Banyak orang bertanya kepadaku, termasuk dari luar negeri : dari mana dan sejak kapan anda punya pikiran seperti yang anda miliki saat ini? Aku selalu menjawab : Antara lain : aku mendengarkan pandangan, membaca tulisan dan berdiskusi dengan Kiyai Masdar Farid Mas’udi, saat ia menjadi wakil lalu direktur P3M, sekitar tahun 1985-2000 an. Aku sering diundangnya dalam banyak diskusi/halaqah. Aku beruntung diajak ikut Halaqah para ulama NU yang diselenggarakan P3M. Aku juga terlibat diskusi hangat dengan para kiyai, ulama/NU senior, tentang “Kontekstualisasi Kitab Kuning” gagasan Gus Dur, di Watucongol, Muntilan, Magelang, tahun 1988. Lalu ikut serta merumuskan “Sistem Pengambilan Keputusan dalam Bahtsul Masail NU” yang kemudian disahkan dalam Munas NU di Lampung, 1992.
Terganggu Masdar
Aku sering terganggu oleh pikiran-pikirannya yang “nyeleneh”, “Gharib”, “aneh”. Tetapi juga mengagumi nya. Dia sangat berani dan teguh. Salah satu soal yang mengganggu itu adalah perdebatan saya dengannya tentang Akal dan Wahyu. Dia mengakhiri debat itu dengan pertanyaan : “Siapakah yang menentukan “ini” lebih utama dari “itu”, atau “siapakah yang menentukan ini yang benar dan itu yang keliru”?. Lalu katanya : “pertanyaan ini tidak usah dijawab sekarang”. He he he.
Dua bukunya sangat fenomenal dan mengesankan : ‘Islam Agama Keadilan” dan “Islam dan Hak-hak Kesehatan Reproduksi”.
Untuk buku yang pertama “Islam Agama Keadilan”, aku sudah menulis resensinya, dan dimuat di sebuah majalah. Aku sudah lupa namanya. Aku juga sudah menulis panjang tentang teori “Qath’i” – “Zhanni”, dan tentang kaedah “Idza Shahhat al-Mashlah fa hiya Madzhabi” (jika ada kemaslahatan di situlah Madzhabku)”. Kedua tema itu menjadi dasar pikirannya. Aku mengkritisi dua kaedah hukum tersebut dan naskahnya sudah aku kirim ke dia. Sayangnya, kantor P3M kebanjiran. Tulisanku itu hanyut ditelan banjir.
Tahun 1997 (jika tidak salah) aku bersamanya menghadiri Seminar internasional di Kairo yang membahas “Islam dan Kesehatan Reproduksi”. Dihadiri oleh 40 lebih negara Islam. Masdar tampil mempresentasikan pikirannya dalam bahasa Inggris yang fasih. Ia memukau sekaligus mengundang kontroversi.
Selama 5 hari di sana, aku dan dia tidur di wisma Nusantara dan naik ojek mobil berdua pergi dan pulang dari seminar itu.
Tokoh Cemerlang
Kepada salah seorang teman aku bilang : “tokoh NU yang paham kitab kuning dan sangat kuat perspektifnya tentang sistem Kebangsaan (Nasionalisme) dan Demokrasi adalah Masdar F. Mas’udi. Dia murid utama Gus Dur. Dia Kiyai progresif yang bersahaja.
Terimakasih sahabatku Kiyai Masdar atas “gangguan” dahulu kala itu. Selamat untuk sumbangan pikiran keislaman yang disampaikan kemarin di pengadilan yang sangat berharga bagi masa depan Indonesia. Semoga sehat dan berkah.