Oleh: Rozikoh Sukardi
Sebagaimana telah banyak diprediksi bahwa kasus ujaran kebencian di Indonesia akan semakin marak terjadi. Terlebih di tahun politik 2019, tepatnya tanggal 17 April 2019, yang saat itu seluruh rakyat Indonesia akan merayakan pesta demokrasi, berupa pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif di semua tingkatan, baik tingkat kabupaten atau kota, provinsi maupun pusat.
Berdasarkan data Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2019 yang dirilis oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 29 September 2018, menyebutkan bahwa sebanyak 90 daerah atau 17,5 persen dari kabupaten atau kota di seluruh Indonesia masuk ke dalam kategori rawan tinggi isu ujaran kebencian. Sementara itu, sisanya 424 daerah atau 82,5 persen kabupaten/kota di seluruh Indonesia masuk kategori rawan sedang. Pengukuran kerawanan isu ujaran kebencian dan SARA didasarkan pada tiga subdimensi yang dibuat Bawaslu. Ketiganya, yaitu relasi kuasa dengan tingkat lokal, kampanye dan partisipasi pemilih.
Kasus ujaran kebencian yang berkembang di Indonesia belakangan ini lebih banyak berbasis pada perbedaan agama dan ideologi. Ia seringkali digunakan sebagai instrumen politik untuk memeroleh dan meningkatkan dukungan publik dengan cara menjatuhkan lawan politiknya. Tentu saja berkembangmya ujaran kebencian selama masa kampanye politik ini sangat meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sekaligus juga dapat menghancurkan kesatuan Republik Indonesia.
Merebaknya ujaran kebencian di ruang publik adalah gejala yang dihadapi oleh Indonesia pasca terjadinya perubahan dan keterbukaan politik sejak 1998. Hal ini didukung dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, seperti media sosial, yang semakin berkembang maju. Perubahan dan perkembangan ini kemudian memberi ruang secara bebas dan luas bagi setiap orang untuk melakukan berbagai bentuk ekspresi di ruang publik. Di sini muncul persoalan dimana tidak semua orang yang menggunakan ruang keterbukaan dan informasi ini memiliki sikap kewargaan untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan. Salah satunya ditandai dengan merebaknya ujaran kebencian yang menyerang dan merugikan hak asasi.
Untuk mengatasi maraknya praktik ujaran kebencian di tahun politik ini, perlu dilakukan penguatan sinergi antar pemangku kepentingan dalam melawannya. Masing-masing pemangku kepentingan, baik dari unsur negara seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kepolisian, Kejaksaan, dan badan-badan pemerintahan lainnya perlu bersinergi secara baik dan tepat dengan pemangku kepentingan dari unsur non-negara (non-state actors) seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, dan lembaga-lembaga swadaya pemerhati masalah sosial, hukum, dan hak asasi manusia di Indonesia.[]