Jumat, 22 November 2024

Teori Interdependensi dan Mubadalah

Baca Juga

Oleh: Abdul Rosyidi

Satu yang paling menarik dan berbeda dari paparan KH Faqihuddin Abdul Kodir saat Bengkel Mubadalah di Malaysia pekan lalu adalah digunakannya teori psikologi Interdependensi Stephen R. Covey. Teori dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People ini digunakan untuk menjelaskan pentingnya kesalingan dalam sebuah relasi.

Dalam teori ini, Covey membagi tahapan manusia menjadi tiga, dependen (tergantung), independen (merdeka), dan interdependensi (saling ketergantungan). Pada tahap dependen, manusia amat bergantung dan mengandalkan orang lain. Semua manusia mengalami tahap ini saat dia lahir dan masih menjadi bayi, anak-anak bahkan remaja.

Relasi antara suami dan istri di dalam perkawinan selaiknya tidak berada pada tahapan ini. Di mana satu pihak hanya bergantung kepada yang lain. Unsur kesalingan dalam relasi dengan karakter dependen akan sulit tercapai.

Pada tahap kedua, manusia sudah bisa mengatur dan membuat keputusan sendiri, independen. Orang yang independen memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, mengetahui hal-hal yang harus diprioritaskan dalam hidupnya, serta memiliki perencanaan kehidupan yang matang. Relasi suami dan istri akan kuat saat kedua pihak berada pada mode independen. Satu sama lain bisa menjalani hidup dengan baik meski tidak terikat tali pernikahan.

Akan tetapi yang terjadi pada tahap ini hanya adalah suami dan istri sama-sama kerja. Bukan kerjasama. Menurut Covey, model independen tidak optimal untuk digunakan dalam lingkungan yang membutuhkan kerjasama.

Supaya terjadi kerjasama, pasangan harus didorong ke tahap ketiga, interdependen. Pada mode ini, kedua pihak bekerja sama untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai secara independen. Sesuatu yang lebih besar dibandingkan kepentingan diri sendiri. Sebagian orang masih beranggapan bahwa kebahagiaan adalah kemandirian dan kemerdekaan, meski kenyataannya kita saling bergantung.

Dalam hal ini, teori interdependensi ini mendorong siapapun untuk menyadari bahwa kesalingan adalah penting. Karena hidup ini selalu mengandaikan sebuah relasi, utamanya dalam kehidupan berkeluarga, antara suami dan istri. Di sinilah teori ini sesuai dengan mubadalah yang mendorong agar prinsip relasi suami dan istri adalah kesalingan, saling melengkapi, saling menolong, saling mengasihi, dan sebagainya.

Selanjutnya, berdasar tiga tahapan tadi, Covey merinci kebiasaan-kebiasaan penting yang dibutuhkan agar kesuksesan bisa diraih seseorang. Dalam hubungan suami istri, nilai-niai ini berguna untuk membangun relasi yang bahagia dan membahagiakan.

Kebiasaan pertama, Be Proactive. Kebaikan harus dimulai dari dalam, tidak bisa mengandalkan sinyal dari pasangan. Berusahalah untuk menjemput bola dengan mengambil inisiatif membuka komunikasi dengan pasangan.

Kebiasaan kedua, Begin with the End in Mind. Mempunyai tujuan hidup, mimpi, dan cita-cita perkawinan yang bersumber pada prinsip pribadi. Kebiasaan ketiga, Put First Things First. Mendahulukan hal-hal yang utama. Lakukan segera apa-apa yang sesuai dengan misi pribadi.

Kebiasaan keempat, Think Win/Win. Berpikirlah dan carilah cara untuk sama-sama menang. Carilah kesepakatan dan hubungan yang saling menguntungkan untuk suami dan istri. Andai tidak bisa untuk sama-sama memang, maka lebih baik untuk tidak menyepakati sama sekali.

Kebiasaan kelima, Seek First to Understand, Then to Be Understood. Berusahalah untuk memahami pasangan sebelum pasangan memahami kita. Covey menyajikan kebiasaan ini sebagai prinsip yang paling penting dari hubungan interpersonal. Mendengarkan akan menempatkan diri dalam cara pandang pasangan. Mendengarkan secara empatik akan membuat kita mendapatkan perasaan dan makna yang dipahami pasangan.

Kebiasaan keenam, Synergize. Tidak ada manusia yang diciptakan serupa, termasuk suami dan istri. Maka temukan cara untuk memanfaatkan perbedaan masing-masing agar tercipta sinergi, kemudian menciptakan capaian bersama yang lebih besar daripada yang bisa dicapai masing-masing. Saling mempercayai dan memahami juga bisa menyelesaikan konflik dan solusi yang lebih baik. Alih-alih memaksakan solusi dari salah satu pihak.

Kebiasaan ketujuh, Sharpen the Saw. Terus menerus menempa diri untuk meningkatkan kemampuan masing-masing, juga meningkatkan kualitas relasi antar pasangan. Tidak pernah berhenti untuk memperbaharui dimensi fisik, mental, social, emosional, dan spiritual. Serta menjaga keseimbangan antar dimensi.[]

Sumber: Mubaadalahnews

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya