Selasa, 15 Oktober 2024

Pemikiran Gus Dur, Cak Nur dan Kang Muslim di Tengah Intoleransi Beragama

Baca Juga

 

 “…Padahal seharusnya dengan beragama seseorang akan menjadi jujur, tulus, andap ashor, berempati serta toleran terhadap sesama manusia terlepas dari apapun agama manusia tersebut…” –Romo Benny

Diakui atau tidak, kemunculan sejumlah organisasi massa (Ormas) yang gemar melakukan kekerasan atas nama agama, menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa berkarakter Bhinneka Tunggal Ika, toleran, serta sopan santun ini. Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, berdasarkan hasil pemantauan dan monitoring sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada keberagaman beragama, sikap intoleransi di Indonesia seakan telah menjadi tren tersendiri. Belum lagi demokratisasi dan pembangunan serta pemerataan ekonomi di Indonesia juga terus digerogoti tindakan korupsi yang makin membudaya.

Kegelisahan ini juga terurai dalam “Dialog Muda Membangun Karakter Bangsa; Refleksi Pemikiran dan Aksi Gus Dur, Cak Nur, Kang Moeslim” pada Kamis (9/08/12), di Cinema Room Perpustakaan UI Depok. Seperti keterangan yang dilansir media online PP. Lakpesdam NU pada Jumat (10/8), acara yang digelar atas kerjasama Abdurrahman Wahid Centre UI, Ma’arif Institute, Nurcholish Madjid Society, dan LAKSPESDAM PBNU, ini menghadirkan sejumlah pembicara, di antaranya; Dr. Wahyuni Nafis (Ketua Nucholish Madjid Society), Dr. M. Najib Burhani (Pemuda Muhammadiyah dan anggota Maarif Institute), Romo Dr. Benny Susetyo (Teman Gus Dur, Cak Nur dan Kang Moeslim), dan Dr. Ahmad Suaedy, M.Hum (Komunitas NU dan AWCentre UI), serta Dr Mahmud Saltut sebagai moderator.

Tentu saja, tindakan korupsi yang telah membudaya sekaligus kemunculan sejumlah Ormas tersebut, sangat jauh dari spirit ketiga cendikiawan muslim yang juga pejuang pluralism di negeri tersebut. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Moeslim Abdurrahman (Kang Moeslim), menurut Nadjib Burhani, ketiganya adalah tokoh Islam yang merupakan santri berlatar belakang kuat pendidikan pesantren dari NU, Masyumi dan Muhammadiyah dan ketiga tokoh itu berasal dari Jawa Timur.

Gus Dur, dengan pemikiran dan aksinya lebih fokus di wilayah Santri dan Kiai dengan bekal keilmuan Fiqihnya. Cak Nur, dengan intelektualitasnya mencoba membuka wacana pada segmen Islam menengah dan cendekiawan. Sementara Kang Muslim yang berlatar pendidikan antropologi, berkonsentrasi memilih jalur pendampingan pada kaum muslim marginal dan miskin, serta mengembangkan pluralisme di Indonesia.

Dengan intelektualitas dan kreativitasnya masing-masing, ketiga tokoh tersebut telah mengedepankan karakter bangsa yang toleran, terbuka, modern, namun tetap menjunjung akar budaya bangsa Indonesia. Ketiganya sebagai figur pemikir Islam yang merupakan agama yang dipeluk mayoritas bangsa Indonesia, namun mampu menempatkan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan memberi perlindungan bagi kelompok yang lain.

Membangun dan Mengembangkan Karakter Indonesia

Lebih mengenal dan memahami bagaimana karakter perjuangan ketiga tokoh Islam tersebut, jelas sekali bagaimana perilaku para elit sekarang tidak lagi menauladani masyarakat. Terutama dalam membangun dan mengembangkan karakter keindonesiaan. Namun realitasnya, kehidupan bermewah-mewah malah menjadi kebiasaan para pemimpin, pengusaha dan politisi, sehingga berdampak kesenjangan dan korupsi di mana-mana.

Termasuk mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama seharusnya dengan kebeagamaan mereka, mereka menjadi semakin jujur dan tulus serta andap ashor  dan berempati, serta toleran terhadap sesama manusia terlepas dari apapun agama manusia tersebut. Lebih lanjut, Romo Benny juga mengungkapkan pengalamannya berdiskusi dengan Gus Dur. Ketika itu, akunya, ia bertanya kepada Gus Dur mengapa mau membela umat Konghucu yang saat itu jumlahnya masih sangat sedikit, sementara pembelaan itu sangat besar resikonya.

“Dengan enteng Gus Dur menjawab karena mereka adalah manusia dan warga Negara Indonesia. Gus Dur adalah sosok santri yang secara otentik menjalankan agamanya dengan tulus dan tanpa pamrih. Oleh Gus Dur teori dan teologi agama diterapkan dan dikongkritkan menjadi lebih konstekstual dan membumi,” ungkapnya. (alimah).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya