Oleh: KH Husein Muhammad
Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah makhluk terhormat.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami tempatkan mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami unggulkan mereka sedemikian unggul atas kebanyakan ciptaan Kami”.(Q.S. al Isra, 70).
Sangat jelas, berdasarkan teks al Qur’an di atas, bahwa Tuhan sendiri sangat menghormati manusia. Dan manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling unggul di banding ciptaan Tuhan yang lain, termasuk Malaikat. Tuhan tidak menyebut identitas-identitas sosio-kultural bahkan tidak juga agama manusia.
Atas dasar penghargaan itulah, Tuhan menyerahkan kepadanya tanggungjawab pengelolaan, pengaturan dan pemakmuran bumi ini. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “Amanah”(kepercayaan).
Al-Qur’an menyebut manusia dengan tugas dan tanggung jawab itu sebagai Khalifah fi al Ardh. Kata ini biasa diterjemahkan dengan “wakil Tuhan”.
Dalam sebuah drama kosmik Tuhan menyatakan tugas kekhilafahan tersebut :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ketika Tuhan mengatakan kepada para Malaikat : “Sungguh, Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau”. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat, lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku nama- benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”.(Q.S. al Baqarah, 2:30-31).
Ayat al-Qur’an di atas ingin menjelaskan bahwa keunggulan manusia atas Malaikat terletak pada pengetahuannya tentang segala sesuatu dan berbagai hal. Pengetahuan merupakan unsur utama mengapa manusia lebih unggul dari ciptaan Tuhan yang lain. Ialah yang menjadikannya berbeda dari makhluk Tuhan yang lain dan yang membuatnya menjadi istimewa.
Tuhan menyuruh Adam untuk menyebutkan dan mengenali “nama-nama” yang ada di sekitarnya. Hal ini tentu mengandung makna yang mendalam dan luas. Nama adalah simbol-simbol atau tanda-tanda. Ia adalah symbol/tanda bagi seluruh ciptaan Tuhan.
Para filosof mengatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan paling agung, karena di dalam dirinya terhimpun seluruh potensi alam semesta. Potensi tumbuh-tumbuhan, kebinatangan, intelektual. Atau dalam bahasa yang lain potensi akal intelektual, Ruhani/spiritual dan gerak Fisik. Manusia diciptakan Tuhan dari semua unsur yang ada di alam semesta: tanah, air, api, angin dan cahaya.
Kaum sufisme, semacam Ibnu Arabi menyebut manusia sebagai “alam shaghir”, atau mikrokosmos. Apa yang ada pada manusia merupakan cerminan dari partikel-partikel alam semesta. Meski kecil, tetapi ia merupakan makhluk istimewa yang mencerminkan segala realitas yang ada di semesta besar (alam Kabir/makrokosmos).
Sebuah hadits sahih menyebut :
خلق الله آدم على صورته
“Allah menciptakan Adam (manusia) menurut citra-Nya”.
Ada banyak tafsir mengenai ini. Tetapi tafsir populer menyebut makna “citra” sebagai sifat-sifat. Jadi manusia diciptakan Tuhan dengan memiliki sifat-sifat Tuhan. Tetapi sifat-sifat manusia tidak sama dengan sifat-sifat Tuhan.
Perbincangan soal ini memang menarik tetapi juga sangat rumit. Dibutuhkan pengetahuan mendalam, filsafat dan sastra.
Syariat untuk Manusia di Dunia
Ibnu Asyur, pemikir Islam kontemporer dan penulis Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir, mengemukakan pandangannya yang saya kira sangat menarik. Ia mengatakan :
شريعة الاسلام جآءت لما فيه صلاح البشر فى العاجل والآجل أى فى حاضر الامور وعواقبها وليس المراد بالآجل أمور الآخرة . لان الشرائع لا تحدد للناس سيرهم فى الآخرة ولكن جعلها الله جزآء على الاحوال التى كانوا عليها فى الدنيا. لما كانت شريعة الاسلام ضابطة للسلوك الدنيوى فان المصلحة التى جاءت لتحقيقها لا يمكن ان تكون الا دنيوية , تهدف فى المقام الاول الى ضبط العالم الدنيوى.
“Syari‟ah Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di dunia sekarang dan nanti. Yang dimaksud dengan nanti bukanlah kehidupan di akhirat. Karena semua syari’at tidak mengatur urusan kehidupan manusia di akhirat, akan tetapi Allah menjadikan akhirat sebagai tempat dan saat pertanggungjawaban manusia atas perbuatan/tingkah lakunya selama di dunia. Manakala syari’at Islam merupakan aturan manusia di dunia, maka kemaslahatan yang harus diwujudkan tidak mungkin kecuali di dalam dunia ini. Ia diarahkan, dalam posisi utama, untuk pengaturan manusia di alam dunia. (Ismail al Hasani, Nazhariyat al Maqashid ‘ind al Imam Muhammad Thahair ibn „Asyur, al Ma‟had al „Alami li al Fikr al Islami, Virginia, USA, cet. I, 1995, hal. 281.
Rumusan tersebut sepertinya berbeda dengan pandangan mayoritas ulama. Pada umumnya para ulama menyatakan bahwa syari’at dimaksudkan untuk kebaikan/kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat (fi al-ma’asy wa al-ma’ad atau fi al-dunia wa al-akhirah). Akhirat dimaksudkan sebagai suatu kehidupan sesudah kematian manusia.
Ibnu Asyur tampaknya sengaja mengemukakan hal itu dalam rangka menegaskan tentang perlunya kaum muslimin memberikan apresiasi lebih besar terhadap persoalan-persoalan sosial/publik, kebangsaan dan kemanusiaan daripada urusan-urusan individual. Ibnu Asyur merasakan bahwa selama kurun waktu yang panjang, perhatian kaum muslimin terhadap urusan syariah individual begitu dominan, sementara mereka kurang responsip terhadap urusan-urusan sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta hal-hal publik lainnya.
Jamal al-Banna dalam bukunya “Nahwa Fiqh Jadid” menyebut : tulisan-tulisan para ulama fiqh tentang ibadah personal jauh lebih banyak daripada tentang “al-mu’amalat”. Katanya :
تضخم الفقه العبادى تضخما غطى على بقية مجالات وموضوعات الفقه الاسلامى الذى يضم الشريعة وما فيها من نظم سياسية واقتصادية واجتماعية
“Fiqh ibadah berkembang begitu besar. Ia mendominasi bidang-bidang dan kajian-kajian fiqh Islam, di mana syari’at meliputi aturan-aturan tentang politik, ekonomi dan sosial”.
Jika pandangan ini diikuti maka mungkin akan menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kebudayaan masyarakat muslim (Majaalat al-Mu’amalat al-Madaniyah).