politik sudah jelas pengaturannya, maka internal partai harus membenahi diri dari segi AD/ART. Sehingga UU ini nantinya punya daya paksa terhadap Parpol yang selama ini memang tidak punya political will untuk mengakomodir kepentingan perempuan.
Saat ini masih sulit mencari kader perempuan yang siap baik secara fisik maupun mental untuk terjun di dunia politik. Hal ini diakui oleh Fikriyah (Anggota DPRD Kab.Cirebon) sampai kadang harus mencari-cari bahkan sempat muncul gurauan dari teman sesama anggota DPRD yaitu ”gimana kalau istri saya saja”?. Kadang untuk mengumpulkan perempuan ketika rapat saja sangat sulit. Ini memang sangat ironis ketika dihadapkan betapa persoalan perempuan semakin lama tidak bisa dibendung. Lalu siapa yang akan menyelesaikan, kalau bukan perempuan itu sendiri?. Namun dalam hal ini negara juga punya andil dalam melestarikan kondisi yang timpang ini. Karena pendidikan politik hanya menjadi komoditas parpol semata, tidak pernah disalurkan ke masyarakat luas sampai ke grass root level. Inilah kelemahan kita, yang mesti diperbaiki bersama. Sehingga ke depan harapan untuk meningkatkan kwalitas kehidupan perempuan tidak hanya sekedar wacana, akan tetapi menjadi sebuah kenyataan.[af]