Kita patut mengapresiasi kerja keras yang sudah dilakukan oleh pihak kepolisian. Seperti yang dilaporkan oleh Harian Kompas (Selasa, 30 Agustus 2016). Pihak kepolisian berhasil menangkap enam terduga teroris anggota Katibah Gonggong Rebus (KGR) yang beroprasi di Batam pada awal Agustus lalu. Penangkapan itu berdasarkan infomasi bahwa mereka disinyalir akan merencanakan aksi teror ke Singapura. Kasus serupa terjadi pada akhir september 2016 yaitu terjadi kerusuhan Tanjung Balai, Sumatra Utara. Masa yang beringas membakar rumah ibadah, kendaraan bermotor dan melakukan penjarahan.
Modus kelompok teror ini memiliki kesamaan di antarnya menggunakan media siber sebagai ajang aksi mereka. Sebagai media rekrutmen dan dogmatisasi para korban sampai rencana aksinya. Dalam kasus KGR Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, saat merencanakan aksi ke Singapura kelompok ini berkomunikasi melalui media sosial Facebook (Fb)dengan Bahrun Naim. Salah seorang sayap militer Negara Islam di Irak dan suriah (NIIS) asal Indonesia.
Sama halnya kasus Balai Tanjung, Kapolri Jenderal Polisi Tito KarnaVian dalam pernyataannya mengatakan awal mula kejadian tersebut pelaku menyebarkan ajakan bernada provokatif disertai ujaran kebencian untuk menyerah rumah ibadah itu melalui media sosial Fb. Tanpa mengenyampingkan sebab utama kejadian itu, media sosial sudah menjadi alat yang sangat efektif untuk melancarkan aksi teror tersebut.
Kasus ini menunjukkan bahwa dunia siber telah menjadi domain baru gerakan teroris. Pemetaan jaringan teroris tidak selalu berkaitan dengan kelompok besar, seperti al Qaeda dan NIIS. Ada kelompok-kelompok individual yang sama radikal dan berbahayanya yang tercipta hanya melalui interaksi media sosial.
Hal ini menunjukkan modus kegiatan teroris di dunia siber menjadi kian kompleks. NIIS misalnya dengan efektif dan mudah menggunakan media sosial untuk merekrut anak-anak muda. Memberikan tritmen atau car-cara melakukan aksi teror melalui media ini. Inilah yang disebut perang terselubung.
Saat ini warga Indonesia sebanyak 568 orang Indonesia pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan NIIS. Sebanyak 183 orang di antaranya sudah kembali. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan Malaysia dengan 73 orang dan Australia 110 orang yang telah berangkat ke Suriah dan Irak.
Teror Nyata Dunia Siber
Jean Baudrillard menyatakan yang menarik dari peristiwa terorisme, bukanlah kekerasannya, melainkan cara kekerasan ini dijadikan sebagai modal publikasi.
Konflik di dunia siber tidaklah berdiri sendiri, selalu mencakup banyak konteks termasuk politik, ekonomi, teknologi, media dan ideologi. Batas antara satu dengan yang lainnya telah kabur. Dunia siber telah mengubah batas antara perang dan damai, meniadakan geografi dan jarak, bahkan memisahkan batas antara aktor negara dan non-negara.
Seperti yang diungkapkan Yasraf Amir Pilliang dalam bukunya Hiper Realitas, bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti dunia siber ini telah menciptakan sebuah dunia yang di dalamnya citraan atau tontonan memiliki peranan yang sangat sentral dalam mendefinisikan realitas, hal ini sangat strategis bagi pelaku teror yang dapat memperbesar efek modulasi teror yang dihasilkan.
Jean Baudrillard dalam hal ini mengatakan yang menarik dari peristiwa terorisme, bukanlah kekerasannya, melainkan cara kekerasan ini dijadikan sebagai modal publikasi. Melalui media tersebut salah satunya video dan internet seperti yang dilakukan NIIS selama ini. Saat ini gerakan teror tidak bisa hanya dikaitkan oleh satu kelompok tertentu saja. Karena sekarang para pelaku teror dapat bersembunyi dibalik topeng-topeng, menggunakan tangan-tangan bayaran,memakai pakaian tertentu, seolah-olah mewakili ideologi atau atas agama tertentu padahal dibalik itu ada pelaku teror yang sesungguhnya yang memainkan realitas dengan memainkan psikologi massa, citra dna opini publik demi kepentingan tertentu.
Sekali lagi, terorisme saat ini tidak bisa lepas dari dunia informasi, dunia siber. Hal tersebut terbukti nyata, seperti yang dilakukan IAH (17) pelaku percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Ia mengaku terinsiprasi dari video rekaman teror yang dilakukan NIIS di Paris. Selanjutnya ia pernah bertemu dengan seseorang yang mengiming-imingi uang sebanyak 10 juta, seperti gayung bersambut ia pun akhirnya berikrar sebagai simpatisan NIIS. Selanjutnya IAH belajar merakit bahan peledak dan merencanakan aksi teror dengan melihat dan berkomunikasi melalui internet.
Perang Ujaran di Media Sosial
Media sosial merupakan sarana komunikasi bagi setiap orang. Banyak hal yang bisa digunakan di dalam media ini, orang bisa dengan mudah mencari informasi, berbisnis, membentuk komunitas bahkan hanya sekadar memunculkan keadaan yang sedang dilakukan di laman status.
Dari laman status tersebut sang empunya akun bebas mengungkapkan apa saja, baik perasaannya, mengutarakan pendapatnya sampai pada berbagi link berita ataupun situs lainnya. orang bebas berkomentar atau menanggapi status kita, tak jarang demi mendapatkan popularitas diri atau prodaknya mereka menggunakan jasa pendulang like`rs agar segera dapat dilihat dan dibaca status maupun tawaran prodaknya.
Media sosial kini menjadi dunia baru yang lebih asyik untuk bercengkrama, lebih nyaman untuk mencurahkan isi hati, lebih cepat untuk mendapatkan jawaban atas pertanyan-pertanyan yang ada di dalam fikiran.
Sekilas media sosial begitu bermanfaat bagi kehidupan ini. namun begitu selalu ada sisi yang negatif dari sarana ini. alihh-alih menyatukan jejaring sosial di dunia mayam namun ralitas kehidupan yang sesungguhnya terabaikan. Orang lebih senang dengan gadgetnya dibandingkan bercengkrama langsung dengan kawan disampingnya.
Kita membaca dan menonton di media sosial saling serang karena tafsir tertentu yang berbeda, ini tidak akan menyelesaikan masalah, harusnya menyebarkan kebenaran, pandangan kagamaan yang merahmati semua orang, karena agama hanya hadir untuk memberi kasih kepada orang lain, memberi kasih kepada semesta.
Yang berbahaya lagi adalah viralnya ujaran kebencian di laman status dan komentar dalam media sosial. Perang ujaran terjadi di sini, mereka saling serang dengan argumennya masing-masing, alih-alih menyelesaikan maslah justeru meruncingkan kebencian itu.
Berawal dari perang ujaran tak ayal terjadi kerusuhan yang nyata di kehiupan yang sesunggguhnya, bertindak anarkis bahkan gerakan teroris seperti yang terjadi di Tanjung Balai dan percobaan bom bunuh diri yang terjadi di Medan. Ini jelas menjadi ancaaman serius bagi hubungan sosial kita saat ini.
Terkait dengan hal itu, perlu diperhatikan sebagai pengguna media sosial atau dunia siber kita harus lebih arif dalam menggunakan dan memanfaatkannya. Pemerintah harus mengoptimalkan regulasi UU Informasi dan transaksi elektrinik serta Surat Edaran Ujaran Kebencian (Hate speech).
Harus ada proteksi dini terutama oleh pihak kepolisian, untuk dapat meminamalisir dampak yang meluas. Terutama sekali meningkatkan pengamanan memalui teknologi siber, begitupun TNI harus memilikinya. Proteksi itu tentunya tanpa mengenyampingkan hak kebebasan berpendapat. Dalam persoalan ini sebagai pengguna layanan media sosial pro-aktif menebarkan berita non-provokatif sebaliknya menyuarakan perdamaian. Akhir kata, menebarkan ujaran cinta, kasih dan perdamaian lebih penting dibanding ujaran kebencian. ***