Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia.
….Melas temen nasib TKW, maksud ati pengen manggawe. Kanggo mbantu ekonomi keluarga. Mangkat kerja ning Saudi Arabia…..Bli digaji sampe taunan, awak rusak ilang kehormatan. Kaniaya nasibe wong ra duwe, nyawa TKW langka regane…..Arep njaluk tulung ning sapa, Arabia jagate sapa. Yen wis inget wong ra duwe, rasa ngenes balik bli bisa…
(Nasib TKW, Ciptaan Papa Irma)
Kondisi Sosial-Ekonomi Indramayu
Masyarakat Indramayu, khususnya yang berada di pelosok-pelosok desa atau kaum miskin kotanya adalah masyarakat terpinggirkan (mustadh’afin) dengan basis ekonomi agraris, alias mengandalkan pertanian. Hamparan luas sawah dan posisi Kabupaten Indramayu sebagai penghasil 30 % produksi beras nasional tidak terlalu terasa bagi kaum mustadh’afinnya. Ini diantaranya karena ada soal kepemilikan tanah yang tidak merata. Di mana tanah hanya dimiliki 30 % penduduknya yang merupakan tuan tanah, sedangkan 70 % penduduk lainnya adalah buruh tani, yang tidak memiliki tanah. Kalaupun buruh tani memiliki tanah, itu pun tidak memadai.
Sebagai contoh mudah, Dusun Sudimampir, kecamatan Sliyeg, kabupaten Indramayu, dusun yang akrab dengan nuansa kemiskinan. Hampir tidak ada pilihan bagi penduduknya untuk memilih profesi selain menjadi buruh tani. Dengan pola setahun dua kali panen, masyarakat terpaksa harus hidup dalam kemiskinan yang langgeng. Apa lagi sekarang, harga sewa lahan dan harga menggarap tanah semakin mahal.
Di Balongan, tidak jauh dari Sudimampir, terdapat pabrik pengolahan minyak milik Pertamina. Namun bagi penduduk setempat, pabrik itu tetap saja asing. Cerobong asap hanya menyisakan kisah perubahan lahan pertanian menjadi kompleks pabrik yang menghasilkan minyak yang melimpah. Harga minyak yang terus naik pun, ikut dirasakan warga sekitar.
Nestapa kemiskinan Sudimampir lebih terasa ketika kita menyusuri lorong-lorong kampung. Jalan-jalan tanah, orang tua yang sekadar duduk-duduk di depan rumah, anak muda laki-laki nongkrong di pojok kampung, kolam mandi dengan air kotor, orang tua laki-laki menambal ban sepeda tua karatan, semuanya menegaskan kisah pilu tentang kemiskinan yang lekat dengan masyarakat.
Untung Rugi Jadi TKI
Bekerja di luar negeri menjadi TKI memang menjanjikan. Dari sisi keuangan, bekerja di luar negeri menjanjikan gaji besar dan lumayan. Di masyarakat (pedesaan khususnya) bekerja di luar negeri dapat meningkatkan status sosial. Karena dengan uang kiriman TKI, keluarga di rumah dapat dengan mudah membangun rumah, membeli motor, menyekolahkan anak hingga tamat, atau membuka usaha sendiri dan lain-lainnya. Semantara bagi TKI, bekerja di luar negeri, selain dapat menambah ketrampilan dan pengalaman, juga dapat menambah kepercayaan diri. Dengan bekerja di luar negeri seorang TKI semakin dihargai di dalam keluarga, karena biasanya merekalah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Selain berbagai keuntungan, tidak sedikit pula kerugian akibat bekerja di luar negeri. Dari sisi keuangan, biaya bekerja di luar negeri, jika dihitung dengan teliti, lebih tinggi dari yang dibayangkan. Banyak biaya yang keluar justru bukan yang diperhitungkan semula, seperti biaya perjalanan, pembuatan passport dan dokumen-dokumen lainnya. Karena itu banyak calon TKI terpaksa hutang ke sana ke mari agar cepat berangkat. Dan sebagai akibatnya banyak di antara mereka yang terjerat hutang kepada agen. Jeratan hutang ini berpotensi mengebiri hak-hak TKI akan upah yang layak.
Pemerintah Abai Rakyat Tergadai
Resiko yang dihadapi TKI di atas sesungguhnya bukan resiko kerja biasa, tetapi lebih karena tidak adanya perlindungan hukum dari pemerintah. Dalam hal ini pemerintah atau negara bukan saja tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya, tetapi negara juga lemah dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Padahal saat ini, pemerintah menargetkan pengiriman 5 juta buruh migran hingga 2009, tahun ini ditargetkan sebanyak 1 juta orang, dengan perhitungan satu orang buruh migran akan menghasilkan 100 dolar perbulan. Pemerintah mendapatkan keuntungan dengan mengirimkan buruh migran, akan tetapi pemerintah tidak serius dalam memberikan perlindungan keamanan dan hak-hak mereka.
TKI adalah penghasil devisa bagi negara. Setiap tahun ratusan juta dolar uang mereka kirimkan dari luar negeri. TKI juga adalah warga negara yang berhak atas jaminan keamanan dari negara. Dalam Pasal 21, UU No 37 Th 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, disebutkan bahwa: ”Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia”
Pemerintah: Mahram Bagi TKW
Islam tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja. Anjuran berusaha dan bekerja terdapat di banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Bukankah di dalam Al-Qur’an, keimanan selalu dikaitkan dengan amal saleh, yang berarti kerja-kerja positif, baik yang terkait dengan ibadah ilahiyah, maupun kerja-kerja kemanusiaan (ekonomi, politik dan lain sebagainya). Beberapa ayat Al-Qur’an menunjukkan kerja-kerja yang dilakukan perempuan. Dua putri Nabi Syuaeb as yang menggembala kambing (Q.S., Al-Qashash, 23-28), Ratu Saba yang bekerja di bidang politik dan pemerintahan (Q.S., An-Naml: 20-24), dan juga perempuan yang bekerja di bidang pemintalan (Q.S., Alth-Thalaq: 6) dan jasa penysuan bayi (Q.S., An-Naml: 233).
Dalam satu hadits, Nabi SAW menyarankan semua orang, laki-laki atau perempuan untuk bekerja dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup, dan agar tidak tergantung pada orang lain. Sabda Nabi menyatakan: ”Demi dzat yang menguasai diriku, seseorang yang menggunakan seutas tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya dari pada harus meminta-minta kepada orang lain.” (Bukhari, no hadits 1470).
Penulis adalah anak petani Indramayu, lama menjadi santri KH. Slamet Firdaus, sekarang bekerja untuk kemanusiaan di Fahmina Institute
Tulisan ini dimuat di warkah al-Basyar Vol. II Edisi 09 tgl. 04 Juli 2008