Maraknya kasus trafficking (perdagangan perempuan dan anak) akhir-akhir ini berawal dari adanya anggapan yang hanya memandang perempuan sebagai obyek dan benda mati. Perempuan, dalam konteks ini dianggap sebagai barang komoditi yang bisa dipindah-pindahkan untuk diperdagangkan dengan cara memanipulasi, mengeksploitasi dan bahkan menjualnya secara paksa.
Dalam prakteknya, ‘perdagangan perempuan’ ini menyangkut segala perilaku yang melingkupi rekruitmen, pemindahan secara paksa dan atau jual beli, atas diri perempuan, di dalam maupun melewati batas-batas negara, dengan menggunakan cara-cara tidak jujur, atau menipu, mengancam secara langsung atau tidak langsung, dengan tujuan menempatkan perempuan di luar keinginan atau sepengetahuannya.
Yang masuk dalam istilah ‘perdaganan perempuan’, tidak saja pelacuran yang dipaksakan atau perdagangan seks, melainkan juga bentuk-bentuk eksploitasi lain, kerja paksa dan praktek perbudakan, termasuk penjualan perempuan sebagai pembantu rumah tangga atau isteri simpanan.
Agama manapun, termasuk Islam tentu tidak merestui praktek-praktek ‘perdagangan’ seperti ini. Tetapi kita tidak sepantasnya menyalahkan mereka yang menjadi korban ‘perdagangan’ tersebut sebagai perempuan yang tidak berakhlak dan tidak bertanggung jawab. Karena mereka adalah korban, dari sebuah sistem sosial yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bisa hidup layak sebagai manusia yang memiliki harga diri.
Kebodohan dan kemiskinan perempuan, seringkali menjadi penyebab utama dan membuat mereka menjadi rentan terhadap praktek-praktek perdagangan atau trafficking. Karena itu, kemandirian ekonomi perempuan dan pendidikan perempuan menjadi suatu keharusan untuk diprioritaskan. Baik pada tingkat keluarga, masyarkat, maupun kebijakan negara di pusat dan di daerah.
Islam adalah agama yang senantiasa menebarkan rahmatan lil ‘alamin dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Islam melarang dan menentang keras berbagai tindakan yang melanggar hak-hak kemanusiaan termasuk praktik-praktik perdagangan perempuan dan anak (trafficking). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Swt: “Dan sungguh telah Kami muliakan anak-ana Adam (manusia)” (QS, al-Isra, 17: 70).
Kalau diamati secara cermat, Perdagangan perempuan dan anak pada dasarnya bukan masalah baru dalam konteks peradaban umat manusia. Ini adalah masalah purba yang dimodernisasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah legal, benar, dan sesuai dengan trend peradaban manusia kontemporer.
Dalam masyarakat Arab pra-Islam, yang sering disebut dengan masyarakat jahiliyah, praktik-praktik yang merendahkan martabat kemanusiaan ini sudah terjadi. Di mana manusia yang lemah diperbudak oleh meraka yang kuat dan berkuasa, perempuan diperlakukan sebagai barang yang diwariskan, dikubur hidup-hidup karena menanggung malu (aib), dipertukarkan dengan kepentingan tertentu, dijadikan pemuas nafsu seksual bagi para pembesar dan pemenang perang, dan dijadikan budak yang dapat diperjual-belikan oleh siapapun yang memiliki uang dan kekuasaan.
Setelah Islam datang yang dibawa oleh Muhammad, berbagai bentuk perlakuan yang merendahkan derajat kemanusiaan tersebut sedikit demi sedikit dihapuskan. Islam datang dengan membawa derajat kesamaan tanpa membedakan manusia berdasarkan ras, etnis dan jenis kelamin. Sistem perbudakan dihapus, martabat perempuan diangkat dan disejajarkan dengan laki-laki.
Kasus-kasus perdagangan manusia yang sudah terungkap di media sudah cukup banyak, apalagi jika digabungkan dengan yang tidak terungkap akan banyak sekali jumlahnya. Kasus-kasus ini dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk: Pertama, Perdagangan anak untuk dipekerjakan di jermal (lepas pantai); Kedua, Perdagangan untuk dipekerjakan sebagai pekerja domestik. Seringkali, awalnya para perempuan atau anak dijanjikan untuk disekolahkan dengan gratis, atau perempuan akan memperoleh gaji besar, padahal mereka dipekerjakan dalam wilayah domestik (pembantu di dalam rumah), tanpa persetujuan dan sepengetahuan mereka; Ketiga, Perdagangan untuk dijadikan pengemis. Fenomena pengemis yang terjadi di pinggir jalan atau di lampu merah, banyak sekali dari mereka yang dikoordinir oleh seseorang yang dengan paksa merekrut anak-anak, bahkan bayi, dan perempuan untuk mengemis di jalan-jalan; Keempat, Perdagangan untuk peredaran narkotika dan obat-obat terlarang; Kelima, Perdagangan anak/perempuan untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks. Dalam suatu penelitian, hampir 30 % dari pekerja seks di Indonesia adalah anak-anak yang berumur di bawah 18 tahun, yang pasti direkrut dengan cara paksa, atau melalui penipuan yang terorganisir. Bahkan, yang sudah dewasapun, kebanyakan dari mereka terjerumus karena jeratan para pelaku perdagangan manusia (trafficking); Keenam, Perdagangan perempuan untuk kepentingan ‘perkawinan palsu’ antar negara, hanya untuk pemuasan nafsu belaka; dan Ketujuh, Perdagangan melalui adopsi palsu untuk kepentingan yang sama sekali tidak jelas, dan tidak menguntungkan korban.
Kasus perdagangan manusia di atas memerlukan komitmen yang tegas dari seluruh komponen masyarakat, terutama para penegak hukum. Jika tidak, maka korban yang jatuh akan terus bertambah. Hari ini orang lain, esok mungkin tetangga kita, saudara, atau mungkin kita sendiri yang menjadi korban. Kemanusiaan kita memang sedang diuji, apakah kita mampu mengatasinya atau malah melanggengkannya. Trafficking menjadi sebuah ancaman besar bagi nilai-nilai kemanusiaan kita. Dan bagi para pelaku trafficking ingatlah akan pesan Nabi Saw yang menyatakan bahwa: “Diantara orang yang menjadi musuh Allah di akhirat nanti, adalah orang yang mempekerjakan buruh, menerima manfaat darinya, tetapi ia tidak memberikan upahnya (yang semestinya)” [HR, Muslim].
Sumber: Blakasuta Ed. 7 (2004)