Siapa yang tidak kenal Gus Dur, Bapak Bangsa yang pergi meninggalkan Indonesia, meninggalkan Dunia, dengan satu pertanyaan, siapa yang akan menggantikan beliau? Tentu saja menggantikan dalam artian figuritas di NU, PKB, maupun dalam konteks kebangsaan. Sebagai tokoh pluralisme, pejuang keadilan untuk kesetaraan dan kemanusiaan, gender juga masuk dalam agenda perjuangan Gus Dur, banyak hal yang telah dikontribusikan dalam proses ini. Seperti yang akan dipaparkan dalam tulisan singkat ini.
Sebelum berbicara banyak tentang bagaimana pemikiran Gus Dur tentang gender. Ada baiknya kita membedah dulu apa itu gender? Tidak bermaksud menggurui, tetapi kita perlu menyamakan perspektif akan definisi gender. Gender dengan menggunakan huruf ‘g’ maupun ‘j’ dalam kamus bahasa Indonesia kita hanya menemukan arti tak lebih dari jenis kelamin atau seks. Nyatanya pengertian gender lebih dari itu, gender adalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan oleh konstruksi sosial.
Sederhananya, dalam masyarakat kita sering kali perempuan dan laki-laki (dipaksa) memiliki peran, tanggung jawab, dan identitas sosial yang berbeda. Perempuan cengeng, lemah, kurang rasional dalam berfikir, teliti, sabar sehingga hanya cocok untuk menempati peran-peran domestik. Sedangkan laki-laki kuat, perkasa, pemarah, bijaksana, mampu mengambil keputusan dan pantas untuk berperan dalam ranah publik. Gender adalah konstruksi sosial, maka bersifat tidak universal, akan berbeda pada wilayah dan kondisi yang berbeda, dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Membumikan Gender di Indonesia
Pemikiran Gus Dur tentang bagaimana Negara menempatkan perempuan dalam pembangunan sangat jelas terlihat pada masa kepresidenan beliau dengan mengubah Menteri Urusan Peranan Wanita diganti menjadi Menteri Urusan Pemberdayaan Perempuan. Pemberdayaan perempuan menurut Wikipedia adalah proses pembangunan di mana perempuan berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri, sedangkan kata “peranan” bertolak dari cara berfikir bahwa perempuan kurang atau bahkan tidak berperan dalam pembangunan nasional, harus ada upaya untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan.
Kenapa perempuan dianggap tidak berperan? Karena Indonesia masih kental terhadap budaya patriarkhi, menempatkan perempuan sebagai second sex, masyarakat kelas dua, maka peran perempuan dibakukan dalam peran-peran domestik yang tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif yang tidak memiliki korelasi terhadap pembangunan nasional, sehingga tidak diberikan fasilitas yang mumpuni untuk mengakses pendidikan dan kesejahteraan. Dengan perubahan ‘peranan’ ke ‘pemberdayaan’, berpengaruh pada pola kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan pembangunan. Jadi, pemberdayaan tidak hanya berbicara kurangnya peranan perempuan dalam pembangunan tetapi lebih dalam lagi mempertanyakan kenapa perempuan kurang berpartisipasi? Jawabannya adalah karena sistem pemerintahan yang tidak memberikan ruang strategis kepada perempuan untuk mengakses informasi dan pelayanan terkait peningkatan kesejahteraan dirinya.
Komitmen gender Gus Dur terdokumentasikan dalam beberapa produk hukum ketika beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia tahun 2000. Yang pertama adalah memperkenalkan kata gender di GBHN 1999-2004, dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, undang-undang tersebut juga sebagai salah satu upaya merespon Konferensi Beijing. Duet Presiden dengan Khofifah Indar Parawangsa sebagai Menteri Urusan Pemberdayaan Perempuan ini juga menerbitkan inpres no. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PuG/ Gender Mainstreaming).
Pengarusutamaan gender bertujuan untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksana, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Propenas 2000-2004, dalam rumusan prioritas pembangunan nasional, Pengarusutamaan Gender diletakkan dalam prioritas membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan ketahanan budaya.
Upaya menciptakan tatanan dan struktur yang berkeadilan gender antara laki-laki dan perempuan terlihat pada salah satu program pada masa pemerintahan Gus Dur adalah program KB tidak hanya diarahkan hanya kepada perempuan tetapi mulai diarahkan kepada laki-laki. Ini berdampak pada adanya ruang negosiasi antara perempuan dan pasangannya, sehingga relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan dapat terminimalisir menuju “mitra sejajar” antara keduanya, yang sebelumnya perempuan hanya menjadi konco wingking bagi suami.
Gus Dur dan Pembelaan Buruh Migran
Meminjam catatan Migran Care tentang betapa Gus Dur memiliki dedikasi yang tinggi dalam membela hak-hak buruh migran Indonesia, yang tidak pernah dilakukan oleh Presiden sebelum maupun sesudahnya. Pada tahun 1999, Gus Dur melakukan diplomasi untuk menyelamatkan Zaenab dari hukuman mati. Tahun 2005, Gus Dur menampung 81 orang buruh migran Indonesia (BMI/TKI) di asrama Pesantren Ciganjur dan melakukan upaya penyelesaian kasus buruh migran ilegal tersebut dengan mendatangi Perdana Mentri Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak.
Tak hanya itu, pada insiden pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tahun 2007 yaitu kasus penyiksaan 4 BMI di Saudi Arabia, yang menyebabkan kematian pada Siti Tarwiyah dan Susmiyati serta cacat permanen pada Rumini dan Tari. Gus Dur dengan tegas menyatakan kepada keluarga BMI tersebut untuk tidak memaafkan pelakunya, karena membayar diyat (denda) terlalu kecil untuk hilangnya nyawa dan kecacatan permanen, serta trauma yang panjang yang menggelayut pada korban maupun keluarga korban. Ironis sekali dengan sikap pemerintah Indonesia yang hanya menggantungkan keberpihakan terhadap buruh migran pada dinding pencitraan kekuasaan semata.
Begitu tingginya komitmen Gus Dur pada upaya pembelaan dan perlindungan terhadap perempuan. Maka, tidak berlebihan kiranya jika kita menyebut Gus Dur sebagai Presiden Feminis.
*Alifatul Arifiati adalah aktivis perempuan Fahmina Foundation Cirebon
[1] Ditulis oleh Alifatul Arifiati, Staf Fahmina Institute. Didedikasikan untuk peserta Seminar “Gus Dur; darI NU untuk Bangsa” yang diadakan oleh Asjap Institute, hari selasa 22 Juni 2011.